Jumat, 13 Januari 2012

2012, Fiskal Tetap Terabaikan


2012, Fiskal Tetap Terabaikan
Didik J. Rachbini,  EKONOM SENIOR INDEF; KETUA LP3E KADIN
Sumber : REPUBLIKA, 13 Januari 2012


Tulisan ini merupakan suatu catatan, pada satu sisi, perkembangan makro ekonomi dan pasar keuangan yang cukup berkembang pada saat ini. Kondisi dan momentum tersebut memberi dukungan terhadap perkembangan investasi. Pada gilirannya, perkembangan tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pada sisi lainnya, kebijakan fiskal juga terabaikan karena kebijakan yang lemah atau bahkan bisa dikatakan ada kekosongan kebijakan fiskal.

Banyak pengeluaran yang boros sehingga sumber daya yang ada tidak bermanfaat maksimal mendukung pertumbuhan ekonomi. Sumber daya fiskal berkembang dari tahun ke tahun karena momentum ekonomi yang bagus, tetapi terabaikan. Hal yang memprihatinkan selanjutnya adalah kondisi birokrasi yang sama sekali tidak ada perubahan signifikan. Iklim usaha dan birokrasi berada di jajaran terbelakang dalam survei IFC sehingga dunia usaha mendapat hambatan yang serius dari birokrasi ini.

Makro Baik, Mikro Buruk
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dalam konferensi pers beberapa waktu yang lalu mengakui bahwa kinerja ekonomi makro relatif baik karena kepercayaan investor luar negeri dan dalam negeri. Ketika sebagian dari situasi global buruk, angin buritan bertiup ke kawasan negara berkembang, khususnya Asia dan termasuk Indonesia. Kawasan Asia mendapat keuntungan dari perubahan arah angin buritan tersebut sehingga pertumbuhan investasi dan aliran modal berpindah ke kawasan ini.

Dengan demikian, perkembangan pasar keuangan menjadi baik dan kondusif karena Indonesia menjadi sasaran investasi portofolio ataupun investasi langsung pada sektor riil. Perkembangan makro ekonomi Indonesia pada 2011 relatif baik. Perkembangan nilai tukar tidak tertekan karena pasokan modal masuk cukup tinggi sehingga nilai tukar hanya mengalami penurunan terkendali sejak September tahun lalu. Akibatnya, kinerja indikator makro ekonomi lainnya mengikuti perkembangan momentum ekonomi yang baik sekarang ini. Pemerintah yang mempunyai keterbatasan dalam eksekusi kebijakan ekonomi mendapat keuntungan dengan keadaan dan perkembangan pasar yang spontan.

Meskipun ekonomi tumbuh cukup tinggi, faktor pendorong dari pertumbuhan tersebut bukan karena kebijakan ekonomi yang baik, melainkan karena faktor pasar dan dunia usaha yang berkembang baik. Pasar sebagai tatanan spontan telah memberikan dorongan yang besar terhadap perekonomian Indonesia sekarang ini.

Tetapi sebenarnya, peran ekonomi negara, dalam hal ini pemerintah, masih sangat jauh dari memadai. Contohnya adalah kebijakan fiskal yang dijalankan tidak selaras dengan perkembangan makro ekonomi dan pasar sekarang ini. Dinamika pasar dan dunia usaha yang tengah berkembang sekarang ini menciptakan kelas menengah, yang mendorong balik pertumbuhan itu sendiri. Pada gilirannya, pasar domestik menjadi besar dan bahkan berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Fiskal dan Peran Negara

Namun, peran negara absen sehingga banyak masalah mikro yang muncul, terutama masalah infrastruktur yang parah, sektor industri yang tumbuh lamban, usaha kecil dan menengah tumbang, masalah kemiskinan di bawah dan di sekitar garis kemiskinan, serta pengangguran terbuka ataupun terselubung. Kinerja makro ekonomi yang baik ini tidak lain karena peranan pasar, dunia usaha, dan momentum ekonomi yang baik.

Faktor kebijakan fiskal adalah titik lemah dari kebijakan ekonomi sekarang ini. Anggaran bertambah besar, tetapi ruang gerak fiskal sebagai stimulus perekonomian rendah karena strategi fiskal dan kepemimpinan dalam politik anggaran lemah. Akibatnya, ekonomi publik yang seharusnya didorong oleh negara tidak berkembang. Infrastruktur penopang pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak berkembang. Pada satu sisi, pasar dan dunia usaha bertumbuh pesat, tetapi pada sisi lainnya ekonomi publik yang seharusnya didorong oleh pemerintah bertumbuh lamban, stagnan, bahkan mengganggu pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Anggaran untuk belanja modal sangat rendah karena ruang fiskal memang sangat rendah. Kebijakan anggaran terjebak ke dalam pusaran belanja yang mengikat, terutama belanja birokrasi yang mahal sekali, baik untuk belanja pegawai maupun belanja barang. Di tingkat pusat, biaya birokrasi yang buruk dan menghambat dunia usaha ini menghabiskan tidak kurang dari Rp 350 triliun. Sedangkan di daerah, belanja birokrasi hampir menghabiskan seluruh anggaran dari total Rp 400 triliun yang ditransfer ke daerah.

Pembayaran utang, baik dalam negeri maupun utang luar negeri, juga merupakan belanja mengikat yang sangat besar. Tidak kurang dari Rp 140 triliun habis untuk membayar utang tersebut. Padahal, strategi defisit yang dilakukan di dalam APBN tidak dalam rangka tujuan khusus untuk pengembangan kapasitas ekonomi nasional dan pembangunan infrastruktur. Kebijakan defisit yang dilakukan salah kaprah karena berperan sebagai penambal pengeluaran mengikat yang boros.

Jadi, banyak alokasi pengeluaran yang tidak punya manfaat baik, terutama subsidi yang tidak tepat sasaran. Pemerintah selama bertahun-tahun sengaja membiarkan APBN tergerus oleh subsidi yang salah arah. Ruang fiskal yang sempit disebabkan oleh subsidi yang besar seperti ini, bukan untuk mendukung produktivitas, melainkan karena tidak bisa menyelesaikan dilema subsidi salah arah ini versus inflasi yang dianggap akan menciptakan biaya politik sangat besar. Lebih baik menguras sumber daya ekonomi dan anggaran daripada mengorbankan modal politik sempit.

Permasalahan fiskal juga berat karena implementasinya yang lemah. Sampai akhir tahun, belanja modal hanya berhasil dipakai kurang dari separuh. Ini naif karena belanja yang ada saja sudah jauh dari memadai, tetapi implementasinya justru membuat pembangunan infrastruktur semakin terbengkalai. Belanja modal sudah sedemikian kecil sehingga tidak cukup untuk membangun infrastruktur yang mendukung dinamika dunia usaha karena implementasinya masih terhambat birokrasi tidak produktif.

Catatan khusus bagi birokrasi juga perlu diungkap sebagai bagian dari kelemahan kebijakan fiskal kita selama ini. Birokrasi di pusat menggerus pengeluaran terikat yang sangat besar. Dana transfer daerah dari tahun ke tahun semakin besar jumlahnya, yakni sekitar Rp 400 triliun, tetapi anggaran tersebut juga mubazir karena dipakai untuk hanya membiayai birokrasi daerah. Peningkatan dana transfer ke daerah membuat birokrasi menjadi jauh lebih kaya dibandingkan masyarakat banyak.

Korupsi di daerah sesungguhnya lebih parah dampaknya dibandingkan korupsi di tingkat pusat. Korupsi di daerah sangat meluas dan menyebar di banyak tempat sehingga efektivitas anggaran rendah. Tetapi, yang gegap gempita ada di panggung politik nasional adalah pemberitaan korupsi di tingkat pusat yang sesungguhnya terbatas pada individu-individu. Lebih dari 80 persen anggaran tersebut hanya dipakain untuk melayani birokrasi daerah, khususnya untuk belanja pegawai dan belanja barang (perjalanan, pengadaan, dan peralatan kantor). Keadaan ini merupakan indikasi politik dan kebijakan fiskal yang tidak sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar