Kasus
Century Bakal “Meledak” di 2012
Bambang Soesatyo, INISIATOR
HAK ANGKET CENTURY, ANGGOTA KOMISI III DPR
Sumber
: SINAR HARAPAN, 29 Desember 2011
Potret penegakan hukum 2011 masih sangat
mengecewakan. Masih banyak terjadi penjungkirbalikan fakta untuk membantah
kebenaran dalam setiap kasus hukum.
Tahap demi tahap penyidikan, penyelidikan,
hingga peradilan bahkan identik sandiwara. Ini karena “kebenaran” dan
“keadilan” versi kekuasaan dan uang suap sudah dirumuskan, bahkan sebelum
peradilan itu dimulai.
Tengok saja kasus Century. Publik tentu
merasa geli menyikapi kebuntuan proses hukum Skandal Bank Century. Ketua KSSK
mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp 680 miliar lebih dana
talangan.
Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp 6,7
triliun, bukankah angka itu sudah menunjukkan adanya penyimpangan dalam bailout
dan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti, itu jelas kebohongan.
Hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) juga mengecewakan. Laporan audit forensik BPK yang akan diserahkan ke
DPR, Jumat (23/12), tidak memuat hal baru dan jauh dari harapan. Tekanan
kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut.
Laporan BPK tidak beda jauh dengan laporan
audit investigasi BPK yang pertama. Tidak ada pengungkapan aliran data detail
yang kita harapkan dengan berbagai alasan. BPK hanya mengungkap ada aliran dana
ke PT MNP, penerbit koran partai tertentu pada periode 2006-2009 senilai Rp
100,95 miliar.
Auditor forensik yang menangani audit
lanjutan kasus Bank Century juga diduga telah membohongi publik. Pemimpin BPK
mengatakan penanggung jawab audit investigasi lanjutan mempunyai sertifikat
CFE, ternyata tidak. Auditor Forensik BPK itu adalah I Nyoman Wara, Novy
Gregory Antonius Palenkahu, dan Harry Purwaka.
Di kasus lain, publik dibuat tercengang
ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama kasus suap proyek Wisma Atlet
SEA Games Muhammad Nazaruddin.
Dakwaan itu memperlihatkan adanya
penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin. Nama elite partai politik dan
seorang menteri yang keterlibatannya telah berulang kali diteriakkan Nazaruddin
sama sekali tidak disebut-sebut dalam dakwaan itu.
Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi
publik praktis gagal total. Eksistensi mafia pajak berawal dari pengungkapan
oleh seorang pejabat tinggi Polri. Karena disebut mafia, publik langsung
mendeskripsikan kasus ini sebagai organisasi kejahatan dengan spesialisasi
penggelapan atau pencurian pajak negara.
Organisasi mafia mempunyai anggota banyak
dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan akhirnya berhasil dibawa pulang ke
Jakarta oleh (katanya) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), publik
membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan menyebut
sejumlah nama.
Gayus memang melakukannya. Tetapi dalam
proses penanganan kasusnya kemudian, penyidikan dan penyelidikan hanya fokus
pada kasus Gayus, tidak menyentuh kasus penggelapan pajak lainnya, seperti
dugaan manipulasi restitusi Wilmar Group, Asian Agrie, Ramayana Group, dan
lain-lain yang pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) DPR.
Lagi-lagi, penegak hukum menghindar dari
kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang diduga terlibat kejahatan.
DPR kemudian menggagas Hak Angket mafia
pajak. Aneh bin ajaib, justru pemerintah dan partai pemerintah berupaya menggagalkan
Hak Angket tersebut, sehingga 151 perusahaan kakap yang diduga “bermain” pajak
menjadi bebas.
Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah
Konstitusi (MK) pun sama menggelikan. Fakta dijungkirbalikkan sehingga justru
yang melaporkan menjadi tersangka. Mantan panitera pengganti MK Zaenal Arifin
Hoesein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sementara Andi Nurpati
yang diduga memalsukan justru dilindungi. Publik melihat ada kejanggalan.
Jangan Hanya “Perang-perangan”
Kasus yang menjadi perhatian publik hingga
kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia tahun 2004. Tanpa pernah mendengar keterangan dari pihak yang
melakukan suap, sejumlah orang divonis bersalah dan dipenjarakan.
Setiap kali ditanyakan siapa penyuap
sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum hanya bisa berdalih.
Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk mengungkap sosok
pemberi suap dalam kasus ini. Pulangnya Nunun akan mengungkap kotak pandora
itu.
Menjelang tutup tahun 2011 ini, Jakarta
dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan di Mesuji. Proses penanganan
tragedi Mesuji terasa janggal.
Kalau terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji
pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (pemerintah pusat) harus dibuat
terkejut beberapa bulan kemudian? Tidakkah berarti ada SOP yang dilanggar pihak
berwenang di daerah kejadian?
Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak
menimbulkan heboh segera setelah terjadinya peristiwa. Ini menjadi heboh setelah
korban dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta untuk
mengadukan nasib mereka ke Komisi III DPR.
Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala
kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua,
ada pihak yang berupaya menyederhanakan kasus. Ketiga, ada upaya menutup-nutupi
tragedi ini.
Tragedi Mesuji terjadi pada April 2011. Kalau
tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan
Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap
tragedi kemanusiaan. Ini jelas tidak wajar.
Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam
hitungan menit, aparat yang tertembak penyerang tak dikenal segera menjadi
berita berskala nasional. Dengan begitu, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada
pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini. Apalagi, warga setempat mengaku
selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman.
Bagaimana dengan 2012? Menurut saya, ke depan
hampir tidak ada celah untuk terjadinya situasi hukum yang kondusif. Imbas
politik sandera yang diterapkan Pemerintahan SBY-Boediono sejak 2009 pasti akan
terus mewarnai tahun depan. Tetap akan ada tarik-menarik kepentingan elite.
Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sikap ambigu dari SBY yang selalu
menggembor-gemborkan penegakan hukum, tetapi pada kenyataannya tidak
memposisikan diri sebagai panglima untuk pemberantasan korupsi, akan terus
terjadi. Dinamika hukum yang terkesan saling sandera tetap dibiarkan, sebagai
bentuk usaha lari dari tanggung jawab.
Tak aneh bila kemudian kasus-kasus korupsi
besar yang terjadi di 2011 akan terus menjadi batu sandungan pemerintahan SBY
di 2012. Menurut saya, kasus Century di tahun depan akan “meledak” menjadi
lebih besar.
Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil
audit forensik BPK yang jauh panggang dari api, akan berujung pada Hak
Menyatakan Pendapat. Bila itu terjadi bukan tak mungkin kegaduhan politik akan
mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.
Belum terlambat untuk memperbaiki penegakan
hukum dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Itu dapat dimulai dengan mengungkap
kasus-kasus besar yang hingga kini masih mengendap di institusi penegak hukum,
termasuk di KPK. Jika penegak hukum berhasil mengungkap kasus itu, yang lainnya
juga akan terungkap.
Kita berharap pemimpin KPK yang baru bisa
menunjukkan keberanian melawan segala bentuk tekanan dan intervensi yang
dilancarkan kekuatan-kekuatan tertentu. Jika harapan publik itu tidak
direalisasikan, pemimpin KPK yang baru harus merealisasikan janjinya untuk
mengundurkan diri.
SBY juga harus menunjukkan kemauan politik
untuk tidak diskriminatif lagi dalam penegakan hukum. Kalau perilaku pemimpin
masih tetap “sontoloyo”, agenda penegakan hukum pasti terus karut marut. Tekad
presiden dalam perang melawan korupsi pun tetap dibaca publik sebagai
“perang-perangan” melawan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar