Sabtu, 07 Januari 2012

Makna Penarikan AS dari Irak


Makna Penarikan AS dari Irak
Tom Saptaatmaja, PEGIAT LINTAS AGAMA,
ALUMNUS STFT WIDYA SASANA MALANG DAN SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
Sumber : SINAR HARAPAN, 6 Januari 2012


Setelah sembilan tahun menduduki Irak, pasukan AS akhirnya ditarik total. Presiden Obama menyambut rombongan terakhir di pangkalan Fort Bragg di North Carolina, Kamis (15/12).

Dalam sambutannya, Obama di antaranya mengungkapkan: “Selamat datang ke rumah. Memulai perang memang gampang, tapi mengakhirinya susah.” Nah, apa maknanya penarikan itu dari perspektif lintas agama, khususnya relasi antara Islam dan Kristen? Mengapa perspektif ini yang dipakai?

Seperti kita tahu invasi pasukan AS ke Irak merupakan kebijakan yang diambil George W Bush, presiden AS sebelum Obama. Sebelum invasi ke Irak dilancarkan, sudah banyak sekali peringatan dan protes disampaikan, khususnya dari para tokoh agama, karena banyaknya sentimen keagamaan yang muncul bila AS jadi menyerang Irak. 

Beberapa tokoh lintas agama kita seperti KH Syafii Ma’arif, almarhum Nurcholish Madjid, KH Hasyim Muzadi dan Kardinal Julius Darmaatmadja bahkan juga beraudiensi khusus dengan almarhum Paus Yohanes Paulus II, guna membahas rencana agresi AS ke Irak.
Gereja Anglikan Inggris yang dipimpin Uskup Agung Canteburry, Rowan William, juga gigih menentang perang dan berani mengkritik kebijakan mantan PM Tony Blair, sekutu dekat Bush. Itulah sebabnya perspektif lintas agama diutamakan dalam tulisan ini.

Dapat dikatakan mayoritas warga dunia berusaha mencegah agresi itu. Dalam Khotbah Natal 2002, mendiang Paus juga menyebut akan ada preseden buruk di masa depan, jika AS jadi menyerang Irak, khususnya menyangkut hubungan antara Kristen dan Islam.
Paus bahkan mengaku  pernah dibujuk Bush yang mencoba meyakinkan bahwa serangan ke Irak merupakan perang kristiani yang sah. (Koran Tempo, 11/2/2003). 
Tapi toh pada Maret 2003, pasukan AS menyerbu ke negeri yang dipimpin Saddam Hussein yang dianggap oleh Bush menyimpan senjata kimia pemusnah massal dan rezim pelindung terorisme.

Tidak heran jika tesis Huntington soal benturan peradaban seperti tertulis dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of Worl Order (1996) seperti menemukan pembenarannya.

Tesis  yang pertama kali ditulis di majalah Foreign Affais 1993 itu, di antaranya mengungkapkan bahwa "peradaban Islam" akan bersekutu dengan "peradaban Konfusian" untuk mengadang "peradaban Barat".

Jadi, orang Barat harus bersatu—tentu di bawah Amerika Serikat—untuk melindungi nilai-nilai budaya Barat. Teori ini memang amat terkenal dan banyak dipelajari di Indonesia, meski oleh mayoritas pemikir dunia dicibir sebagai teori yang rasialis.

Simbol Toleransi

Benturan Islam-Barat memang seolah terjadi dalam Perang di Irak, khususnya antara pasukan AS dan sekutunya versus Saddam Hussein. Akibatnya skisma antara Barat dan muslim yang sudah memanas seiring dengan tragedi WTC 11 September 2001, yang disusul kampanye global Amerika terhadap terorisme, makin meruncing akibat perang itu.

Harus diakui bahwa krisis Irak memang mengandung kompleksitas sehingga tidak gampang dipisahkan dari nuansa atau sentimen keagamaan. Dalam percaturan politik, sentimen keagamaan selalu menjadi permainan menarik bagi para politikus.

Bush contohnya jelas punya agenda tersendiri menyebut perang dengan Irak merupakan perang kristiani yang sah. Saddam Hussein juga setali tiga uang dengan Bush dalam memainkan sentimen ini. Osama bin Laden juga yakin perang di Irak merupakan perang salib baru. Kaum radikal atau fundamentalis juga punya persepsi seperti Osama.

Padahal, jika melihat pada rakyat Irak yang terdiri dari Islam dan Kristen, jelas tidak tepat jika menyebut perang itu sebagai perang agama, khususnya antara Islam versus Kristen.
Apalagi, ketika itu Saddam punya pembantu dekat seorang Katolik Kaldean, yakni Deputi Perdana Menteri  Tareq Azis yang loyalitasnya bagi bangsa Irak tidak perlu diragukan lagi. Relasi Islam-Kristen di Irak pun harmonis.

Partai Baath al-Thawra yang berideologi nasionalis-sekuler di bawah pimpinan Saddam misalnya tidak bisa dilepaskan dari Partai Baath, sebuah partai yang didirikan oleh Michel Afflaq, seorang Kristen berkebangsaan Syria dan pernah belajar sosialisme di Prancis. Di bawah Saddam, gereja-gereja di Irak bebas menggelar misa dan kebaktian. Pendirian tempat ibadah juga dijamin.

Di Bagdad misalnya terdapat tujuh masjid agung dan lima gereja simbol dari kebebasan dan toleransi beragama yang bukan basa-basi. Tidak pernah terdengar di Irak ada perusakan tempat ibadah. Pokoknya, seperti ditulis Dr Naima S Panow dalam “Christianiy in Iraq”, 2,3 juta umat Kristen Irak yang minoritas bisa hidup harmonis dengan 22 juta muslim Irak.

Dalam perang di Irak, umat Kristen juga ikut merasakan dampaknya yang pahit. Jika 4.500 tentara AS meninggal dalam sembilan tahun terakhir, ada asumsi sekitar 200.000 warga Irak tewas.

Setelah rezim Saddam ditumbangkan dan Saddam dihukum mati 30 Desember 2006, umat Kristen, sebagaimana umat Islam, baik yang Syiah atau Sunni, juga amat terpukul  akibat sikon yang sulit.

Bayangkan, teror dan kekerasan, khususnya bom bunuh diri, seolah menjadi pemandangan sehari-hari, sementara kehidupan ekonomi kacau balau. Padahal, dulu Irak adalah negeri yang kaya berkat minyaknya.

Kini pasukan AS sudah ditarik dari Irak. Perang yang terjadi di Irak ternyata hanya menyisakan kekalahan bagi kemanusiaan dan justru memunculkan masalah dalam relasi antaragama. Kita berharap segala penderitaan dan masalah yang membelit negeri itu juga bisa diakhiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar