Budaya
Konsumtif Kelas Menengah
Janianton Damanik, GURU BESAR PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN,
FISIPOL UGM
Sumber
: KOMPAS, 24 Desember
2011
Rasa bangga muncul seketika di kala media
massa menabur berita bahwa jumlah kelas menengah kini sekitar 43 persen dari
total penduduk Indonesia.
Berarti setidaknya 100 juta orang mampu
meraih penghasilan 2-20 dollar AS per kapita per hari. Pengamat memperkirakan,
jika pertumbuhan ekonomi terus membaik, setiap tahun akan bertambah 7 juta
kelas menengah baru. Mereka adalah orang yang beruntung lolos dari penjara
kemiskinan yang memasung ratusan juta warga miskin lainnya karena berpenghasilan
kurang dari 1 dollar AS per hari.
Setelah menelisik data aslinya, ternyata
sebagian besar dari angka 50 persen itu hanya berpenghasilan 2-4 dollar AS per
hari. Semakin mendekati penghasilan 20 dollar AS, semakin menciut persentase
kelas menengah ini. Bisa disimpulkan, mereka sangat rentan terhadap krisis
ekonomi yang sewaktu-waktu bisa bergejolak. Jika itu terjadi, barisan inilah
yang pertama tergiring ke kumpulan warga miskin.
Namun, bukan itu yang membuat rasa bangga
menjadi sirna, melainkan kegemaran kelas menengah mengonsumsi barang impor.
Entah karena merasa baru merdeka dari koloni kemelaratan menahun atau ingin
pamer kepemilikan materi, libido konsumtif mereka begitu menggelora. Ketika
barang konsumsi teranyar dilempar ke pasar, seketika itu pula mereka
menyerbunya. Banyak pengamat mengatakan, kelas menengah Indonesia adalah
penggila produk asing, mulai dari makanan, fesyen, barang elektronik, sampai
otomotif.
Mungkin potret kegilaan yang dipicu libido
konsumtif itulah yang mencuat ketika ribuan orang antre berjam-jam dan
berdesak-desakan untuk membeli telepon seluler merek Blackberry Bold 9790 di
sebuah mal di Jakarta baru-baru ini. Ini bukan kasus pertama. Dua minggu
sebelumnya peristiwa konyol serupa juga muncul di Manado (Kompas, 12/11/2011).
Tragis, karena kegilaan untuk memiliki telepon bermerek itu berbuah celaka.
Seribu biji telepon pintar mengecoh ribuan manusia yang kurang pintar sehingga
puluhan jatuh pingsan dan terkapar.
Tragedi
Kultural
Kalau boleh disebut, inilah serial lanjutan
tragedi kultural bangsa kita. Galibnya, peningkatan status ekonomi berjalan
seiring eskalasi kecerdasan sosial. Andai pun tidak bersemangat kapitalis tulen
dalam arti hemat dan kerja keras, minimal orang tidak hedonis-konsumtif.
Namun, yang terjadi sebaliknya. Mobilitas
vertikal kelas menengah ini merangkak tanpa pijakan nilai dan etos hidup yang
mencerahkan. Harga diri sebagai kelas ekonomi baru hanya disangga oleh pilar
nilai yang keropos: emo ergo sum, saya belanja, maka saya ada!
Hidup menjadi arena pacuan gengsi yang hampa
isi. Medianya adalah belanja dan kepemilikan materi. Nafsu belanja terus
menyeruak di tengah defisit kearifan kolektif. Hidup konsumtif dan boros begitu
seksi dan menggoda. Nilai kultural sekuat apa pun nyaris tak mampu menghalanginya.
Belilah, mumpung barang belum habis. Ada diskon sekian persen, plus diskon
tambahan buat pemilik kartu anggota. Pakai selagi belum ketinggalan mode.
Tertibkan alis mata, haluskan kulit tubuh, dan wangikan raga di ruang spa.
Jangan pikir besok lusa karena semua ada waktunya. Begitu bujuk rayu yang
menghanyutkan kelas menengah ke ajang perburuan materi.
Lantas, budaya konsumtif pun menggiring
mereka memproduksi keinginan-keinginan baru yang nyaris tak bertepi.
Batas-batas kebutuhan lenyap akibat ditelikung libido liar untuk memiliki
segala yang berbentuk materi.
Adalah usaha sia-sia menautkan hasrat
memiliki materi dengan penggunaan akal sehat. Tak tabu berutang, yang penting
bergengsi, gaya, dan gaul. Di tingkat ini, kepemilikan tak lagi berfungsi
produktif. Sebaliknya ia terdegradasi jadi simbol gengsi sosial yang acap
kontraproduktif.
Maka, bisa dipahami mengapa industri otomotif
dan elektronik mengguyur kelas menengah yang baru bangkit ini dengan produk
unggulannya secara masif. Tak lain adalah karena wabah budaya konsumtif tadi.
Majalah The Economist belum lama ini
menempatkan Indonesia di peringkat teratas sebagai pengguna sepeda motor
sekawasan Asia Tenggara. Tahun 2010, tak kurang 8 juta unit disapu bersih oleh
pasar konsumen lokal dan hanya tersaingi oleh konsumen di China dan India.
Masih di tahun yang sama, lebih dari 760.000 unit mobil berbagai kelas terjual
laris manis di pasar otomotif. Perusahaan RIM, produsen Blackberry, mengklaim
kelas menengah Indonesia salah satu pasar terbesarnya. Ini pun belum apa-apa
dibandingkan dengan jumlah pelanggan (kartu telepon) aktif yang mencapai 240
juta.
Mengapa budaya konsumtif mereka menggelora?
Jawabnya ada pada faktor kendali diri dan daya kritik yang majal. Terbentuknya
kelas menengah di negeri ini ternyata tidak melahirkan kelompok masyarakat
kritis.
Kalau boleh disebut, mereka adalah kelas
menengah yang secara psikososial sangat labil dan permisif. Ciri-cirinya,
antara lain, mudah terpengaruh, lekas berpuas diri, alergi bernalar, dan suka
dipuji. Bukan kebetulan, pemeo the consumer is king cocok benar dengan karakter
tersebut. Sebab, hanya dengan menjadi pembelilah mereka merasa jadi raja.
Sayang, itu cuma perasaan belaka. Faktanya, konsumen yang tak kritis hanya
menjadi budak nafsu konsumtifnya sendiri.
Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan.
Bukan karena ia terkait dengan persoalan etika dan rapuhnya karakter anak
bangsa. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang impor yang
niscaya akan mematikan pasar produk lokal. Taruhannya adalah daya tahan
perekonomian nasional. Budaya konsumtif jadi bentuk undangan terbuka bagi
kapitalisme global untuk leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup, selera,
bahkan ideologi kelas menengah kita sesuai dengan nilai yang melekat pada
barang yang mereka hasilkan.
Melihat ancaman besar seperti itu, tampaknya
harus dicari jurus jitu untuk meredam penyebaran budaya konsumtif tadi. Jika
tidak, kita harus rela menerima kenyataan jadi bangsa yang kehilangan jati
diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar