Selasa, 27 Desember 2011

Menyikapi Kepemilikan Media


Menyikapi Kepemilikan Media
Sabam Leo Batubara, ANGGOTA TIM PERANCANG AWAL RUU PENYIARAN 1999, 2000
Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendapat ujian. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Para pengaju uji materi ini berpendapat bahwa penyiaran merupakan suatu media yang menggunakan ranah publik, yaitu frekuensi, yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Namun, pada praktiknya para pemimpin media penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan pemusatan kepemilikan media penyiaran.

Menurut Koordinator KIDP Eko Maryadi, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Komisi Penyiaran Indonesia selama ini membiarkan pelanggaran tersebut.

Pemusatan Kepemilikan

Apakah pemusatan kepemilikan atau konglomerasi media salah? Apa alat ukurnya?
Awal tahun 2000-an saya— sebagai Ketua Pelaksana Harian Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS)—dan pengurus lain diundang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ke kantornya di Jakarta. KPPU meminta pendapat SPS, apakah harian Kompas dapat dinilai telah mempraktikkan monopoli dan grup Jawa Pos telah memusatkan kepemilikan media yang tidak sehat?

Pengurus SPS menilai, media-media tersebut jauh dari praktik monopoli. Alasannya, Kompas baru bertiras sekitar 500.000 eksemplar, baru 10,2 persen dari jumlah tiras surat kabar harian nasional sebesar 4,9 juta eksemplar. Tiras lima puluhan surat kabar harian yang tergabung dalam grup Jawa Pos ditaksir satu juta eksemplar, yakni 20,4 persen dari jumlah seluruh tiras surat kabar harian.

Penilaian itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menyebutkan bahwa praktik monopoli baru terjadi jika melebihi batasan Pasal 27 Huruf a: ”Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”. Pasal 27b: ”dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.

Sejak sembilan tahun lalu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berlaku. UU itu berparadigma demokratisasi penyiaran dan demokrasi ekonomi. Artinya, industri penyiaran dari segi idiil harus diselenggarakan berdasarkan keanekaan kepemilikan dan isi serta untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pertanyaannya, benarkah sudah ada sejumlah pelaku industri penyiaran yang melanggar landasan yuridis itu? Fakta-fakta menunjukkan bahwa tuduhan ini masih tanpa bukti dan pendapat tentang pemusatan kepemilikan media belum tentu benar.

Untuk mengamankan terwujudnya demokrasi ekonomi dan demokratisasi penyiaran, pertama, UU Penyiaran Pasal 34 Ayat 4 melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran.

Menurut sejumlah kalangan, sejumlah pelaku usaha penyiaran televisi telah melakukan jual-beli frekuensi penyiaran. Kalau bukti-buktinya ada, mengapa pelanggarnya tidak diajukan ke jalur hukum? Ketentuan pidana Pasal 58 UU Penyiaran dapat memidana-penjarakan sampai dua tahun dan/atau denda sampai Rp 5 miliar.

Kedua, UU Penyiaran Pasal 18 Ayat 1 jelas membolehkan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta, tetapi dibatasi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (22 Juli 2004), hanya pemerintah yang berwenang membuat peraturan tentang batasan itu. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang batasan itu salah, mestinya permasalahan diajukan ke Mahkamah Agung.

Tidak Hanya di Indonesia

Ketentuan UU Penyiaran bahwa pemusatan kepemilikan media dibolehkan tetapi dibatasi juga dianut oleh UU penyiaran negara-negara demokrasi lainnya, seperti AS dan Australia. Bedanya, batasan pemusatan kepemilikan industri penyiaran di Indonesia diatur oleh peraturan pemerintah, di AS oleh Komisi Penyiaran AS, di Australia masuk UU Penyiaran.

Kemudian, penentu kebijakan nasional, pelaku usaha, dan pemerhati industri penyiaran kita juga perlu memahami prinsip ekonomi media yang berlaku dalam bisnis media penyiaran. Sehat tidaknya bisnis penyiaran televisi bergantung pada daya dukung ekonomi yang tersedia.

Berdasarkan daya dukung ekonomi, di Australia hanya tiga TV komersial yang bersiar nasional, yakni Channel 7, Channel 9, dan Channel 10. Selebihnya adalah lembaga penyiaran swasta lokal, publik, berlangganan, dan komunitas. Di AS pun hanya tiga stasiun televisi bersiar nasional, yaitu American Broadcasting Company (ABC), National Broadcasting Company (NBC), dan Columbia Broadcasting System (CBS).

Daya dukung ekonomi Indonesia tidak lebih baik dibandingkan Australia dan AS. Berdasarkan kondisi itu, Indonesia diperkirakan paling hanya mampu menghidupi tiga TV komersial bersiar nasional yang sehat idiil dan bisnis. Sekarang di Jakarta terkonsentrasi paling tidak 10 TV komersial yang memilih segmen nasional. Untuk meraih posisi tiga stasiun TV yang sehat—menurut hemat saya—pelaku usaha media penyiaran televisi boleh saja melakukan upaya pemusatan kepemilikan sesuai batasan yang memadu kepentingan terwujudnya misi idiil dan misi bisnis penyiaran.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas disimpulkan: pertama, penyelesaian pelanggaran oleh lembaga penyiaran yang terbukti melakukan jual-beli frekuensi penyiaran dan/atau melakukan pemusatan kepemilikan media seyogianya diajukan ke jalur hukum, bukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pelanggarnya berdasarkan UU Penyiaran dapat dipidana penjara dan/atau dipidana denda.

Kedua, ketentuan UU Penyiaran bahwa ”pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, dibatasi” tidak melanggar prinsip demokratisasi penyiaran. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang ketentuan itu salah, solusinya menjadi kewenangan Mahkamah Agung.

Ketiga, karena jumlah lembaga penyiaran televisi yang bersiar nasional terlalu banyak dibandingkan daya dukung ekonomi, upaya industri media televisi menuju tiga stasiun TV yang sehat bisnis dan sehat idiil tidak dapat serta-merta dinilai sebagai praktik monopoli yang mematikan keanekaan informasi.

Keempat, dalam revisi UU Penyiaran yang sudah diagendakan patut dipertimbangkan agar semua peraturan pemerintah tentang penyiaran sebaiknya dibahas di DPR untuk menjadi bagian dari UU Penyiaran. Rumusannya selain taat asas demokrasi ekonomi dan demokratisasi penyiaran juga mengakomodasi prinsip ekonomi media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar