Menemukan
Adab Indonesia
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
Soal perilaku manusia Indonesia belakangan
ini, yang negatif, destruktif, kriminal, penuh nafsu, bahkan telengas, sudah
cukup banyak di analisis. Pada umumnya mereka melihat hal itu antara lain
akibat naluri dasar manusia (bangsa) Indonesia yang—ternyata—mengandung semua
hal negatif di atas. Benarkah demikian?
Sebagian dari amatan itu juga mencoba
melihat, mempelajari, atau bahkan meneladani bagaimana bangsa-bangsa lain
memperadabkan dirinya. Beberapa bangsa/negara, yang sebelumnya justru belajar
dari kita, dijadikan acuan.
Dalam pergaulan internasional, semangat
koreksi diri adalah hal yang wajar. Namun, apa pun hasil amatan dan analisis
itu tetap meninggalkan pertanyaan dasar yang—pada akhirnya—menentukan
pertanyaan dan jawaban berikutnya: apa dan bagaimana kita melihat diri sendiri,
dan akhirnya juga melihat orang lain?
Semua kecenderungan mental dan perilaku
manusia yang destruktif dan instingtif primitif sesungguhnya bukan milik
spesifik bangsa kita. Logika psikososial dan psikokultural semacam ini
sebenarnya sudah umum dipahami. Setiap bangsa punya riwayat kekerasan manusia,
perilaku negatif yang bahkan kadang begitu mengerikan. Adab keras dan negatif
adalah sisi lain dari mata uang kebudayaan: di mana pun dan kapan pun.
Persoalannya tinggal bagaimana (produk)
kebudayaan positif dapat jadi penyeimbang atau alat/mekanisme untuk mencegah,
menanggulangi, atau memberi sanksi bagi negativitas destruktif di atas. Tak
bisa dielak, bangsa Indonesia juga memiliki warisan kekerasan yang merusak.
Namun, harus diakui juga, bahkan di tingkat kekerabatan (komunitas) terkecil,
sebenarnya bagian-bagian dari bangsa ini memiliki alat dan mekanismenya
masing-masing menghadapi kecenderungan negatif dan destruktif tersebut.
Tuntutan Material dan Lupa Diri
Karena itu, taklah elok jika kita melihat
kedegilan manusia Indonesia sekarang dari faktor intrinsik alamiahnya saja.
Jika dengan jernih dan jujur kita identifikasi, di tingkat pertama penyebab
dari semua kekerasan, tindak negatif dan destruktif sebagian dari
saudara-saudara kita itu sebenarnya ada pada tuntutan (kebutuhan) material yang
kian besar dan menekan. Situasi psikologis dari adab modern inilah yang ada di
balik korupsi, manipulasi, kolusi, perampokan, pembunuhan, penjarahan, hingga
kekerasan institusional (baik negara maupun non-negara). Bahkan pada beberapa
tindakan super-ekstrem seperti separatisme atau terorisme.
Tentu ini bukan simplifikasi yang meniadakan
beberapa faktor non-material, seperti ideologi, agama, dan adat-tradisi. Namun,
tanpa kelindan faktor material di atas, kondisinya tak akan mencapai tingkat
kerumitan dan kesulitan setinggi apa yang terjadi saat ini. Faktor atau
tuntutan material di sini dapat ditegaskan bermuara pada persoalan finansial,
dasar ekonomi dari mulai tingkat personal hingga komunal atau institusional.
Setiap orang di negeri ini, terutama di
daerah urban, sub-urban dan sekitarnya, setiap hari disodori tawaran-tawaran
mencengangkan dari gaya hidup yang berkembang saat ini. Dengan semua tawaran
yang tak terbendung oleh tanggul moral (agama, adat, hukum, dan lain-lain) itu
sesungguhnya telah menguras lebih separuh dari penghasilan rutin kita.
Katakanlah dari penggunaan telepon. Jika
dahulu cukup hanya satu telepon dari Telkom, kini satu keluarga bisa memiliki
10, yang semua dibayar oleh orangtua penghasil uangnya. Dengan angka ajaib 175
juta pelanggan seluler, puluhan triliun kita habiskan setiap tahunnya hanya
untuk pulsa dari miliaran SMS, yang sebagian besar tidak produktif.
Mereka yang kaya raya mengganti mobilnya
setiap tahun (bisa beberapa kali), yang menengah mengganti televisi atau
stereonya, yang lebih bawah mengganti telepon seluler, busana, atau sandalnya
beberapa kali dalam setahun. Bayangkan juga konsumsi produk-produk impor,
barang dan jasa yang harganya berlipat-lipat dari nilai produksinya.
Tidak mengherankan jika kita sampai
kehilangan peluang Rp 26,42 triliun lebih dari bisnis buah, atau hilang 2,34
juta lapangan kerja karena kegilaan kelas menengah-atas pada buah dan sayuran
impor. Tak mengherankan pula jika kita adalah negara unggul dalam akses
pelbagai media sosial global. Juga tak mengherankan lebih banyak turis kita
pergi ke satu negara ketimbang sebaliknya.
Mengapa kita begitu lupa diri? Tampaknya
semua itu bukti kegagalan kita, sebagai bangsa dan negara, menyiapkan modal
mental dan kultural yang tangguh untuk menghadapi kekuatan yang mengglobal itu.
Harus diakui, ini bukan kegagalan di tingkat sub-sistem atau etnik, tapi
kegagalan di tingkat nasional, sebagai universe dari lokal-lokal yang ada.
Sebagai bangsa, juga negara sebagai obligor
utama, kita belum berhasil membangun dasar-dasar moral, nilai, dan peradatan—juga
peradaban—yang membuat tiap warga negara tahu bagaimana merespons semua
infiltrasi dan intervensi kultural di atas. Bahkan untuk soal sepenting ini
kita serahkan kepada pasar.
Adab Indonesia
Untuk mengatasinya, negara melalui pemerintah
patut menjadi inisiator utama dan pertama. Kementerian Informasi, bekerja sama
dengan Kementerian Kebudayaan, misalnya, dapat menyebarluaskan tentang
nilai-nilai utama hingga praksisnya dari budaya hidup di alam posmodern ini.
Dari melihat nilai guna sebuah barang dan jasa, cara dan pola konsumsi,
keuntungan dan kerugiannya, cara berkonflik, kesantunan dalam bersosialisasi,
hingga berlalu lintas.
Ini beban kerja lintas sektoral/kementerian.
Setiap kementerian mengeluarkan semacam kode etik yang bisa berlaku umum. Persoalan
ini harus diatasi dan diselenggarakan secara komprehensif di mana semua
instansi terlibat.
Di bagian utama, kebudayaan, kementerian yang
membawahinya mesti segera menemukan atau mengidentifikasi nilai-nilai utama
dari adat dan istiadat lokal kita yang dapat dipekerjakan secara
nasional/universal. Lalu, biarkan publik memprosesnya secara alamiah melalui
proses akulturasi yang sudah mereka kukuhi sejak lama, untuk menjadikan semua
itu sebuah kultur dan adab baru: kultur dan adab Indonesia, yang (maaf!) memang
belum kita miliki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar