Pola
Penularan Korupsi
Haryatmoko, DOSEN DI PASCASARJANA FIB UI DAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
Rekening gendut PNS muda membuat terkesima
masyarakat. Banalitas korupsi (korupsi sudah jadi hal yang biasa) menjelaskan
mengapa masih muda sudah korup.
Banalitas itu adalah indikator korupsi sudah
jadi kejahatan struktural. Ciri struktural kejahatan korupsi ini memudahkan penularannya
ke generasi muda. Korupsi telah begitu mengakar sampai membentuk struktur
kejahatan, yaitu ”faktor negatif yang terpatri dalam institusi-institusi
masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan bersama” (Sesboüé, 1988).
Akibatnya, orang muda yang meniti karier
dalam organisasi pelayanan publik mudah terjebak masuk ke jalur rentan korupsi
tanpa perlawanan nurani. Struktur dasar masyarakat sudah dibusukkan. Pembusukan
lembaga sosial, padahal berperan mendefinisikan hak dan kewajiban warga negara,
jadi sumber kepincangan dan ketidakadilan. Jadi, korupsi kian memperparah
kemiskinan, bahkan—karena sistematis—sudah seperti mafia.
Mafia dan Komunikasi Kekuasaan
Munculnya organisasi mafia menunjukkan gejala
krisis institusional negara di mana ketidakadilan lebih dominan daripada
keadilan; korupsi merajalela sampai mengaburkan batas yang boleh dan dilarang,
yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma (Ayissi, 2008). Korupsi kartel-
elite merupakan korupsi berbentuk mafia. Banyak tokoh muda sudah terlibat dan
berperan dalam korupsi ini. Pendorong utama korupsi jenis ini: pendanaan
parpol!
Korupsi ini melibatkan jaringan parpol,
pengusaha, penegak hukum, dan birokrat karena parpol tidak mengakar, tapi lebih
mewakili kepentingan elite; sistem peradilan korup; birokrasi rentan korupsi.
Situasi ini membuat politik penuh risiko dan ketidakpastian (Johnston, 2005:
89-90). Korupsi jenis ini adalah cara elite menggalang dukungan politik dari
masyarakat, lembaga legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (Lordon, 2008:
10). Jadi, korupsi telah menjadi kejahatan yang mengakar dan habitus buruk
bangsa.
Habitus dipahami sebagai hasil keterampilan
yang jadi tindakan praktis yang tak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu
menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam
lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: 16-17). Habitus korupsi ditularkan
tanpa harus melalui bahasa langsung atau disadari, tapi melalui ajakan yang
terpatri pada praktik yang biasa sekali.
Modalitas praktiknya tampak dalam (i) cara
membuat laporan; (ii) cara berinteraksi dengan atasan atau dengan instansi
lain; (iii) dalam kontrak/tender; (iv) cara membuat anggaran; (v) cara mendapat
jabatan, penempatan anak buah, penerimaan anggota baru; (vi) syarat urusan bisa
beres. Suap ke birokrat tak memecahkan masalah kemacetan administrasi, tetapi
justru memberitahukan kepada pejabat lain mereka bisa memperoleh uang dengan
memperlambat prosedur administrasi. Korupsi mengomunikasikan praktik
pelaksanaan kekuasaan.
Modalitas itu sulit ditolak karena cukup
tersembunyi dan sengaja dibuat untuk tak meninggalkan jejak (tak ada kuitansi,
menghindari transaksi lewat bank, tak ada perjanjian tertulis), tapi bisa
dirasakan ada yang tak beres. Di balik praktik korupsi tersembunyi kode rahasia.
Kerahasiaan ini hanya akan tersingkap apabila terjadi krisis hubungan di antara
yang terlibat.
Ketika Nazaruddin merasa dikorbankan, ia
membuka rahasia jaringan, tetapi rantai terputus. Yang terjadi justru
desolidarisasi terhadap kambing hitam dan penggalangan solidaritas untuk
melindungi tokoh-tokoh kunci karena merupakan simbol kohesi sosial partai.
Korupsi sudah jadi tindakan praktis yang tak menumbuhkan rasa salah. Maka,
setiap orang yang masuk ke struktur kekuasaan cenderung korupsi. Tak aneh apabila
orang muda PNS sudah mempunyai rekening gendut.
”Agentic Shift” dan Meniru
Banalitas korupsi membuat koruptor mencari
alibi tanggung jawab. Bentuk alibi tanggung jawab disebut S Milgram sebagai
agentic shift. Hal ini terjadi ketika orang menimpakan tanggung jawab kepada
pihak lain yang dianggap lebih penting, seperti atasan, organisasi, agama,
Tuhan (Dobel, 1999: 30). Bersembunyi di balik perintah atasan atau kepentingan
organisasi/kelompok jadi pola pengalihan tanggung jawab. Kelompok sering makin
memperparah kecenderungan alibi tanggung jawab ini karena kelompok
melebih-lebihkan distorsi informasi, sekaligus memberikan sumber rasa nyaman
atau simpati sehingga semakin meneguhkan pejabat publik seakan korupsi bisa
dibenarkan.
Upaya mengelak dari tanggung jawab membungkam
kemampuan pertimbangan moral. Akibatnya, koruptor tidak merasa bersalah karena
biasanya korbannya. Mekanisme silih sering dipakai untuk mengurangi rasa salah.
Sebagian uang disumbangkan untuk rumah ibadah, lembaga agama, atau bentuk kesalehan
lain. Upaya ini untuk menghindari rasa salah moral, setelah secara hukum bisa
lepas dari sanksi berkat impunitas.
Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola
sistem isolasi sesuai model pembagian kerja. Maka, koordinasi tetap efektif dan
kerahasiaan terjaga. Strategi ini memungkinkan memutus rantai sehingga jaringan
tak mudah terbongkar. Hanya oknum yang terkena.
Kasus Nazaruddin contoh nyata
bagaimana penegak hukum tak mampu membongkar jaringan korupsi. Negara yang
secara institusional sarat korupsi mengondisikan munculnya bentuk-bentuk
kriminalitas lain dan membangun pola reproduksi kejahatan korupsi. Efek
peniruan korupsi merasuk ke generasi muda. PNS muda sudah biasa membuat
proposal dengan penggelembungan angka atau menerima gratifikasi tanpa rasa
salah. Semua seakan sah.
Pengakuan legitimitas itu terpatri pada
praktik sosial sehingga membentuk kecenderungan yang sama pada hampir setiap
warga negara. Kejahatan korupsi biasanya ditanamkan lewat proses mimesis
(meniru). Apabila ada upaya melawan atau bersikap jujur, lingkungan memberi
sanksi. Akhirnya, kepatuhan tanpa tekanan akan mengikuti karena menyesuaikan
diri menjanjikan keuntungan materi dan simbolis atau promosi jabatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar