Meniti
Tonggak Menuju Kajayaan
Saratri Wilonoyudho, PENELITI DAN DOSEN UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG,
ANGGOTA DEWAN RISET
DAERAH JAWA TENGAH
Sumber
: SUARA MERDEKA, 31 Desember 2011
PERTANYAAN memasuki Tahun Baru
2012: apakah negeri ini tetap memble atau mengawali kejayaan? Penting
mengajukan pertanyaan ini karena kita memiliki segalanya. Ada sejumlah modal
penting berkaitan dengan SDM, selain kekayaan alam yang tak tertandingi negara
mana pun. Masalahnya hanyalah kepemimpinan. Di tengah kemerosotan mutu berbagai
bidang kehidupan, kenyataan itu memunculkan secercah harapan baru. Ketika dalam
kompetisi sepak bola kita terus kalah, badminton juga, prestasi SEA Games pun
”merosot”, siswa yang ikut olimpade sains (fisika, kimia, matemaika, dan
biologi) tingkat internasional ramai-ramai menyumbangkan medali emas, perak,
dan perunggu.
Karenanya kita boleh optimistis bahwa sebenarnya Indonesia berbakat memimpin dunia. Debat tentang benua Atlantis yang hilang ribuan tahun silam, semuanya hampir menunjuk bahwa benua dengan tingkat peradaban tinggi itu adalah yang kini disebut Indonesia. Rasanya tidak ada negara di dunia yang kekayaan alam, flora, fauna, dan biodiversivitas lainnya sekaya kita.
Demikian pula tidak ada negara di dunia yang memiliki jumlah bahasa, suku, dan adat kebudayaan selengkap Indonesia. Orang Indonesia sangat piawai memainkan jenis musik di dunia, bahkan bisa persis, malah melebihi pemain aslinya. Konon ketika Eropa Barat masih diliputi zaman batu, kita sudah bisa membuat keris dari besi mulia yang dibuat berlapis-lapis dengan kekuatan luar biasa. Demikian pula dalam hal pengobatan berbagai jenis penyakit, kemampuan nenek moyang kita luar biasa.
Mengapa bakat alam luar biasa manusia Indonesia kini tidak menampakkan hasilnya untuk perbaikan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya? Mengapa untuk soal sepele seperti tabung gas meledak atau jalanan macet kita tidak menampakkan kreativitasnya? Apa guna anak-anak jenius yang terus kita kirim belajar ke luar negeri?
Jawabannya adalah kita tidak memiliki program jelas untuk mengelola SDM bermutu tersebut. Di negeri ini hanya orang yang memiliki kelihaian dekat dengan pusat kekuasaan yang dapat berkembang, dan ini terjadi di segala lini, misalnya di kantor pemerintahan, bahkan di kampus.
Visi Jelas
Sebaliknya anak-anak jenius yang kreatif selalu kalah (dikalahkan) oleh kekuatan itu. Banyak proposal penelitian yang bagus justru tidak dibiayai, sebaliknya yang ecek-ecek didukung. Ini terjadi karena yang disebut terakhir memiliki kedekatan hubungan ”proyek”. Di samping itu, pemerintah juga tidak memiliki visi jelas sebagaimana dilakukan Jepang dalam Restorasi Meiji.
Jepang saat itu mengirim ratusan orang cerdas untuk belajar ke Barat dan kini mereka diberi tempat untuk mengekspresikan kreativitasnya lewat program yang jelas. Belum lama ini Septinus George Saa ”ditemukan” wartawan di proyek perusahaan minyak asing dengan gaji sangat tinggi. George adalah anak Papua yang sukses memenangi First Step to Nobel Prize in Physics 2004 mengalahkan 73 peserta sedunia (Wilonoyudho, SM, 26/07/10).
Tesisnya, ”Infinite Triangle And Hexagonal Latice Network of Identical” mencengangkan para juri tingkat dunia karena George adalah siswa SMA, bahkan dari daerah terpencil di Papua, sedangkan tesisnya itu amat sulit dipecahkan, bahkan oleh mahasiswa S2 sekali pun. Tapi apa yang terjadi, George lepas ke pelukan perusahaan asing, dan Indonesia yang mendidiknya sejak TK tidak dapat berbuat apa-apa. Agaknya kasus George akan diikuti oleh puluhan pelajar kita yang sukses menjuarai olimpiade sains internasional.
Anak-anak jenius kita bisa diburu oleh negara-negara lain yang memiliki visi dan misi jelas dalam memanfaatkan potensi mereka. Mestinya pemerintah sudah merancang penempatan anak-anak jenius kita sepulang mereka bersekolah di luar negeri, dengan proyek yang jelas, karier yang jelas, dan kesejahteraan yang juga jelas. Di negeri ini hanya BJ Habibie yang beruntung. Sepulang dari Jerman menggondol gelar doktor summa cum laude: dengan pujian tertinggi, dalam ilmu pesawat terbang, ia dipercaya mengelola IPTN. Dia seakan mendapat mainan baru untuk lebih mengembangkan kreativitasnya.
Permasalahan di negeri ini kini sangat kompleks dan makin kritis dari hari ke hari. Dengan bahasa yang lebih tegas, kehadiran para jawara olimpiade sains yang dirintis Johanes Surya harus sinkron dengan rencana jangka panjang Kemenristek, Kemendikbud, dan sistem persekolahan kita. Kalau terputus, maka tidak akan berarti apa-apa. ●
Karenanya kita boleh optimistis bahwa sebenarnya Indonesia berbakat memimpin dunia. Debat tentang benua Atlantis yang hilang ribuan tahun silam, semuanya hampir menunjuk bahwa benua dengan tingkat peradaban tinggi itu adalah yang kini disebut Indonesia. Rasanya tidak ada negara di dunia yang kekayaan alam, flora, fauna, dan biodiversivitas lainnya sekaya kita.
Demikian pula tidak ada negara di dunia yang memiliki jumlah bahasa, suku, dan adat kebudayaan selengkap Indonesia. Orang Indonesia sangat piawai memainkan jenis musik di dunia, bahkan bisa persis, malah melebihi pemain aslinya. Konon ketika Eropa Barat masih diliputi zaman batu, kita sudah bisa membuat keris dari besi mulia yang dibuat berlapis-lapis dengan kekuatan luar biasa. Demikian pula dalam hal pengobatan berbagai jenis penyakit, kemampuan nenek moyang kita luar biasa.
Mengapa bakat alam luar biasa manusia Indonesia kini tidak menampakkan hasilnya untuk perbaikan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya? Mengapa untuk soal sepele seperti tabung gas meledak atau jalanan macet kita tidak menampakkan kreativitasnya? Apa guna anak-anak jenius yang terus kita kirim belajar ke luar negeri?
Jawabannya adalah kita tidak memiliki program jelas untuk mengelola SDM bermutu tersebut. Di negeri ini hanya orang yang memiliki kelihaian dekat dengan pusat kekuasaan yang dapat berkembang, dan ini terjadi di segala lini, misalnya di kantor pemerintahan, bahkan di kampus.
Visi Jelas
Sebaliknya anak-anak jenius yang kreatif selalu kalah (dikalahkan) oleh kekuatan itu. Banyak proposal penelitian yang bagus justru tidak dibiayai, sebaliknya yang ecek-ecek didukung. Ini terjadi karena yang disebut terakhir memiliki kedekatan hubungan ”proyek”. Di samping itu, pemerintah juga tidak memiliki visi jelas sebagaimana dilakukan Jepang dalam Restorasi Meiji.
Jepang saat itu mengirim ratusan orang cerdas untuk belajar ke Barat dan kini mereka diberi tempat untuk mengekspresikan kreativitasnya lewat program yang jelas. Belum lama ini Septinus George Saa ”ditemukan” wartawan di proyek perusahaan minyak asing dengan gaji sangat tinggi. George adalah anak Papua yang sukses memenangi First Step to Nobel Prize in Physics 2004 mengalahkan 73 peserta sedunia (Wilonoyudho, SM, 26/07/10).
Tesisnya, ”Infinite Triangle And Hexagonal Latice Network of Identical” mencengangkan para juri tingkat dunia karena George adalah siswa SMA, bahkan dari daerah terpencil di Papua, sedangkan tesisnya itu amat sulit dipecahkan, bahkan oleh mahasiswa S2 sekali pun. Tapi apa yang terjadi, George lepas ke pelukan perusahaan asing, dan Indonesia yang mendidiknya sejak TK tidak dapat berbuat apa-apa. Agaknya kasus George akan diikuti oleh puluhan pelajar kita yang sukses menjuarai olimpiade sains internasional.
Anak-anak jenius kita bisa diburu oleh negara-negara lain yang memiliki visi dan misi jelas dalam memanfaatkan potensi mereka. Mestinya pemerintah sudah merancang penempatan anak-anak jenius kita sepulang mereka bersekolah di luar negeri, dengan proyek yang jelas, karier yang jelas, dan kesejahteraan yang juga jelas. Di negeri ini hanya BJ Habibie yang beruntung. Sepulang dari Jerman menggondol gelar doktor summa cum laude: dengan pujian tertinggi, dalam ilmu pesawat terbang, ia dipercaya mengelola IPTN. Dia seakan mendapat mainan baru untuk lebih mengembangkan kreativitasnya.
Permasalahan di negeri ini kini sangat kompleks dan makin kritis dari hari ke hari. Dengan bahasa yang lebih tegas, kehadiran para jawara olimpiade sains yang dirintis Johanes Surya harus sinkron dengan rencana jangka panjang Kemenristek, Kemendikbud, dan sistem persekolahan kita. Kalau terputus, maka tidak akan berarti apa-apa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar