2011,
Tahun Kebohongan?
Tom Saptaatmaja, PEGIAT
LINTAS AGAMA;
ALUMNUS STFT WIDYA SASANA MALANG DAN
SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
Sumber
: SINAR HARAPAN, 29 Desember 2011
Tidak terasa 2011 sudah akan berakhir dalam
hitungan hari. Waktu terasa begitu cepat, sedangkan ada beberapa agenda atau
rencana di awal tahun ternyata tidak tuntas menjelang tutup tahun.
Salah satu agenda yang tampaknya belum tuntas
adalah agenda melawan kebohongan. Tahun 2011 memang pernah diagendakan sebagai
Tahun Melawan Kebohongan. Ini dicanangkan para tokoh agama di gedung dakwah PP
Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin, 10 Januari 2011.
Para tokoh itu di antaranya Ketua Umum PP
Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr
Martinus Situmorang, Ketua Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta
Andreas Yewangoe, Buya Syafii Maarif, Frans Magnis Suseno, Shalahudin Wahid,
dan Bhikku Sri Pannyavaro.
Yang penting lagi, para tokoh itu juga
memberi batasan tegas tentang kebohongan sebagai tidak satunya kata dengan
perbuatan. Misalnya kebohongan tentang jumlah penduduk miskin.
Pemerintah berkali-kali menyatakan telah
berhasil mengurangi kemiskinan menjadi 31,02 juta jiwa. Faktanya, jika
digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin,
pada 2010 jumlah penerima raskin mencapai 70 juta orang.
Jika dilihat dari data penduduk yang berhak
menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas), jumlah warga miskin
di Indonesia malah mencapai 76,4 juta jiwa.
Menjelang tutup tahun seperti sekarang,
mayoritas warga miskin kian merasakan beratnya beban hidup, akibat melambungnya
harga sembako dan anomali cuaca.
Hanya para koruptor, mafia hukum, mafia
pajak, dan mafia lainnya yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan materi
(uang) sambil terus korupsi dan mempermainkan ayat-ayat hukum di atas
penderitaan rakyat miskin.
Melihat pernyataan-pernyataan para tokoh
lintas agama, publik pun merespons dengan antusias. Di Surabaya, misalnya, para
tokoh lintas agama dan para akademikus juga menggemakan perlawanan terhadap
kebohongan, tepatnya di kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Rabu, 19
Januari 2011.
Di berbagai kota besar dan kecil juga
bermunculan Posko Antikebohongan. Sepanjang Januari 2011 hingga pekan pertama
bulan berikutnya, berbagai media mem-blow up agenda melawan kebohongan
itu.
Tapi entahlah, agenda untuk melawan
kebohongan itu tiba-tiba gemanya melemah, setelah terjadi perusakan atau
tindakan anarkisme terhadap tiga gereja di Temanggung, 8 Februari 2011.
Berbagai spekulasi pun merebak, di antaranya
bila para tokoh lintas agama tetap lantang meneriakkan perlawanan terhadap
kebohongan, peristiwa SARA akan banyak terjadi di akar rumput. Pendapat seperti
ini juga dilontarkan kolega saya, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Surabaya
KH Imam Ghazali Said.
Selain peristiwa Temanggung itu, juga ada
serangan balik dan kecaman pada para tokoh lintas agama, yang tampak di
berbagai spanduk di Jakarta pada awal Februari 2011. Bahkan para tokoh lintas
agama dianggap telah melakukan kebohongan dan dinilai telah memasuki wilayah
politik praktis.
Bukan Politik Praktis
Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan
Agama dan Kepercayaan, Romo Benny Susetyo Pr, melalui kritik-kritiknya pada
pemerintah, para tokoh lintas agama tidak bermaksud melakukan politik praktis
yang berorientasi pada jabatan atau kekuasaan. Mereka juga tidak bermaksud
membela kekuatan oposisi yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah.
Dari perspektif agama, sebenarnya lontaran
kritik para tokoh lintas agama di atas merupakan peristiwa besar. Hal seperti
itu belum pernah terjadi dalam 66 tahun negeri ini.
Memang gaung dari kritik mereka bisa saja
melemah atau diperlemah, tapi esensi dari lontaran kritik mereka tidak boleh
padam di hati siapa pun yang berkomitmen hendak menegakkan kebenaran dan
keadilan.
Apalagi, pada hakikatnya setiap umat beragama
dipanggil untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Bila Islam mengajarkan
“amar ma'ruf nahi munkar”, Kristen, Hindu, dan Buddha juga mengajarkan hal yang
sama, meski agama-agama ini tidak sama.
Agama-agama yang sejati, meski tidak sama,
sebenarnya mempunyai visi sama dalam memandang persoalan keadilan dan
kebenaran.
Agama-agama itu juga mengajarkan umatnya
untuk tidak jatuh dalam praksis beragama yang abstrak, seolah ketidakbenaran
(baca: kebohongan) atau ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita, khususnya
yang mengorbankan kaum miskin, boleh dibiarkan. Bila di tengah ketidakadilan
para tokoh agama atau umat beragama diam saja, ini justru kesalahan besar.
Kritik Profetis
Para tokoh lintas agama kita sesungguhnya
hanya melontarkan kritik profetis. Agama-agama memang harus menyuarakan kritik
profetisnya dan tidak boleh lupa pada perjuangan penegakan kebenaran dan
keadilan.
Sebaiknya memang agama tidak banyak memasuki
ranah politik, melainkan dalam ranah kritik profetis (baca Martin Maier:
“Theologie de Befreiung” dalam Stimmen der Zeit, 1991, halaman 711-712).
Karena agenda melawan kebohongan hanya kritik
profetis, jika kemudian agenda itu tampak melemah atau tak ada gaungnya di
akhir tahun, tidak menjadi masalah. Apalagi, agenda di ranah agama beda dengan
agenda di bidang lain. Yang penting, agenda yang berisi kritik profetis itu
semoga menembus telinga dan hati siapa pun yang mendengar.
Penguasa atau pemerintah sebaiknya tidak
perlu mengajukan apologi atau pembelaan. Langsung saja melakukan aksi, jika
memang ada kebohongan seperti yang dituduhkan, misalnya kritikan terkait
korupsi.
Presiden SBY pernah berkata hendak berdiri di
garda depan dalam pemberantasan korupsi. Buktikan saja. Rakyat sudah bosan
dengan retorika, sementara korupsi justru kian marak di semua lini.
Din Syamsudin juga baru menyebut 2011 sebagai
tahun penuh dusta atau kebohongan. Namun, biar sejarah yang akan menjadi hakim
yang adil serta memberi penilaian, apakah rezim ini memang sungguh telah
melakukan kebohongan atau tidak.
Apalagi, akan tiba saatnya kelak di suatu
waktu, ketika yang tersembunyi di dalam lubuk hati yang terdalam akan
dibukakan, dan ketika yang jahat tidak bisa dikemas serta dicitrakan baik, atau
sebaliknya. Mari kita tinggalkan 2011 dengan segala suka dukanya dan
menyongsong fajar baru 2012. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar