2011,
Tahun Siasat Politik Tontonan Nazaruddin
Triyono Lukmantoro, Dosen
Sosiologi Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Sumber
: SINAR HARAPAN, 28 Desember 2011
Muhammad Nazaruddin tiada pernah henti
membuat siasat pada 2011. Bekas bendahara umum Partai Demokrat itu
menggelindingkan aneka kejutan bagi publik.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada
kasus wisma atlet SEA Games, Nazaruddin secara lihai lolos dari tangkapan
aparat keamanan. Selama hampir tiga bulan dalam pelariannya, Nazaruddin
menghubungi berbagai kantor redaksi media massa.
Layanan pesan pendek (SMS) dikirimkannya via
BlackBerry. Nazaruddin “bernyanyi riang” tentang keterlibatan sejumlah elite
Partai Demokrat dalam kasus korupsi yang telah menjerat dirinya.
Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Edi
Baskoro Yudhoyono, Angelina Sondakh, belakangan Saan Mustofa dan Jafar Hafsah,
merupakan orang-orang yang secara eksplisit dituding Nazaruddin menikmati uang
hasil korupsi. Media massa pun menjadikan semua omongan Nazaruddin sebagai
berita utama. Dalam kedudukan itu, Nazaruddin menjadi “bintang media”.
Gravitasi pemberitaan media mengarah pada
dirinya. Tanpa terkecuali ketika Nazaruddin tertangkap di Kota Cartagena,
Kolombia, hingga pemulangannya yang harus menggunakan pesawat yang dicarter KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) seharga Rp 4 miliar. Kalangan jurnalis dengan
setia menunggunya selama berjam-jam.
Siasat selanjutnya yang digulirkan Nazaruddin
adalah sikap bungkamnya ketika diinterogasi KPK. Nazaruddin menyatakan lupa
semuanya dan ingin divonis tanpa melalui proses hukum. Serentak dengan itu,
Nazaruddin justru mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).
Isinya adalah permintaan agar SBY tidak
mengganggu istri dan anak-anaknya. Cerobohnya, presiden membalas surat sang
tersangka itu. Tidak cukup sampai di situ, Nazaruddin pun hendak melapor ke
Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa karena merasa teraniaya.
Sinetron Kekuasaan
Semua kejadian itu menunjukkan Nazaruddin
sedemikian menyadari bagaimana media bekerja. Nazaruddin juga paham bahwa
inilah era tontonan politik dan politik tontonan. Tontonan politik menunjukkan
bagaimana politik yang memuat pertarungan kekuasaan telah hadir sebagai sajian
yang menyenangkan bagi kehidupan publik.
Ketika politik telah berhenti mengurusi
permasalahan-permasalahan publik, yang tersisa sekadar tontonan yang
menghadirkan konflik di antara elite-elite partai yang sedang berkuasa.
Tontonan politik merupakan nama lain dari sinetron kekuasaan yang meskipun
menyebalkan, tetap layak terus diberitakan.
Dalam situasi politik sebagai tontonan itu,
Nazaruddin menyeruak secara sadar untuk menghadirkan politik tontonan.
Nazaruddin mampu tampil secara utuh meski dengan mulut terkunci.
Tapi, publik masih teringat bagaimana
suara-suaranya yang menebarkan berbagai tudingan ke arah rekan-rekan
separtainya. Politik tontonan yang digelarnya itu, pada kenyataannya, memiliki
efek yang kuat.
Berbagai pembicaraan, analisis, bahkan
simpati, terus tertuju ke arahnya. Nazaruddin dalam keadaan terjepit menjadi
sang pemenang, sementara teman-teman separtainya yang mendapatkan tudingan
darinya berubah sebagai pecundang, atau setidaknya kelimpungan.
Ketika para jurnalis terkesima dengan segala
perilaku Nazaruddin serta publik amat terhipnotis dengan sosoknya, serentak
dengan itu, Nazaruddin menjelma sebagai imaji dalam masyarakat tontonan (society
of the spectacle), sebagaimana dikemukakan Guy Debord (1931-1994).
Publik media tidak pernah melihat buronan KPK
dan kepolisian negara itu secara langsung. Apa yang mampu ditangkap publik
hanyalah gambar dan suara Nazaruddin belaka. Tapi, Nazaruddin tetap bisa
menyedot perhatian massa secara luar biasa.
Berbagai unjuk bincang (talk show)
televisi digelar. Para komentator politik diundang. Berbagai laporan dan
analisis terhadap Nazaruddin dipampangkan. Itulah fenomena yang dinamakan
siasat politik tontonan Nazaruddin.
Kehilangan Kepercayaan
Persoalan-persoalan kompleks yang melibatkan
kekuasaan politik dan korupsi yang menyelimuti kasus Nazaruddin telah
dipertunjukkan media. Dalam masyarakat tontonan, segala persoalan yang rumit
terasa menjadi ringan dipikirkan.
Pada konteks ini, Debord menyatakan ketika
dunia yang nyata berubah menjadi imaji-imaji yang sederhana, imaji-imaji yang
sederhana itu menjadi keadaan yang nyata. Media telah mengonstruksikan
kompleksitas persoalan korupsi Nazaruddin sebagai konflik antara faksi-faksi
dalam Partai Demokrat.
Padahal, sangatlah mungkin, persoalannya
tidak sesederhana itu. Boleh jadi, faksi-faksi yang bertikai dalam partai yang
sedang berkuasa itu sama-sama menikmati hasil korupsi Nazaruddin.
Namun, mengapa segala perilaku Nazaruddin
lebih mendapatkan posisi yang menguntungkan? Penyebabnya adalah publik, dan
terutama media, telah kehilangan kepercayaan terhadap siapa pun yang sedang
berkuasa. Pihak yang sedang berada dalam kedudukan oposisional dengan penguasa
secara otomatis mendapatkan “angin” yang lebih segar dari media.
Nazaruddin mungkin menjadi salah satu aktor
intelektual korupsi, tapi karena kemampuannya dalam membaca bagaimana media
bekerja, Nazaruddin berhasil memanfaatkan media. Lebih dari itu, media menjadi
forum bagi Nazaruddin membela dan membongkar borok politik rekan-rekannya.
Dalam kajian media terdapat teori pengaturan
agenda yang berisi pengandaian: apa pun yang diprioritaskan media menjadi
pembicaraan utama dalam kehidupan publik. Media dianggap memiliki kekuatan yang
berlebih daripada publik itu sendiri.
Teori pengaturan agenda yang telah sangat
klasik itu kini mendapatkan pembaharuan. Ini karena, dalam berbagai peristiwa
politik, justru seseorang yang menjadi sorotan publik dapat mengatur agenda
media. Nazaruddin mengerti benar situasi ini meskipun dia belum tentu pernah
mempelajari teori-teori media.
Bukan menjadi realitas yang janggal jika
selama dalam pelariannya Nazaruddin mengontak sejumlah redaksi media. Begitu
pula ketika Nazaruddin bungkam, pasti akan menjadi sorotan media. Nazaruddin
mendapatkan keuntungan, demikian pula pihak media. Itulah simbiosis mutualisme
antara media dan Nazaruddin.
Nazaruddin juga menyadari kedudukannya
sebagai buronan sebenarnya juga berstatus sebagai pemegang kotak pandora. Dalam
pemahaman kontemporer, Pandora yang pada awalnya sosok yang cantik dan
menyenangkan, kini berubah sebagai figur yang membawa malapetaka.
Pandora adalah profil yang sedang
melampiaskan dendam karena pernah disia-siakan. Bukankah itu pula yang sekarang
dialami Nazaruddin? Ketika berada dalam Partai Demokrat, Nazaruddin berhasil
menggapai posisi istimewa sebagai bendahara umum yang bertugas menjadi mesin
uang.
Tapi, ketika skandal korupsi yang membelit
partai bersimbol berlian itu hanya diarahkan pada dirinya, Nazaruddin meronta
dan memberontak. Perlawanan ala Pandora yang dilakukan Nazaruddin itu telah
menjadi tontonan politik. Namun, media dan publik pada akhirnya paham: semua
tontonan itu ialah siasat politik Nazaruddin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar