Matinya
Narasi
Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD-ITB
Sumber
: KOMPAS, 29 Desember 2011
Akhir tahun adalah sebuah ”jeda”, titik
penghubung ke awal dalam suatu siklus. Di dalam siklus, titik pertemuan dari
akhir ke awal sebenarnya berada di lapis luar, sesuatu yang dirumuskan manusia
berdasarkan fenomena yang terjangkau nalar: bahwa ada 12 bulan dalam setahun, 7
hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari, dan seterusnya.
Siklus ini menyebabkan kita, pada
pergantiannya, seolah menghadapi yang baru sehingga galib menyebut 1 Januari
tahun baru. Padahal, pada titik substansi (lapis dalam), kehidupan sebenarnya
bergerak terus ke arah yang mungkin tak bisa disikluskan, tidak juga dapat
dikatakan linear. Ke manakah kehidupan bergerak, ke depan atau justru ke
belakang?
Nalar manusia cenderung menangkap bahwa kita
sedang bergerak ke depan. Kecenderungan pemahaman ini juga sering disertai
keyakinan ”mistis”: bergerak ke depan identik menyongsong kemajuan (ke depan
kita maju, ke belakang kita mundur).
Faktanya kita melihat kian hari peradaban
manusia tak membaik. Berbagai penemuan bidang sains dan teknologi yang lahir
dari kecanggihan berpikir manusia ternyata tak serta-merta membuat kehidupan
lebih tenteram. Alih-alih kian damai, penemuan itu justru membuat manusia
merasa terancam, panik, skizoprenik, dan irasional.
Dalam konteks lain yang lebih aktual, kita
bisa mengambil proposisi ekstrem: jika kian hari manusia kian berpikir canggih,
kota metropolitan macam Jakarta mestinya kian jadi kota yang tertata baik. Pun
demikian kasus pengelolaan negara: pemerintahan SBY seharusnya lebih bagus dari
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun, bukankah kenyataannya tak begitu.
Jakarta justru bergerak ke arah nekropolis (kota kehancuran). Kebobrokan moral
pada tubuh pemerintahan sama parahnya dengan masa lalu.
Itu berarti kita sebenarnya tak bergerak ke
depan dalam arti ke arah lebih maju. Kiranya juga tak melangkah ke belakang
sebab kebaikan dan prestasi di belakang tak terlampaui; keburukannya tak bisa
diperbaiki. Kita, hemat saya, jadi patahan-patahan mengambang. Kita ahistoris,
tapi juga tak progresif. Tak mengenal masa lalu sekaligus buta terhadap masa
depan. Inilah yang saya sebut matinya narasi.
Tragedi Kebudayaan
Narasi, dalam arti sempit, adalah rangkaian
peristiwa (Gennete, 1980). Rangkaian peristiwa meniscayakan unsur pelaku,
waktu, ruang, dan realitas peristiwa. Relasi semua unsur itu membentuk durasi,
yakni gerak maju masa lalu ke masa kini, dan lantas ”memersepsi” masa depan.
Sebuah gerak maju adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi (dure) dari masa lalu
sehingga dengan begitu ia mengandaikan masa depan (Bergson, 2002). Dengan
inilah, dalam arti luas, narasi membentuk pengetahuan (Lyotard, 1989).
Kebudayaan atau lebih luas peradaban terbentuk dari ”praktik narasi” ini.
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam
kehidupan kebudayaan kita, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Demokrasi yang
telah direbut dengan gemilang oleh gerakan reformasi ternyata tidak dimaknai
dan dimanfaatkan dengan baik. Alih-alih memanfaatkan kebebasan berbicara untuk
mengonstruksi pengetahuan naratif, kita justru mengambil demokrasi untuk
menghancurkan pengetahuan.
Elemen-elemen narasi terlempar ke berbagai
arah, tak ada relasi, apalagi kesatuan yang utuh. Kita mengambil ruang dan
waktu penceritaan, tetapi tidak memiliki waktu dan ruang cerita. Artinya, kita
hanya bercerita, tetapi penceritaannya tak menapak pada ruang dan waktu di mana
di dalamnya kita terlibat secara nyata. Dalam perspektif semiotika, kita hanya
bermain-main dengan tanda, tetapi tanda tersebut tidak mengakar pada realitas.
Ia terbelokkan dan hanya berputar-putar di dunia tanda itu sendiri. Segalanya
adalah tanda, adalah image.
Image
adalah sebuah ”realitas metaforik”, yakni realitas baru yang diciptakan (bukan
realitas sebenarnya). Untuk menciptakan realitas ini, sejarah harus diputus dan
masa depan tak boleh ditetapkan. Dengan kata lain, narasi mesti dibunuh
sehingga tak ada lagi pengetahuan, tak ada lagi esensi. Dalam kondisi demikian,
kita dipaksa melihat dan memaknai hari ini untuk hari ini saja.
Kita dipaksa untuk selalu lupa. Tiba-tiba,
misalnya, kita mendapatkan seseorang menjadi pejabat publik, anggota DPR, atau
bahkan penegak hukum. Padahal, beberapa saat sebelumnya, kita menemukan orang
tersebut adalah koruptor, pelaku kriminal, atau penjahat lain. Kita tidak boleh
mengingat masa lalu, sekaligus tak harus peduli pada masa depan. Dalam image,
dalam kematian narasi, kita dipaksa untuk terus-menerus mengelabui realitas.
Itulah mengapa Umberto Eco (1979) menyebut tanda sebagai dusta, ilmu tanda
(semiotika) adalah ilmu tentang dusta.
Hasil Konspirasi
Realitas metaforik sedemikian tentu tidak
terbentuk dengan sendirinya. Ia adalah konstruksi dari konspirasi berbagai
pihak: penguasa, pengusaha, politisi, media (terutama televisi), praktisi
bidang tertentu seperti desainer, sampai akademisi. Semua bersama-sama (seperti
jargon pemerintahan SBY) mengoyak-ngoyak narasi, menghancurkan pengetahuan.
Bagi saya, matinya narasi sedemikian adalah tragedi kebudayaan, bahkan
malapetaka peradaban yang mengerikan. Matinya narasi membuat kita dalam jagat
dusta.
Apakah dengan begitu kita sedang bergerak ke
ruang dan waktu masa lalu peradaban, yakni zaman kegelapan? Dalam bahasa,
kiranya terasa hiperbolis jika kita menjawab pertanyaan itu dengan ”ya”. Namun,
secara faktual kita menemukan kenyataan tak terelakkan: matinya narasi
menyebabkan irasionalitas nyaris di seluruh kehidupan.
Beranalogi pada
Schroeder dalam Visual Consumption (2002), belanja dan konsumsi sehari-hari
kita adalah image, adalah dusta. Akan tetapi, di bawah tenung televisi, kita
terlena. Bukankah dengan begitu sesungguhnya kita tengah berada dalam gelap?
Semoga kita bisa menutup tahun ini dengan mata terbuka agar tahun berikutnya
menjadi harapan. Selamat berakhir tahun! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar