Subordinasi
Hak Tradisional Masyarakat
Saharuddin Daming, KOMISIONER
KOMNAS HAM
Sumber : KORAN TEMPO, 22 Desember 2011
Terkuaknya
kasus pembantaian warga sipil di Mesuji, yang menggemparkan dunia akhir-akhir
ini, semakin memperlihatkan betapa kisruh dan biasnya mekanisme pengelolaan
lahan akibat kebijakan negara di sektor agraria, terdistorsi oleh kepentingan investasi.
Dalam statistik penanganan kasus di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kasus
sengketa lahan sebagaimana yang terjadi di Mesuji tercatat sebagai kasus
terbanyak ditangani Komnas HAM setiap tahun. Selama Januari-Oktober 2011
tercatat 603 kasus, meningkat 20,56 persen dari periode yang sama tahun 2010 sebanyak
479 kasus.
Tingginya
kasus sengketa lahan (land tenurial conflict), sebagaimana yang tertera
pada komposisi data tersebut di atas, dipicu oleh makin meningkatnya
ekspansi
investasi di sektor agraria untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara, di
samping tumpang-tindihnya kebijakan bidang pertanahan dan lain-lain. Demi terwujudnya
pertumbuhan iklim investasi yang semakin tinggi, pemerintah di masa lalu pernah
mengeluarkan kebijakan yang sangat memanjakan investor asing dalam bentuk
pemberian kemudahan dengan membebaskan investor dari pembayaran pajak selama 5
sampai 15 tahun. Tidak
mengherankan
jika kedudukan investor dalam setiap persengketaan lahan selalu
mensubordinasi
hak masyarakat.
Celakanya,
karena ketika rakyat melakukan pembelaan hak tradisional masyarakat, mereka
justru dikriminalkan sebagai pelaku penyerobotan lahan oleh investor. Tak ayal
lagi, konflik pun tidak dapat dihindari dengan melibatkan aktor, baik antara
warga dan korporasi maupun warga dengan lembaga pemerintah. Modus kriminalisasi
yang dilakukan oleh korporasi terhadap masyarakat, dengan latar konflik kepemilikan
lahan, kerap melibatkan aparat
keamanan
(Polri dan TNI) atau pengamanan swakarsa. Akibatnya, tidak sedikit
warga
sipil mengalami penggusuran, teror, pembakaran rumah atau lahan, perusakan harta
benda (ternak dan tanaman), hingga penganiayaan dan pembunuhan. Ironisnya, tindakan
yang mengarah kepada kejahatan kemanusiaan tersebut, sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sering melibatkan aparat
keamanan atau pam swakarsa, yang membekingi penuh kepentingan investor agraria.
Tragisnya,
karena upaya investor dalam mengamankan kepentingannya tersebut
justru
diproteksi oleh serangkaian peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Perpu Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, serta UU Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan. Rangkaian peraturan hukum tersebut menghalalkan
para investor untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam agraria untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mereka dengan mengatasnamakan
kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya, hak keamanan bagi
masyarakat menjadi semakin terancam karena dihantui peraturan negara yang lebih
memihak kepentingan investor.
Jika
dikaji secara mendalam, sebenarnya materi perundang-undangan yang
menjustifikasi pengelolaan sumber daya agraria sebagaimana tersebut di atas
mengandung kelemahan fatal, antara lain sebagai berikut: 1) Tidak memberi
referensi khusus tentang adanya kegawatan lingkungan hidup, sehingga perlu
suatu langkah segera untuk menanggulangi kerusakan lingkungan; 2) memberikan
diskresi yang sangat besar kepada pihak eksekutif dan korporasi untuk
menafsirkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada sesuai dengan kepentingan
eksploitasi tanpa memberikan akses yang memadai kepada masyarakat luas untuk
menyikapinya dengan kritis dan mengawasi pelaksanaannya; 3) Terlalu berpihak
kepada investor, sedangkan hak masyarakat adat yang bermukim di sekitar hak
konsesi kurang terlindungi; 4) Sanksi-sanksi atau hukuman yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan itu kurang menggigit kepada kaum kapitalis, tetapi
sangat keras kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat.
Semua
ini menyiratkan kesimpulan bahwa kebijakan negara tentang sumber daya agraria
cenderung memposisikan hak tradisional masyarakat sebagai hal yang tidak
penting. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 41 Tahun 1999, yang mengatur hak
masyarakat dalam sektor kehutanan, hanya tertuang dalam satu bab, yaitu BAB IX,
itu pun pada satu pasal, yaitu Pasal 67. Sedangkan ketentuan yang mengakomodasi
hak pengelolaan dari investor tersebar di hampir seluruh materi muatan
undangundang tersebut.
Subordinasi
hak tradisional masyarakat di hadapan investor seperti ini tidak mengacu pada
konteks sosio filosofis masyarakat tradisional Indonesia, tetapi terbangun dari
konsep pemikiran Barat yang diintroduksi oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang
cenderung memahami lembaga hak tradisional masyarakat dalam perspektif kepentingan
kolonialisme dan imperialisme. Pandangan ini kontras dengan hasil pemikiran
dari pakar hukum kita sendiri, yaitu Soepomo, Djojo Diguno, dan Anwar Haryono,
yang memahami keberadaan hak tradisional masyarakat dengan karakteristik yang
cenderung kembang-kempis sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Tidak
mengherankan jika pelembagaan hak
tradisional
masyarakat dalam kebijakan negara relatif jomplang dan tidak berpihak kepada
perlindungan secara riil keberadaan hak tradisional masyarakat.
Doktrin
yang menempatkan keberadaan masyarakat adat seperti itu memberi ruang bagi
otoritas negara yang berkolaborasi dengan investor menjadi instrumen pemusnah lembaga
hak tradisional masyarakat, yang dari waktu ke waktu akan terus berkurang dan
hilang dengan sendirinya. Parahnya lagi, karena wilayah yang disebut sebagai
hak tradisional masyarakat menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tidak lain adalah
bagian dari tanah negara dan ini berarti masyarakat yang tinggal di kawasan itu
dapat sewaktu-waktu digusur oleh otoritas negara.
Hal
ini dapat kita lihat dalam Pasal 5 ayat (2) juncto Penjelasan Pasal 5
ayat (1)
UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu
hutan
negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap).
Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan
pertuanan, atau sebutan lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hutan
yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan dalam pengertian hutan negara
sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan
negara, ia berpotensi meniadakan hak tradisional masyarakat sepanjang kenyataannya
masih ada. Sampai di sini, kedudukan hak tradisional masyarakat dalam sistem
pengelolaan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 sangat rentan dan hanya
sebagai memakai dari negara.
Pada
bagian lain, hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan juga dibatasi
pada
keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun
1999, yaitu masyarakat adat di sekitar hutan hanya berhak melakukan pemungutan
hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat adat
sekalipun memiliki kemampuan teknis manajerial dan engineering tentang hutan,
tidak boleh melakukan pengelolaan selain hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Kalaupun
ada upaya untuk pengusahaan hutan oleh masyarakat adat, maka Pasal 67 ayat (1) huruf
b UU Nomor 41 Tahun 1999 memberi rambu bahwa kegiatan pengelolaan hutan seperti
itu harus didasari hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
undang-undang.
Hal
ini sungguh-sungguh merupakan peragaan diskriminasi dan ketidakadilan antara masyarakat
adat yang bermukim di sekitar hutan dan korporasi. Tidak
mengherankan
jika kondisi kehidupan masyarakat hukum adat dari generasi ke
generasi
tidak menampakkan dinamika kesejahteraan yang signifikan. Hal ini berbeda dengan
investor yang telah mengeruk kekayaan hutan sebesar-besarnya, sehingga mampu
menciptakan sejumlah konglomerat yang semakin kaya berikut dengan oknum pejabat
terkait yang semakin jaya, akibat tetesan kekayaan hutan yang dialirkan dengan
berbagai modus oleh para Taipan Kehutanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar