Kamis, 29 Desember 2011

Kembalinya Kebudayaan ke Pendidikan


Kembalinya Kebudayaan ke Pendidikan
Darmaningtyas, PENULIS BUKU TIRANI KAPITAL DALAM PENDIDIKAN
Sumber : KORAN TEMPO, 29 Desember 2011


Banyak catatan yang dapat diberikan untuk pendidikan nasional pada akhir 2011 ini, mengingat ada sejumlah persoalan muncul, baik pada tingkat kebijakan maupun praktek di lapangan. Pada tingkat kebijakan, misalnya, adalah dikembalikannya kebudayaan ke dalam sistem pendidikan nasional, dan munculnya wacana untuk menarik kembali urusan pendidikan ke pusat. Ini merupakan momentum yang amat penting karena, selama satu dekade lebih, pendidikan berjalan tanpa roh kebudayaan. Sedangkan pada tingkat praksis di lapangan, muncul sejumlah kasus mengenai keterlambatan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah, murid yang diminta memberikan sontekan kepada murid lain pada saat ujian nasional, dan kisruh di Universitas Indonesia.

Ironi Dana BOS

Kementerian Pendidikan Nasional pada 2011 ini mencoba melakukan perubahan dalam hal penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah. Sejak tahun ajaran 2005/2006 sampai 2010, dana BOS tersebut disalurkan langsung dari pemerintah pusat ke rekening sekolah-sekolah. Tapi, dengan maksud menyesuaikan dengan kebijakan politik nasional yang mendesentralisasi urusan pendidikan ke daerah, pemerintah pun mencoba melakukan eksperimen dengan cara menyalurkan dana BOS lewat pemerintah daerah (kabupaten/kota), dengan harapan pemda turut bertanggung jawab atas penggunaan dana BOS tersebut. Ada nota kesepakatan antara Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan agar dana BOS untuk semester genap atau awal tahun kalender ditransfer pada Januari 2011; dan itu sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Namun ternyata, dalam perjalanannya, dana BOS tersebut sampai ke sekolah-sekolah terlambat 2 hingga 6 bulan.

Keterlambatan dana BOS ke sekolah-sekolah pada 2011 ini suatu ironi besar, mengingat hal ini justru terjadi pada saat penyaluran dana BOS dilakukan lewat pemda, yang secara fisik dekat dengan sekolah dan secara hierarki menjadi tanggung jawab pemda. 
Seharusnya pemda memperlancar penyaluran dana BOS tersebut agar proses pendidikan di wilayahnya berjalan lancar dan berkualitas. Kebanyakan pemda menahan dana BOS tersebut di rekening pemda selama 2-6 bulan dengan harapan dapat memetik keuntungan berupa bunga bank. Atas dasar pengalaman buruk tersebut, penulis melalui rubrik Opini di media ini mengusulkan agar mekanisme penyaluran dana BOS dikembalikan seperti semula, yaitu dari pusat langsung ke rekening sekolah-sekolah.

Kasus keterlambatan penyaluran dana BOS, yang terjadi justru pada saat dana BOS disalurkan melalui pemda, menunjukkan bahwa para pemimpin daerah kurang peduli terhadap nasib pendidikan warganya. Yang mereka pedulikan hanyalah uang yang dapat mereka korupsi. Mereka tidak berpikir jauh bahwa, dengan menahan penyaluran dana BOS, sesungguhnya mereka telah mengganggu proses belajar-mengajar di wilayahnya.

Ujian Kejujuran

Masalah kontroversi ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan sampai sekarang belum kunjung selesai, bahkan tidak akan pernah selesai, karena saya mengetahui bahwa ada sekelompok guru maupun mereka yang peduli pada pendidikan yang sekarang justru sedang menyiapkan semacam buku putih sebagai sarana untuk kampanye menolak UN. Ujian nasional sebagai penentu kelulusan cenderung mereduksi proses belajar-mengajar lantaran tujuan akhir belajar adalah lulus UN. Persoalan UN mencuat ke permukaan pada 2011 ketika Ibu Siami, orang tua dari Alif Ahmad Maulana, murid SDN Gadel 2 Tandes, Surabaya, dan Irma Winda Lubis, ibu dari Muhamad Abrary, murid SDN 6 Pesanggrahan, Jakarta Selatan, mengungkapkan kepada publik bahwa anak mereka diminta memberikan sontekan kepada murid lain pada saat ujian nasional. Berita itu cukup menghebohkan karena berbuntut pada diusirnya keluarga Ibu Siami dari rumah kontrakannya di Tandes oleh masyarakat sekitar. Masyarakat tetangga Ibu Siami marah lantaran mereka khawatir akan ada UN ulangan dan akhirnya anak mereka tidak lulus. Demikian pula yang dialami Muhamad Abrary, dia akhirnya tidak berani masuk ke sekolah negeri karena di sekolah negeri justru merasa terteror oleh birokrasi.

Apa yang terjadi pada keluarga Siami di Surabaya dan Irma Winda Lubis di Jakarta tersebut menunjukkan bahwa, dalam sistem pendidikan nasional, yang sedang mengalami ujian bukan hanya murid-murid di kelas akhir (VI SD atau III SMP-SMTA). Kejujuran birokrasi pendidikan itu sendiri juga sedang diuji. Ironisnya, meskipun hal yang paling ditekankan pada pendidikan karakter itu adalah masalah kejujuran, dalam realitas sosiologisnya kita jengah terhadap mereka yang bertindak jujur. Birokrasi pendidikan sangat tidak ramah terhadap anak-anak yang bertindak jujur, bahkan menuduhnya berhalusinasi. Ini mencerminkan adanya ketidakkonsistenan antara kebijakan yang dibuat dan yang dijalankan.

Pada tingkat pendidikan tinggi, tahun ini ada perubahan kebijakan pola penerimaan mahasiswa baru di PTN yang lebih banyak (60 persen) diterima melalui tes bersama. Sebelumnya, terutama di perguruan tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN), kuota penerimaan mahasiswa baru melalui tes bersama itu beragam, ada yang hanya 10 persen, ada juga yang mencapai 50 persen. Tapi mulai 2011 ini, berdasarkan PP Nomor 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, kuota mahasiswa yang diterima melalui tes bersama itu mencapai 60 persen. Selain itu, juga mengembangkan sistem undangan. Keduanya itu merupakan langkah baru bagi pemerintah untuk membuka akses masyarakat tidak mampu terhadap pendidikan tinggi yang lebih luas.

Di sisi lain, keberadaan PP Nomor 66/2010 juga dapat memicu persoalan baru, seperti terlihat di Universitas Indonesia (UI). Gonjang ganjing di UI yang kemudian memunculkan kasus saling pecat antara rektor dan Majelis Wali Amanah (MWA) terjadi karena ada distorsi pemahaman terhadap keberadaan PP Nomor 66/2010. Dalam PP tersebut, ada aturan mengenai masa transisi PTBHMN untuk kembali menjadi perguruan tinggi negeri sampai 31 Desember 2012, tapi Rektor UI ingin secepatnya menjalankan peran sebagai rektor PTN, sehingga menisbikan keberadaan MWA yang pada 2007 memilihnya menjadi rektor. Tindakan rektor itu pun memicu MWA melakukan penisbian yang sama terhadap rektor. Namun, melalui mediasi yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, akhirnya disepakati bahwa masa transisi berlangsung sampai 31 Desember, dan organ-organ dalam PTBHMN masih berlaku hingga September 2012 nanti. Kasus UI itu memberi kita refleksi bahwa privatisasi PTN menjadi PTBHMN tidak otomatis mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas kepada publik yang lebih baik.

Catatan akhir tahun 2011 ini tidak melulu sedih. Ada pula yang menggembirakan, yaitu kembalinya roh kebudayaan ke pendidikan nasional sejak 20 Oktober 2011, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perubahan susunan kabinet dan di sana diangkat seorang Wakil Menteri Pendidikan untuk urusan kebudayaan, dan mengubah nomenklatur dari Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, kebudayaan melekat pada Kementerian Pariwisata. Kembalinya roh kebudayaan ke dalam sistem pendidikan nasional tersebut diyakini akan memberikan dasar yang kuat pada praksis pendidikan nasional, sehingga tidak hanya terjebak pada persoalan-persoalan manajerial belaka, tapi juga sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangun peradaban bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar