Rapuhnya
Konsolidasi Demokrasi
Gun Gun Heryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF THE POLITICAL LITERACY
INSTITUTE;
DOSEN KOMUNIKASI
POLITIK UIN JAKARTA
Sumber : SINDO, 28 Desember 2011
Larry Diamond,akademisi dari
Stanford University, menulis soal definisi konsolidasi demokrasi dalam bukunya,
Developing Democracy Toward Consolidation (1999).
Menurutnya, konsolidasi demokrasi itu sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.Konsolidasi demokrasi menekankan pada proses pencapaian legitimasi yang kuat dan dalam, sehingga semua aktor politik yang signifikan, baik pada level massa maupun elite, dapat menumbuhkan kepercayaan satu sama lain, karena mereka yakin bahwa pemerintahan demokratis adalah yang paling tepat bagi masyarakat mereka.
Jika kata kunci itu merujuk pada kepercayaan dan legitimasi yang kuat, dinamika politik Indonesia sepanjang 2011 menunjukkan kian rapuhnya konsolidasi demokrasi. Momentum akhir tahun ini seyogianya menjadi saat yang tepat untuk membuat refleksi perjalanan demokrasi prosedural yang kita jalani, minimal dalam satu tahun terakhir ini. Sungguh! 2012 persoalan politik akan kian kompleks dan tren politisasi beragam isu akan kian eskalatif seiring dengan fokus para politisi yang kian tajam mengarah ke gelanggang Pemilu 2014.
Catatan 2011
Salah satu indikator kian rapuhnya konsolidasi demokrasi adalah persepsi publik yang semakin tidak puas dengan laju reformasi, bahkan sebagian di antaranya sudah menganggapnya gagal. Kita tentu masih ingat dengan salah satu hasil survei nasional Indo Barometer sepanjang 25 April hingga 4 Mei 2011.
Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang menyatakan tidak merasa ada perubahan kondisi sebelum dan sesudah reformasi berjumlah 55,4%.Hanya 31% masyarakat yang menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. Survei ini juga mencatat 55% di antaranya tak puas dengan reformasi, hanya 29,7% yang menyatakan puas.
Hasil survei tersebut setidaknya menjadi penguat dari pendekatan akademik dalam meraba gejala kekecewaan masyarakat kepada kaum elite baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebenarnya tanpa survei ilmiah pun gejala kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita rasakan mulai dari diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi.
Bedanya, riset ilmiah meyakinkan kita dengan data dari sejumlah sampel, sehingga asumsi terverifikasi di lapangan. Sepanjang 2011 kita mencatat sejumlah sumbatan yang kian nyata kehadirannya. Jika dianalogikan,kondisi politik kita sepanjang tahun ini ibarat kemacetan Jakarta yang semakin parah.
Para pemain menumpuk di jalanan, sibuk saling mencaci satu sama lain dan lupa bahwa keegoan diri untuk melaju sesungguhnya menghambat dirinya sendiri dan orang lain. Dalam kekalutan ini, lantas perang pun berjalan asimetris. Tidak lagi jelas siapa kawan dan lawan, karena kerapkali mereka yang menjadi mitra koalisi justru lebih mengancam dan mematikan!
Paling tidak ada dua sumbatan utama dalam laju konsolidasi demokrasi sepanjang 2011. Pertama, pola ambigu dalam konsolidasi kekuatan penopang rezim SBY-Boediono. Cara kerja pemerintah lebih berorientasi ke dalam atau fokus mengelola risiko konflik dengan mitra koalisi dibanding orientasi ke luar guna memenuhi harapan publik.
Pola konservatif berbasis koorporatisme politik seperti tergambar dalam pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) ternyata tidak berjalan mulus,bahkan menimbulkan sejumlah paradoks karena gaya kepemimpinan SBY yang sangat kompromistik. Secara faktual, SBY gagal mendisiplinkan banyak parpol yang merasa menjadi pemilik saham dalam rezim kekuasaannya.
Berbagai momentum politik menunjukkan hanya Demokrat, PKB,PPP, dan PAN yang benarbenar menjadi poros kekuatan SBY.Sementara Golkar dan PKS justru membawa agendanya sendiri-sendiri dan kerapkali menunjukkan identitasnya sebagai partai koalisi bercitarasa oposisi.
Momentum reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Oktober lalu menjadi sinyal kuat bahwa SBY lebih berorientasi pada adaptasi kekuasaan untuk memelihara rezim hingga 2014. Dengan demikian, hubungan mesra, tapi “munafik” ini sempurna hanya untuk saling menjaga diri para elite dan bukan diposisikan untuk konsolidasi demokrasi.
Hubungan ini jelasjelas membuat rezim SBY tidak mampu bekerja optimal, tidak memperkuat institusionalisasi sistem presidensial,serta menghambat tuntasnya sejumlah regulasi untuk konsolidasi dan pelembagaan politik. Contoh aktual adalah ketidakjelasan Setgab dalam revisi UU Pemilu.
Energi mereka hanya dihabiskan untuk polemik seputar parliamentary threshold. Kedua, laju politik para elite tersandera oleh sejumlah kasus hukum. PDIP tersandar oleh kasus BLBI, SBY dan Demokrat tersandera Century, Golkar tersandera kasus Lapindo, dan banyak politisi lintas parpol yang terjerat atau terancam dengan berbagai laku korupsi politik.
Banyak pintu menuju korupsi bagi para politisi.Hanya,sangat sulit pintu korupsi tersebut dilewati oleh aktor tunggal. Korupsi politik pun akhirnya dilakukan secara berjamaah dan risikonya satu sama lain akan saling melindungi. Tidak heran jika Corruption Perception Index (CPI) menurut versiTransparency International (TI) tidak beringsut dari angka negara terkorup.
Skor Indonesia tahun ini 3,0 sekelas dengan Argentina,Benin,Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,Meksiko, Sao Tome dan Principe, Suriname, dan Tanzania. Artinya Indonesia menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Tentu bukan prestasi yang membanggakan bukan?
Rivalitas Politik
Tahun 2012 segera datang. Alih-alih tensi politik menurun, yang akan terjadi justru kondisi politik yang semakin memanas. Para politisi akan semakin intensif melakukan tes pasar jelang Pemilu 2014. Berbagai strategi pencitraan, attacking lawan,publisitas,dan kontestasi regulasi seputar pemilu akan menjadi-jadi.Konsekuensi dari pertarungan tersebut,sejumlah langkah menjegal legitimasi lawan akan menyeruak ke permukaan.
Karena itu, proses konsolidasi demokrasi sangat tak mungkin dilakukan para elite parpol, karena energi mereka akan habis tersedot ke dalam pusaran kontestasi yang seolah tak pernah bertepi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar