2012
Budiarto Shambazy, WARTAWAN
SENIOR KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 31 Desember 2011
Ada rasa waswas meninggalkan tahun 2011
sekaligus menyambut kedatangan tahun 2012 yang dimulai tengah malam ini.
Tradisi kita selalu menaruh harapan besar pada setiap pergantian tahun.
Apa lacur grafik harapan pada setiap
pergantian tahun dalam beberapa tahun terakhir ini semakin menukik ke bawah.
Peristiwa demi peristiwa yang menguak harapan baru terjadi hampir setiap bulan
sepanjang tahun 2011.
Namun, harapan demi harapan ternyata pupus.
Akibatnya, kita telah terbiasa kecewa dan secara perlahan-lahan tak berani lagi
berharap.
Ambil contoh karut-marut sepak bola kita.
Reformasi sepak bola menerbitkan harapan baru. Kecintaan masyarakat kepada tim
nasional terus meningkat drastis.
Namun, gelar juara selalu gagal digenggam dan
membuat kita bertanya kepada diri sendiri dan juga kepada Yang di Atas kenapa
kita gagal terus.
Ini tak hanya terjadi di sepak bola, tetapi
juga di bidang-bidang kehidupan lain.
Kita berharap korupsi wisma atlet dan
Ambalang diusut tuntas. Namun, yang terjadi cuma sandiwara berkepanjangan dan
membosankan yang dimainkan oleh pihak-pihak yang itu-itu juga.
Kita berharap penuntasan skandal Century
sesuai dengan keputusan konstitusional DPR. Akan tetapi, sampai kini tak ada
kemajuan yang berarti dalam penyidikannya meski Opsi C secara jelas
memerintahkan penyidikan atas aliran dana Century ke capres-cawapres dan parpol
tertentu.
Siapa yang bertanggung jawab atas kekecewaan
demi kekecewaan yang ditelan masyarakat hari demi hari? Jawabannya mudah, yakni
penguasa.
Penguasa dan kekuasaan yang digenggam mereka
telanjur menguasai hampir semua jaringan politik dan birokrasi, yang cukup
ampuh menahan terungkapnya fakta-fakta kebenaran. Mereka bekerja secara
sistematis dan otomatis untuk membendung setiap kekuatan yang mencoba melawan.
Dan, itulah yang terjadi secara konstan serta
konsisten sejak tahun 2009, yang dimulai dengan peristiwa Cicak vs Buaya.
Puncaknya terjadi pada 2011 ini, tahun yang mungkin layak disebut sebagai annus
horribilis (tahun horor).
Ibarat sepak bola, gurita kekuasaan yang
menyembunyikan korupsi itu menerapkan sistem pertahanan gerendel (catenaccio)
yang teramat sukar dibongkar tim lawan. Menurut teori, sistem gerendel wajib
dipraktikkan dengan disiplin teguh, kerja sama erat, stamina kuat, dan
kemampuan teknis pemain memadai.
Dasar pemain Indonesia, sistem gerendel
ternyata kurang cocok. Kini mulai tampak disiplin mengendur drastis, kerja sama
makin kurang harmonis, stamina turun, dan skill yang pas-pasan.
Dengan kata lain, pusat kekuasaan mulai
labil. Para penguasa lupa pada sebuah prinsip penting, yaitu kebenaran akan
mencari jalannya sendiri apabila kekuasaan dijalankan tanpa tanggung jawab
sosial.
Teramat mudah berasumsi bahwa kerja sama semakin
rapuh karena orang-orang di sekeliling kekuasaan sudah mulai membangkang atau
menjaga jarak aman. Lihat saja bagaimana sengketa lahan atau tambang di
sejumlah daerah berakhir dengan tragis karena lemahnya kontrol pusat.
Berhubung upaya mencegah terungkapnya
korupsi-korupsi menghabiskan tenaga dan waktu, secara otomatis stamina
kekuasaan menurun pula. Pertanyaannya sederhana: sampai kapan, sih, Anda semua
mampu mengelak dari tanggung jawab korupsi wisma atlet atau Ambalang?
Terakhir, kemampuan teknis orang per orang di
pusat kekuasaan ternyata juga terbatas. Mereka tidak saja kurang mampu
mengerjakan tugas-tugas mulia sebagai abdi negara yang ingin menyejahterakan
rakyat, tetapi juga bingung sendiri harus bagaimana lagi menanggulangi
kemiskinan atau mempertahankan kedaulatan wilayah.
Sekali lagi, jika memakai metafora sepak
bola, tahun 2012 merupakan babak adu penalti. Anda semua boleh saja bertahan
sekuat-kuatnya. Akan tetapi, pada akhirnya mesti menghadapi tos-tosan, saat
penjaga gawang tak kuasa lagi menyelamatkan semua lima tendangan penalti ke
gawangnya.
Lalu bagaimana Anda, penonton pertandingan,
sekalian? Jangan khawatir, kita sudah sama-sama dewasa dan ogah lagi
menyaksikan pertandingan yang berakhir dengan kerusuhan.
Kita, penonton, tak perlu masuk ke lapangan,
apalagi membakar stadion. Kita sudah kapok dengan apa yang terjadi pada tahun
1998. Kita menghendaki perubahan yang konstitusional.
Masih ada sinar terang di ujung terowongan
bagi Anda semua. Mari kita berharap semoga 2012 jadi tahun yang penuh berkah
dari Yang di Atas.
Namun, syaratnya satu. Tetaplah memilih hidup
yang bersih karena nurani, pikiran, jiwa, dan raga yang bersih disukai Yang di
Atas, alam, keluarga, teman, serta lingkungan sosial kita.
Kita bersihkan diri dari prasangka, rasa iri,
perbuatan tak menyenangkan, keangkuhan, dan keserampangan. Kita wajib bersih
dari korupsi, sang musuh nomor satu. Selamat Tahun Baru 2012! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar