Makna
Penarikan AS dari Irak
Tom Saptaatmaja, PEGIAT
LINTAS AGAMA,
ALUMNUS STFT WIDYA SASANA MALANG DAN
SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
Sumber
: SINAR HARAPAN, 6 Januari 2012
Setelah sembilan tahun menduduki Irak,
pasukan AS akhirnya ditarik total. Presiden Obama menyambut rombongan terakhir
di pangkalan Fort Bragg di North Carolina, Kamis (15/12).
Dalam sambutannya, Obama di antaranya
mengungkapkan: “Selamat datang ke rumah. Memulai perang memang gampang, tapi
mengakhirinya susah.” Nah, apa maknanya penarikan itu dari perspektif lintas
agama, khususnya relasi antara Islam dan Kristen? Mengapa perspektif ini yang
dipakai?
Seperti kita tahu invasi pasukan AS ke Irak
merupakan kebijakan yang diambil George W Bush, presiden AS sebelum Obama.
Sebelum invasi ke Irak dilancarkan, sudah banyak sekali peringatan dan protes
disampaikan, khususnya dari para tokoh agama, karena banyaknya sentimen
keagamaan yang muncul bila AS jadi menyerang Irak.
Beberapa tokoh lintas agama kita seperti KH
Syafii Ma’arif, almarhum Nurcholish Madjid, KH Hasyim Muzadi dan Kardinal
Julius Darmaatmadja bahkan juga beraudiensi khusus dengan almarhum Paus Yohanes
Paulus II, guna membahas rencana agresi AS ke Irak.
Gereja Anglikan Inggris yang dipimpin Uskup
Agung Canteburry, Rowan William, juga gigih menentang perang dan berani
mengkritik kebijakan mantan PM Tony Blair, sekutu dekat Bush. Itulah sebabnya
perspektif lintas agama diutamakan dalam tulisan ini.
Dapat dikatakan mayoritas warga dunia
berusaha mencegah agresi itu. Dalam Khotbah Natal 2002, mendiang Paus juga
menyebut akan ada preseden buruk di masa depan, jika AS jadi menyerang Irak,
khususnya menyangkut hubungan antara Kristen dan Islam.
Paus bahkan mengaku pernah dibujuk Bush
yang mencoba meyakinkan bahwa serangan ke Irak merupakan perang kristiani yang
sah. (Koran Tempo, 11/2/2003).
Tapi toh pada Maret 2003, pasukan AS menyerbu
ke negeri yang dipimpin Saddam Hussein yang dianggap oleh Bush menyimpan
senjata kimia pemusnah massal dan rezim pelindung terorisme.
Tidak heran jika tesis Huntington soal
benturan peradaban seperti tertulis dalam bukunya, The Clash of Civilizations
and the Remaking of Worl Order (1996) seperti menemukan pembenarannya.
Tesis yang pertama kali ditulis di
majalah Foreign Affais 1993 itu, di antaranya mengungkapkan bahwa
"peradaban Islam" akan bersekutu dengan "peradaban
Konfusian" untuk mengadang "peradaban Barat".
Jadi, orang Barat harus bersatu—tentu di
bawah Amerika Serikat—untuk melindungi nilai-nilai budaya Barat. Teori ini
memang amat terkenal dan banyak dipelajari di Indonesia, meski oleh mayoritas
pemikir dunia dicibir sebagai teori yang rasialis.
Simbol Toleransi
Benturan Islam-Barat memang seolah terjadi
dalam Perang di Irak, khususnya antara pasukan AS dan sekutunya versus Saddam
Hussein. Akibatnya skisma antara Barat dan muslim yang sudah memanas seiring
dengan tragedi WTC 11 September 2001, yang disusul kampanye global Amerika
terhadap terorisme, makin meruncing akibat perang itu.
Harus diakui bahwa krisis Irak memang
mengandung kompleksitas sehingga tidak gampang dipisahkan dari nuansa atau
sentimen keagamaan. Dalam percaturan politik, sentimen keagamaan selalu menjadi
permainan menarik bagi para politikus.
Bush contohnya jelas punya agenda tersendiri
menyebut perang dengan Irak merupakan perang kristiani yang sah. Saddam Hussein
juga setali tiga uang dengan Bush dalam memainkan sentimen ini. Osama bin Laden
juga yakin perang di Irak merupakan perang salib baru. Kaum radikal atau
fundamentalis juga punya persepsi seperti Osama.
Padahal, jika melihat pada rakyat Irak yang
terdiri dari Islam dan Kristen, jelas tidak tepat jika menyebut perang itu
sebagai perang agama, khususnya antara Islam versus Kristen.
Apalagi, ketika itu Saddam punya pembantu
dekat seorang Katolik Kaldean, yakni Deputi Perdana Menteri Tareq Azis
yang loyalitasnya bagi bangsa Irak tidak perlu diragukan lagi. Relasi Islam-Kristen
di Irak pun harmonis.
Partai Baath al-Thawra yang berideologi
nasionalis-sekuler di bawah pimpinan Saddam misalnya tidak bisa dilepaskan dari
Partai Baath, sebuah partai yang didirikan oleh Michel Afflaq, seorang Kristen
berkebangsaan Syria dan pernah belajar sosialisme di Prancis. Di bawah Saddam,
gereja-gereja di Irak bebas menggelar misa dan kebaktian. Pendirian tempat
ibadah juga dijamin.
Di Bagdad misalnya terdapat tujuh masjid
agung dan lima gereja simbol dari kebebasan dan toleransi beragama yang bukan
basa-basi. Tidak pernah terdengar di Irak ada perusakan tempat ibadah.
Pokoknya, seperti ditulis Dr Naima S Panow dalam “Christianiy in Iraq”, 2,3
juta umat Kristen Irak yang minoritas bisa hidup harmonis dengan 22 juta muslim
Irak.
Dalam perang di Irak, umat Kristen juga ikut
merasakan dampaknya yang pahit. Jika 4.500 tentara AS meninggal dalam sembilan
tahun terakhir, ada asumsi sekitar 200.000 warga Irak tewas.
Setelah rezim Saddam ditumbangkan dan Saddam
dihukum mati 30 Desember 2006, umat Kristen, sebagaimana umat Islam, baik yang
Syiah atau Sunni, juga amat terpukul akibat sikon yang sulit.
Bayangkan, teror dan kekerasan, khususnya bom
bunuh diri, seolah menjadi pemandangan sehari-hari, sementara kehidupan ekonomi
kacau balau. Padahal, dulu Irak adalah negeri yang kaya berkat minyaknya.
Kini pasukan AS sudah ditarik dari Irak.
Perang yang terjadi di Irak ternyata hanya menyisakan kekalahan bagi
kemanusiaan dan justru memunculkan masalah dalam relasi antaragama. Kita
berharap segala penderitaan dan masalah yang membelit negeri itu juga bisa
diakhiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar