Bara
Konflik Pertanahan
Novri Susan, SOSIOLOG
KONFLIK UNAIR, SEDANG RISET PHD DI DOSHISHA UNIVERSITY, KYOTO, TENTANG “LAND
CONFLICT MANAGEMENT IN INDONESIAN DEMOCRACY”
Sumber
: KORAN
TEMPO, 21
Desember 2011
Pembantaian
Mesuji, wilayah di Provinsi Lampung, menyeruak ke ruang publik yang sudah sesak
oleh seabrek multidimensi persoalan bangsa. Menurut laporan para korban yang mendatangi
Komisi III DPR, ada 30 petani yang dibantai oleh kelompok berseragam aparat
keamanan. Pembantaian tersebut berawal dari proses perluasan wilayah penggunaan
lahan oleh PT Silva Inhutani pada 2003. Terkuaknya pembantaian tersebut
memperjelas bahwa masyarakat Indonesia didera oleh bara konflik pertanahan.
Persoalan fundamentalnya, masyarakat kecil yang lemah modal, seperti
komunitas-komunitas adat dan petani gurem, selalu menjadi pihak terkalahkan dalam
bara konflik tersebut. Kasus pembantaian Mesuji hanyalah salah satu kasus dari
berbagai marginalisasi represif terhadap masyarakat kecil.
Pada dasarnya
berbagai dimensi konflik tanah senyatanya gagal dikelola untuk
dipecahkan tanpa
kekerasan oleh pemerintah republik ini. Indikasinya adalah,
eskalasi konflik
pertanahan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Direktorat Konflik
Pertanahan melaporkan konflik tanah yang melibatkan komunitas pada 2006 ada 322
kasus, pada 2007 ada 858 kasus, pada 2008 ada 520 kasus, dan pada 2009 ada 194
kasus. Kasus-kasus tersebut menumpuk belum terselesaikan dan cenderung diwarnai
oleh kekerasankekerasan dalam dinamika konfliknya. Termasuk pada kasus konflik
tanah di Mesuji, Lampung.
Konflik
pertanahan memiliki dimensidimensi, seperti konflik tanah komunitas
adat melawan
perusahaan negara atau swasta, konflik tanah komunitas petani
gurem melawan
perusahaan, komunitas PKL (pedagang kaki lima) melawan
pemerintah kota,
sampai konflik antarkomunitas desa atas area tanah tertentu.
Berdasarkan
penelitian penulis, terdapat beberapa sebab konflik pertanahan yang melibatkan
komunitas.
Pertama,
kejahatan perusahaan (dirty business) atas kontrak penggunaan lahan yang
dimiliki oleh komunitas adat tertentu. Menurut para anggota komunitas adat,
dalam penelitian lapangan di Kabupaten Tulang Bawang oleh penulis,
perusahaan-perusahaan
perkebunan melakukan perluasan area HGU tanpa
persetujuan
komunitas adat. Misalnya area HGU dalam kontrak resmi adalah
20 ribu ha,
namun realisasinya menjadi 30 ribu ha. Komunitas adat menduga perusahaan melakukan
kongkalikong dengan pemerintah untuk menciptakan dokumen “legal” yang memberi
lisensi luas area lebih dari kontrak awal dengan komunitas adat. Akibatnya,
anggota komunitas adat dilarang mengelola area lahan tersebut. Akibatnya,
mereka terusir dari lahanlahan wilayah adat yang diklaim sebagai area HGU. Pada
dimensi kejahatan lain, perusahaan sering mangkir membayar ganti rugi atas
penyerahan lahan kepada komunitas.
Kedua, klaim
atas lahan “kosong” antara perusahaan dan komunitas petani. Area
tanah HGU (hak
guna usaha) yang sudah lewat batas kontrak atau tidak dikelola
perusahaan
sering menjadi lahan kosong bertahun-tahun. Kondisi ini menyebabkan komunitas-komunitas
petani yang tidak punya lahan mengelola lahan kosong tersebut. Pola serupa juga
sering terjadi di wilayah perkotaan, di mana lahan-lahan kosong kemudian
dimanfaatkan untuk menjadi area pasar dan permukiman masyarakat bawah. Konflik
muncul ke permukaan ketika perusahaan atau Negara ingin melakukan pemanfaatan atas
lahan itu.
Ketiga,
keteledoran administrasi pertanahan oleh BPN. Pada kasus di Lampung,
satu bidang
tanah tertentu bisa memiliki 10-20 sertifikat atas nama orang berbeda. Masing-masing
pihak merasa memiliki hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat tanah
tersebut. Pada dimensi ini, konflik pertanahan bisa terjadi di antara komunitas
petani (horizontal) dan komunitas petani melawan perusahaan swasta maupun
negara.
Konflik tanah
cenderung berlangsung lama (perpetuated conflict), terutama yang
melibatkan
komunitas-komunitas adat karena mekanisme litigasi selalu dijadikan
preferensi
menyelesaikan konflik tanah. Perusahaan swasta dan negara lebih
memanfaatkan
mekanisme litigasi, yaitu memasukkan konflik tanah ke pengadilan. Hasil
pengadilan sering kali memenangkan perusahaan karena memiliki dokumen-dokumen
legal yang membuktikan kepemilikan atau hak pengelolaan atas area tanah.
Sedangkan komunitas adat, petani, atau PKL terkalahkan karena kelompok ini
hanya memiliki bukti adat seperti cerita atau surat kesaksian yang tidak diakui
oleh pengadilan. Proses litigasi sering menyebabkan komunitas kecil merasa
tidak mendapat ketidakadilan.
Karenanya,
gerakan-gerakan perlawanan, dari cara damai sampai kekerasan, untuk mendapatkan
kembali tanah dan keadilan terus dimobilisasi.
Mekanisme Alternatif
Jika melihat
dari realitas kepemerintahan, bara konflik pertanahan yang terus
menyala dan
tidak ditemukan pemecahan masalahnya disebabkan oleh bad governance, seperti
administrasi pertanahan yang buruk, patron-klien swasta dan pemerintah, aparat
keamanan yang berposisi sebagai centeng untuk pemodal, dan pengadilan yang
korup. Pengadilan sering kali menjadi mekanisme marginalisasi represif, yaitu “mengalahkan”
komunitas-komunitas adat, petani, dan masyarakat kecil lainnya atas nama hukum
positif. Aparat kepolisian berlandaskan pada keputusan pengadilan tersebut, dan
bekerja sama dengan institusi pemerintah lainnya, melakukan pengamanan dan pembersihan.
Pada gilirannya, keputusan pengadilan yang dilindungi hukum positif mampu
mengubah komunitas pencari keadilan sebagai para kriminal.
Mekanisme
litigasi atau pengadilan jelas tidak memberi jaminan pemecahan
konflik
pertanahan dalam konteks transisi demokrasi Indonesia saat ini. Hal ini
karena mekanisme
litigasi buta terhadap aspek historis sosiologis atas kepemilikan dan
pengelolaan tanah oleh komunitas. Usulan Komnas HAM pada awal 2004 tentang
mekanisme alternatif penyelesaian konflik tanah melalui pembentukan Komisi
Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (Knupka) seharusnya direalisasi.
Pembentukan komisi ini bersifat temporer selama BPN sebagai lembaga yang
bertanggung jawab dalam tata kelola konflik pertanahan masih belum mampu. Faktanya,
BPN tidak bisa berbuat banyak, karena kapasitas kelembagaan dan sumber daya
yang masih lemah.
Tragedi Mesuji
hanyalah bagian kecil dari bara konflik pertanahan Indonesia. Jika Negara
terus-menerus bersikap keras kepala dengan mekanisme litigasi, bara konflik
pertanahan akan terus membesar. Aspek kerugian terhadap produktivitas sosial-ekonomi
bangsa dipertaruhkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar