Negeri
Para Mafia
Ahmad Yani, WAKIL
KETUA FRAKSI PPP DPR RI, ANGGOTA KOMISI III DPR
Sumber
: SINDO, 31 Desember 2011
Tahun 2011 berlalu dan meninggalkan
sebuah catatan tegas: negara ini masih bertekuk lutut di hadapan para mafia. Ketika
masa kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) genap berusia
dua tahun pada 30 Desember 2011, bahkan tak sepotong mafia pun yang bisa mereka
ungkap.
Satgas PMH hanya mampu mengantarkan salah satu anggotanya, Denny Indrayana, menjadi wakil menteri hukum dan HAM. Selebihnya, aroma kehadiran para mafia, di sekitar kita, tetap terasa sangat pekat kendati mereka tak pernah jelas sosoknya. Satgas PMH mengaku menerima hampir 5.000 pengaduan publik soal mafia hukum, tapi mereka mengaku hanya bisa menindaklanjuti 163 pengaduan dengan meneruskan aduan itu ke instansi terkait.
Dari angka terakhir tadi, hanya 73 laporan yang kemudian digarap dan entah seperti apa pula kelanjutannya. Maka semakin berjayalah para mafia di negeri ini. Di Indonesia, dalam setiap aspek kehidupan, nyaris selalu ada mafia yang berkuasa. Mereka menggerogoti semua aspek, dari mulai tingkat ‘cere’ sampai level para ‘don’ di pusat kekuasaan sana. Para mafia memainkan kasus demi kasus.
Di awal kuartal ketiga 2011,Indonesia dihebohkan oleh sindikat pencurian pulsa telepon seluler. Kala itu ditegaskan, pencurian pulsa mencapai nilai triliunan rupiah. Bulan demi bulan berlalu. Berapa jumlah tersangka kasus pencurian pulsa yang ditangani polisi? Nol Besar! Tidak satu pun. Celaka, bahkan oleh sekadar mafia pulsa, negara bisa dibikin tak berdaya.
Selain itu, negara juga hanya bisa membiarkan satu per satu imigran gelap tewas dalam perjalanan ke Australia, gara-gara mafia imigran begitu mudahnya bermain di kantor-kantor imigrasi, di kantor-kantor polisi, dan di pelabuhan-pelabuhan. Ketidakberdayaan negara ketika melawan mafia, pada akhirnya, mengorban kan kaum rakyat jelata. Nyawa mereka bahkan kerap harus melayang.
Apa yang terjadi di Mesuji(Lampung dan Sumatera Selatan) adalah buktinya. Ketika mafia tanah, mafia kehutanan beraksi, rakyat harus tergusur. Kalaupun rakyat mencoba melawan—dan aparat negara berada di pihak sana, yang didapat adalah kematian. Kematian bahkan dengan cara yang brutal. Nasib yang sama tragisnya dihadapi kalangan rakyat, ketika mereka dibiarkan sendirian oleh negara, dan harus menjajal kekuatan mafia pertambangan.
Di Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Papua, nyawanyawa melayang dibuatnya. Kelakuan mafia pertam bangan semakin menyebalkan ketika ternyata mereka juga banyak yang menunggak kewajiban pajak. Tentu saja, ketika kejadian seperti ini terjadi, ada campur tangan mafia pajak di sana. Hingga akhir 2011, kasus penunggakan pajak oleh perusahaan pertambangan, utamanya asing, sama sekali belum disentuh.
KPK mencatat terdapat 14 perusahaan migas asing yang mengemplang pajak, senilai Rp1,6 triliun. Ketika KPK sudah menyebut angka-angka, ternyata juga tak banyak perkembangan yang didapat dalam pengungkapan kasus tersebut. Tahun 2011 adalah saksi dari ketidakberdayaan KPK menghadapi masalah ini. Padahal, KPK yang pertama kali merilis ada puluhan perusahaan migas asing yang menunggak pajak.
Mafia pajak kian bersorak setelah tak ada satu pun tokoh di balik kasus Gayus Tambunan yang terungkap. Padahal, kita tahu, Gayus hanya pegawai junior di Ditjen Pajak. Sangat tidak mungkin ia bekerja sendiri, tanpa melibatkan pejabat di atasnya. Benar, Gayus sempat menyebutkan sejumlah nama.
Namun, dalam proses penyelidikan dan penyidikan, aparat hukum hanya berkutat pada kasus Gayus, tanpa membidik pejabat penting yang diduga terlibat ataupun kasus penggelapan pajak lainnya, seperti manipulasi restitusi pajak. Anehnya, upaya untukmengungkap mafia pajak justru dihambat pemerintah. Sewaktu DPR berupaya menggelar angket mafia pajak, pemerintah dan partai pemerintah habis-habisan menolak. Hasilnya? Sebanyak 151 perusahaan kakap yang diduga ‘bermain’ pajak menjadi bebas melenggang.
Tak hanya itu. Pada akhir tahun 2011, media kemudian menulis, ada dua pegawai pajak yang terlibat dalam kasus mafia perpajakan, yang ternyata tetap dipekerjakan di lingkungan Kementerian Keuangan. Kedua orang ini terbukti menerima suap lebih dari Rp500 juta. Mereka juga ditengarai memiliki rekening mencurigakan mencapai miliaran rupiah. Ironisnya, tidak ada sangsi tegas yang dijatuhkan.
Bebas Berkiprah
Mengamati kiprah para mafia di negeri ini, memang, amat menyakitkan. Padahal itu belum semuanya. Masih ada mafia perbankanyangmembuatnegara ini keropos setelah dilanda krisis, akibat korupsi dana rekap dan BLBI yang tak karuan juntrungannya. Mafia perbankan menampakkan diri lagi saat terjadi bailout Bank Century.
Namun, mereka masih bisa berkelit setelah hasil audit forensik BPK, yang diumumkan akhir Desember 2011, ternyata masih menutupi sejumlah skandal yang melingkupi proses bailout tersebut. Dalam kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) 2004, yang dimenangkan Miranda Goeltom, KPK juga tampak gagap. KPK seolah heboh ke sana ke mari, tapi Miranda Goeltom tidak mereka sentuh.
Aroma konspirasi dalam pengungkapan kasus ini pun tercium kuat. Begitulah, tahun 2011 berlalu meninggalkan rasa miris. Hukum masih diskriminatif, bisa diatur. Hanya tegas ke kalangan rakyat bawah, tapi sangat lemah menghadapi orang berduit atau berkuasa. Jangankan menghadapi mafia perbankan yang bermain di BLBI, Bank Century, ataupun kasus suap pemilihan deputi senior gubernur BI.
Sekadar membuka tuntas kasus Melinda Dee—seorang pejabat kelas menengah di Citibank Jakarta— aparat kita bahkan tetap tidak mampu. Yang terjadi, mafia bahkan bisa memetieskan kasus yang sudah berjalan. Saya atau siapa pun tentu tidak akan rela Indonesia menjadi negeri para mafia. Diperlukan kemauan dan kerja keras dari semua pihak untuk bersama mengikis habis praktik-praktik mafia.
Pembenahan sistem yang membuka peluang tumbuh suburnya praktik mafia harus segera dilakukan. Pemberian sangsi yang tegas kepada para pelaku mutlak diperlukan. Dibutuhkan pula partisipasi dan keberanian segenap elemen masyarakat untuk mau mengungkap kasuskasus mafia yang ada. Sangat dibutuhkan pemimpin yang mampu bersikap tegas dan bertindak tanpa pandang bulu.
Sudah bukan saatnya pemerintah hanya bisa menggembor-gemborkan perang terhadap praktik mafia, tetapi tidak mampu memosisikan diri sebagai panglima di lini depan. Kegalauan penegakan hukum yang dimulai dari atas akan ditiru oleh penegak hukum di bawahnya. Jika itu terjadi, hasil yang didapat hanyalah pencitraan belaka, sementara penegakan hukum akan terus karut-marut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar