Megalomania,
Mesuji, dan Solidaritas
Tom Saptaatmaja, ALUMNUS STFT
WIDYA SASANA,
SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
Sumber
: KORAN
TEMPO, 23
Desember 2011
Sejak
manusia pertama Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, manusia ternyata sangat sulit
lepas dari beragam sifat buruk. Salah satu sifat buruk yang semula menyeret
manusia jatuh dalam dosa adalah sikap megalomania. Bayangkan, hanya karena
diiming-imingi ular yang merupakan jelmaan setan, Adam dan Hawa berani
melanggar perintah Tuhan. Tuhan sudah berpesan agar buah terlarang di Taman
Firdaus tidak dimakan. Namun iming-iming setan bahwa, jika buah itu dimakan,
manusia bisa menjadi seperti Tuhan telah menjerumuskan Adam dan Hawa dalam dosa
dan harus terusir dari surga, serta memulai hidup yang keras di dunia.
Sayangnya,
dalam pengembaraan di dunia, nafsu megalomania justru kian menjadi-jadi. Lebih
tragisnya, watak buruk megalomania malah disertai dengan kegemaran merendahkan
yang kecil. Dan negeri kita, hingga akhir 2011, masih ditandai dengan fenomena
ini. Simak, dari Aceh hingga Papua, aparat keamanan khususnya polisi, yang
seharusnya melindungi dan melayani rakyat atau warga, justru berpihak kepada
pengusaha dan penguasa. Ini tampak, misalnya, dari kasus pembantaian 32 petani
Mesuji, yang hari-hari ini di-blow-up media.
Warga
Mesuji yang sudah menempati tanah secara turun-temurun dari nenek moyang mereka
diminta merelakan tanahnya untuk pengusaha karet atau kelapa sawit yang sudah
berbekal izin usaha dari pemerintah. Dalam perjalanan waktu, warga semakin hari
semakin terpojok posisinya. Sudah 9.000 hektare tanah mereka dipakai untuk
perkebunan. Ada yang melapor ke polisi, malah dipenjara atau dikriminalkan.
Lalu mereka yang diteror, kini memilih tinggal di pengungsian. Solusinya bukan
dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atau Panitia Kerja, tapi hentikan
izin usaha sawit atau karet sesegera mungkin. Warga Mesuji butuh ditolong
secepatnya. Mereka tidak butuh retorika, slogan, atau talk show.
Banyak
Mesuji
Dan
cerita tentang Mesuji itu bukan hanya ada di Lampung atau Sumatera Selatan. Ada
banyak “Mesuji” lain yang mempertontonkan megalomania aparat, pengusaha, dan
penguasa kita terhadap kaum lemah atau wong cilik. Sikap mengecilkan kaum
lemah, lalu hanya memberi tempat kepada yang besar, juga terjadi dalam masyarakat
kita. Apalagi, secara sosiologis, masyarakat kita belum sepenuhnya bisa
menjunjung semangat egaliter karena masih adanya iklim neofeodal yang masih
cukup kental. Dalam iklim neofeodal, suburlah korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Akibatnya,
yang kecil dan lemah tak mendapat tempat, bahkan kian teraniaya. Simak saja
kasus penyiksaan pembantu rumah tangga di Darmo Permai, Surabaya, yang para
pelakunya baru divonis 10 tahun. Benar-benar tidak menyangka, para pelakunya
terdidik dan dari kelas menengah. Jelas ini potret megalomania karena orang
hanya menghargai yang besar, sedangkan yang kecil pantas dianiaya. Manusia lain
bukan menjadi sesama, melainkan neraka, sebagaimana diungkapkan filsuf
eksistensialis Prancis, Jean Paul Sartre.
Karena
anggapan itu, martabat sesama pun bisa seenaknya diinjak-injak. Misalnya lagi,
di Porong, Sidoarjo, kita masih bisa melihat martabat banyak korban lumpur
dipermainkan pengusaha (Lapindo) dan penguasa (pemerintah SBY). Bayangkan,
banyak korban lumpur kehilangan harta paling berharga berupa tanah dan rumah.
Ganti rugi yang dijanjikan hingga kini pun kerap dilanggar.
Apa
yang dipaparkan di atas menjadi bukti bahwa negeri kita selama ini masih berada
dalam kegelapan, akibat penghargaan dan pemujaan pada megalomania, sambil
mengorbankan yang lemah. Nah, dalam situasi demikian, tema pesan Natal PGI-KWI
pada 2011 terasa relevan. Adapun tema pesan Natal tahun ini adalah "Bangsa
yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar"(Yesaya
9:1a).
Terang
yang besar itu ada dalam sosok Yesus. Dalam perspektif iman Kristiani, Natal
memang merupakan perayaan iman kelahiran Sang Matahari Sejati (Sol Invictus)
yang menang melawan kuasa kegelapan (dosa). Kegelapan dosa dienyahkan lewat
solidaritas Yesus dengan manusia. Manusia yang jatuh dalam dosa, sejak Adam dan
Hawa memakan buah terlarang, pada akhirnya dipedulikan lagi oleh Tuhan dan
beroleh penebusan dosa, setelah Juru Selamat Yesus Kristus lahir di dunia.
Arogansi manusia akibat megalomania justru direspons dengan solidaritas tanpa
batas oleh Sang Pencipta.
Tidak
mengherankan, sejak Yesus lahir dan hidup di dunia ini, Yesus tak pernah lelah
menunjukkan terang dan kebaikan Allah, khususnya kepada mereka yang dianggap
kecil dan hina oleh dunia ini. Pengemis, pelacur, janda, orang-orang sakit,
semua beroleh kasih-Nya. Yesus mencoba merombak watak buruk manusia yang suka
megalomania agar diubah dengan kerendahan hati, sehingga yang kecil dan
dipinggirkan kembali diperlakukan dengan sepantasnya sebagai manusia. Bukan
harus dihajar atau disiksa tubuhnya. Bukan pula untuk diinjak-injak atau
dilecehkan martabatnya.
Bahkan
Yesus menetapkan kriteria siapa yang bakal bisa masuk surga kelak, yakni siapa
pun yang peduli pada sesama yang paling hina. Karena, apa yang kita lakukan
untuk yang paling kecil atau paling hina, itu kita lakukan untuk Tuhan sendiri.
Karena, Tuhan bahkan menyamakan diri dengan yang paling kecil dan hina (Matius
25:40). Mendiang Bunda Teresa dari Kalkuta, peraih Nobel Perdamaian, juga tidak
lelah menyeru dunia agar mau peduli kepada yang miskin, kecil, hina, dan
dibuang, karena di dalam diri merekalah Tuhan sedang menyamar dan mengundang
kita semua, khususnya yang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menunjukkan
terang dan kebaikan Tuhan.
Semoga
Natal kali ini menjadi momentum bagi setiap murid Yesus, khususnya yang menjadi
pejabat atau penguasa serta pengusaha, untuk mau berubah dari sikap memuja ke
sikap hidup yang mau peduli, solider, dan mengasihi yang lemah serta kecil.
Para murid Yesus yang kebetulan dianugerahi posisi tinggi, rezeki berlimpah,
dan banyak berkat tidak boleh hidup dalam megalomania dan egoisme serta
membiarkan kegelapan terus merajalela. Natal menjadi saat yang tepat untuk
berbagi, karena Yesus, Sang Terang Besar itu, juga sudah rela solider dan berbagi,
bahkan termasuk hidupnya sendiri. Dan dengan cara ini, dunia bisa diselamatkan
dari dosa dan kegelapan.
Kita
mungkin tidak bisa menjadi terang besar seperti Yesus. Tapi, jika kita rela
menjadi lilin kecil yang mampu menerangi kegelapan yang ada di sekitar kita,
ini sudah cukup. Lilin mengajarkan nilai spiritualitas yang tidak remeh bahwa,
dengan berani membakar ego dan sifat buruk kita, terang akan terpancar ke
sekeliling. Dan jika masing-masing umat Kristiani rela menjadi lilin, berani
menyingkirkan egonya, dan tidak larut dalam arus megalomania, pasti Indonesia
bisa menjadi lebih baik ke depan. Selamat Natal 2011. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar