Pers
Indonesia dan Problem Kekerasan
Agus Sudibyo, KOMISI PENGADUAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN ETIKA, DEWAN PERS
Sumber
: KOMPAS, 29 Desember 2011
Tindakan main hakim sendiri terhadap jurnalis
masih terjadi di negeri ini.
Senin 12 Desember 2011, sekelompok orang
dengan brutal merusak dan membakar rumah wartawan Rote Ndao News, Dance Henukh,
di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Dalam aksi brutal ini, anak Dance yang baru
berusia satu bulan, Gino Novridi Henukh, meninggal dunia karena shock.
Peristiwa kekerasan ini terkait pemberitaan Rote Ndao News tentang dugaan
korupsi alokasi dana desa dan pembangunan rumah transmigrasi lokal senilai Rp
3,1 miliar di Rote Ndao.
Wartawan tidak kebal hukum. Media juga tak
selalu benar. Namun, kekecewaan terhadap pemberitaan media tak dapat
diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan atas nama apa pun adalah tindakan
melawan hukum.
Persoalan jurnalistik mestinya diselesaikan
secara jurnalistik. Dalam jurnalistik, tanggung jawab atas berita yang telah
dipublikasikan bukan lagi pada jurnalis penulis berita, melainkan pada
medianya. Maka, kekesalan terhadap pemberitaan media tidak semestinya
ditimpakan kepada jurnalis sebagai pribadi.
Tidak Ada Perlindungan
Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis
menunjukkan pers belum sepenuhnya dipandang sebagai institusi yang mewakili
kepentingan masyarakat. Akibatnya, unsur masyarakat ataupun pemerintah tak
segan-segan melakukan kekerasan jika merasa dirugikan media. Masyarakat juga
tidak melakukan pembelaan berarti ketika terjadi kekerasan terhadap jurnalis
atau media.
Namun, sikap acuh tak acuh masyarakat ini
juga dilatarbelakangi sikap kalangan pers yang sering tidak profesional.
Berdasarkan data Pengaduan Dewan Pers, tingkat pelanggaran Kode Etik
Jurnalistik secara nasional masih sangat tinggi.
Begitu sering pemberitaan yang tidak
berimbang, tak akurat, lemah konfirmasi, bahkan menghakimi. Para jurnalis juga
masih sering melanggar privasi, memaksa-maksa atau menghina sumber berita,
memeras, bahkan melakukan kekerasan.
Bentrok antara siswa SMA Jakarta dan
sekelompok jurnalis beberapa bulan lalu adalah contoh menarik. Pada akhirnya
terbukti bukan hanya oknum siswa SMA Negeri 6 yang melakukan penganiayaan,
melainkan juga oknum jurnalis sendiri. Wartawan tak sepenuhnya jadi korban,
tetapi juga pelaku kekerasan.
Faktor berikutnya adalah lemahnya
perlindungan hukum terhadap profesi jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis terus
terjadi karena negara cenderung melakukan pembiaran terhadap pelaku kekerasan.
Berbagai pihak tak ragu-ragu melakukan kekerasan terhadap jurnalis karena
kenyataannya tidak ada hukuman berat bagi pelaku.
Dalam kasus Rote Ndao News, misalnya, Dance
sebenarnya telah melapor dan meminta perlindungan ke kepolisian setempat dari
tindakan teror orang-orang yang cukup jelas identitasnya. Namun, perlindungan
tidak juga diberikan dan tidak ada tindakan apa pun terhadap pelaku teror,
hingga terjadilah insiden pembakaran rumah Dance.
Dalam beberapa kasus kematian jurnalis,
kepolisian terburu- buru menyimpulkan jurnalis meninggal karena sakit, karena
masalah pribadi. Padahal, jelas sekali ada tanda-tanda penganiayaan fisik pada
jasad jurnalis dan kematian terjadi tidak lama setelah dia menulis berita
tentang kasus korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan, dan lain-lain.
Kepolisian juga sering membebaskan pelaku dengan alasan tidak ada bukti-bukti
kuat telah melakukan kekerasan.
Lembaga peradilan juga beberapa kali
melakukan blunder dalam memutuskan perkara terkait fungsi pers. Sebagai contoh,
28 November 2011, Pengadilan Negeri Idi Raya, Aceh Timur, memutuskan jurnalis
bernama Basri bersalah telah melakukan pencemaran nama baik dengan hukuman enam
bulan penjara. Penyebabnya adalah berita berjudul ”PN Idi Raya Aceh Timur
Penganut Peradilan Sesat: Oknum Panitera PN Idi Raya Double Job Mafia Tanah”,
dimuat Mapikor edisi Mei 2010. Persoalannya, sekali lagi, yang harus
bertanggung jawab atas pemuatan sebuah berita adalah institusi media, bukan
jurnalis si pembuat berita. Di sini, Pengadilan Negeri Idi Raya membuat
kesalahan serius.
Kasus Mapikor ini juga menunjukkan masalah
berikutnya bahwa institusi media sering tak memberikan perlindungan berarti
kepada jurnalis yang sedang terjerat masalah hukum atau kekerasan. Jurnalis
sering dibiarkan sendirian menghadapi pemeriksaan polisi atau tuntutan hukum di
pengadilan, tanpa mendapat dukungan memadai dari media tempatnya bekerja. Jika
ada kekerasan terhadap jurnalis, yang getol membela adalah lembaga semacam AJI,
PWI, IJTI, dan LBH Pers, bukan perusahaan media yang memberikan penugasan
liputan kepada jurnalis tersebut.
Banyak Faktor
Tak ada penjelasan tunggal penyebab maraknya
kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Kekerasan terhadap jurnalis terjadi
karena kontribusi banyak faktor: sikap acuh tak acuh masyarakat terhadap pers,
profesionalisme pers yang masih rendah, ketidaktegasan penegak hukum terhadap
pelaku kekerasan, serta lemahnya perlindungan perusahaan pers terhadap
karyawannya.
Setiap upaya untuk mereduksi angka kekerasan
terhadap jurnalis harus memperhatikan faktor tersebut secara keseluruhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar