Pembangunan
dan Korupsi
L. Wilardjo, DOSEN PROGRAM DOKTOR STUDI
PEMBANGUNAN DAN PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UK SATYA WACANA
Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
Ideologi pembangunan yang kita pegang selama
ini keliru. Sebab, pembangunan diukur dengan (peningkatan) pendapatan rata-rata
per kepala. Itu menurut Daoed Joesoef (Kompas, 23/11).
Ideologi, kata Daoed, bagian dari citra
tentang apa yang dianggap seseorang esensial bagi jati dirinya dan bagi citra
mengenai dirinya sendiri. Saya kira Arief Budiman akan mengatakan rumusan Daoed
belum cukup. Itu hanya merupakan outlook, dan baru akan menjadi ideologi kalau
ada pergerakan yang secara aktif memperjuangkan aktualisasinya. Karena ideologi
pembangunan kita keliru, perlu dihadirkan ideologi baru, yang di dalamnya
bersinergi tiga strategi pokok. Menurut Daoed, ketiga siasat utama itu ”to have
more” (lebih makmur), ”to be more” (lebih luhur), dan ”to have more prowess”
(lebih perkasa karena ketahanan nasionalnya dijaga dengan strategi hankam yang
tepat).
Yang menjanjikan, kata Daoed Joesoef, adalah
ideologi pembangunan yang memberikan Lebensraum bagi partisipasi warga
masyarakat, dan yang mengakui HAM untuk meraih kebahagiaan. Di sini ia
terdengar seperti warga negara ”the land of the free and the home of the brave”
(tanahnya bangsa yang merdeka dan rumahnya bangsa pemberani) yang merasa sok
jadi pendekar HAM. Tiga di antara HAM itu adalah kehidupan, kemerdekaan, dan
mengejar kebahagiaan.
Maslow atau Romo Paul?
Jika sampai terjadi benturan kepentingan
antara ”lebih makmur” dan ”lebih luhur”, entah akan memberat ke mana pilihan
Daoed Joesoef. Kalau ia penganut Abraham Maslow, ia akan mengutamakan ”lebih
makmur” karena yang ”lebih luhur” itu baru mulai dipikirkan setelah tuntutan
perut terpenuhi. Atau, bagi dia, mungkin pertanyaannya bukan ”to be or not to
be” seperti dilontarkan Shakespeare, tetapi bagaimana cara untuk sekaligus ”to
have more” dan ”to be more”.
Kalau demikian, ia berbeda pandangan dengan
Paul Suparno (Sanata Dharma). Pakar pendidikan sains dan romo Yesuit ini
menyatakan”less is more” [lebih sedikit itu (justru) lebih banyak]. Membatasi
diri untuk menerima dan mensyukuri yang lebih sedikit berarti menghadirkan
berkat yang lebih banyak bagi liyan.
Pada hemat saya, ”less”-nya Paul harus ada
batasnya. Anjuran Theodore Roszak agar kita menentang teknologi dan hanya
memakai ”teknologi kaki telanjang dan tangan kosong” (technology with bare feet
and bare hands) hanya romantisme khayalan yang tidak realistik.
Di Bumi yang dipadati eksplosi populasi, yang
daya dukungnya sudah lemah karena ulah manusia yang mencemarinya dan menguras
kekayaannya, tanpa kemudahan yang ditawarkan teknologi, kehidupan kita akan
sedemikian sulitnya sehingga tak manusiawi. Anjuran EF Schumacher agar kita
menjalani kehidupan ala biarawan juga hanya ”pas” untuk biarawan. Kita, manusia
biasa, punya kebutuhan. Kepentingan diri (self interest) itu sah-sah saja untuk
dipenuhi asal jangan kebablasan menjadi hanya mengumbar kerakusannya sendiri
(selfish).
Tidak Berkaca
Sayang, yang hanya mementingkan diri sendiri
(dan keluarganya) dalam mengejar ”kebahagiaan” (dalam arti ”to have more”) ada
banyak di antara elite pejabat tinggi negeri ini. Mereka lupa diri, dan tak mau
berkaca pada apa yang dialami pejabat tinggi korup dan curang di luar negeri.
Wapres Spiro T Agnew yang korup beruntung diselamatkan oleh vonis ”nolo
contendere” (tidak melakukan perlawanan) atas dakwaan jaksa sehingga ia tidak
masuk bui. Namun, sanksi sosial dari masyarakat tetap disangganya. Hancurlah
reputasinya di mata publik. Tamatlah riwayatnya di ranah politik.
Lalu, giliran Richard M Nixon. Ketika ”Deep
Throat” mulai membeberkan skandal Watergate melalui duo wartawan The Washington
Post, dengan lantang Nixon berteriak, ”I am not a crook (aku bukan bajingan)!”
Tetapi, kecurangannya bersama ”all the president’s men” terbukti. Nixon
dimakzulkan, tetapi tertolong grasi yang langsung diberikan oleh Wapres Gerald
Ford yang menggantikannya sebagai ”potus” (President of the United States).
Rakyat AS menghormati hak prerogatif presidennya untuk memberi pengampunan.
Lebih celaka lagi Caesescu di Romania dan
Khadafi di Libya. Caesescu ditembak mati di halaman bersalju setelah diseret ke
”pengadilan rakyat”. Khadafi juga ditembak dan jenazahnya dibiarkan tergeletak
di selokan.
Pejabat tinggi yang korup dan curang di
republik ini tak menjadi takut melihat nasib Gloria Macapagal-Arroyo yang
diciduk di bandara ketika hendak berobat ke luar negeri. Mungkin karena di
Indonesia yang diperlakukan seperti itu hanya sampai ke tingkat Kabareskrim
(Susno Duadji) dan anggota DPR dari partai oposisi (Panda Nababan). Melihat tak
beruntungnya rakyat kecil di Indonesia selama ini, saya jadi teringat lagu yang
sering dinyanyikan pemuda pejuang di masa Orde Lama, kira-kira begini:
Cukup sudah duka-derita
rakyat yang sakit dan miskin
Saatnya pembalasan tiba,
kita yang menjadi hakim
Kita yang majas hakim!
Ayo, ayo bergerak
Sekarang!
Pemerdekaan telah datang
Merah-Putih panji kita
Merah warna darah rakyat
Merah warna darah rakyat...
Mengapa saya tiba-tiba teringat lagu itu?
Entahlah. Barangkali karena kegeraman yang tersirat dalam syairnya penad
(relevan) dengan peri-keadaan yang kita alami sekarang dan selama ini. Bukankah
kata orang Jerman, ”Pendidikan ialah apa yang (masih) tertinggal apabila semua
yang kita pelajari sudah kita lupakan (Bildung ist das, was bleibt, wenn man
alles Gelehrnte vergessen hat).” Yang tertinggal setelah semuanya terlupakan
itu yang penad, yang kena-mengena dengan nasib bangsa kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar