Desentralisasi
Pendidikan
Feliks Tan, PROFESOR PENDIDIKAN BAHASA
INGGRIS FKIP UNIVERSITAS NUSA CENDANA, KUPANG; ALUMNUS SENIOR RESEARCH PROGRAM
FULBRIGHT 2008-2009 DI NEW YORK, AS
Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
Ada yang aneh dengan wacana peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia. Ketika roh reformasi peradaban Indonesia menuju
desentralisasi, dunia pendidikan malah menghendaki sentralisasi (Mohammad
Abduhzen, ”Sentralisasi Pendidikan”, Kompas, 10/12/2011).
Selain bertentangan dengan roh reformasi,
menghendaki sentralisasi pendidikan juga aneh karena menghendaki hal yang
selama ini sudah dilaksanakan. ”Kurikulum, gaji guru, bantuan operasional
sekolah, sertifikasi, infrastruktur, ujian nasional, dan buku pelajaran juga
ditetapkan pusat,” kata Abduhzen.
Tidak salah dan karena itu tidak aneh kalau
hal yang sama yang dikehendaki itu baik adanya. Namun, adakah yang istimewa
dari sentralisasi pendidikan? Hampir tidak ada. Sentralisasi pendidikanlah yang
antara lain justru meruntuhkan mutu pendidikan Indonesia. Adalah aneh tentu
saja kalau kita tetap menghendakinya.
Seharusnya sentralisasi pendidikan yang gagal
itulah yang diganti. Diganti dengan apa? Dengan desentralisasi pendidikan
secara total yang bisa memberi ruang luas untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Implementasi
Persoalannya adalah bagaimana desentralisasi
pendidikan bisa diimplementasikan. Ada beberapa cara. Pertama, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 harus dilaksanakan secara penuh. Artinya,
setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), sebutlah masing-masing sekolah dasar
(SD), harus menyusun sendiri kurikulumnya. Jangan seperti sekarang: namanya
KTSP, tetapi kurikulum SD masih disusun pemerintah pusat.
Kedua, kurikulum yang disusun setiap TSP
harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Artinya,
setiap SD di negeri ini harus dibiarkan untuk memilih mata pelajaran sesuai
kondisi muridnya. Tidak masalah, misalnya, hanya mengajarkan mata pelajaran
inti: membaca, menulis, berhitung, plus bermain sepak bola.
Di SD lain, mungkin membaca, menulis, dan
berhitung plus pelajaran menari. Bisa juga pelajaran inti plus IPA atau plus
pendidikan moral dan karakter. Yang penting sesuai dengan MBKB murid. Bukan
seperti sekarang: seragam dan semua anak harus bisa semua mata pelajaran.
Padahal, yang genius seperti BJ Habibie hanya bisa dihitung dengan jari di
setiap sekolah.
Ketiga, kurikulum sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) dan tingkat atas (SLTA) juga harus disusun dengan filosofi
seperti itu. Murid harus dibiarkan bertumbuh kembang sesuai bakat dan
kemampuannya. SLTP bisa mengajarkan mata pelajaran membaca-menulis-berhitung
plus Bahasa Inggris dan bermain bola. Bisa juga belajar fisika dan matematika
saja karena memang demikianlah MBKB murid di sekolah itu. Demikian seterusnya
sampai perguruan tinggi (PT).
Keempat, ujian nasional dihapus. Biarkan
setiap sekolah menentukan muridnya lulus atau tidak. Sesungguhnya, ketika
pembelajaran sesuai MBKB murid, murid akan bisa mengevaluasi kompetensi
dirinya. Dia sejatinya tahu apakah dia bisa atau tidak, lulus atau tidak. Guru
malah tidak perlu repot untuk itu (baca Carl R Rogers, 1983. Freedom to Learn.
Merrill: New York).
Kelima, manajemen berbasis sekolah perlu
diterapkan secara sungguh-sungguh, termasuk untuk pengangkatan dan
pemberhentian guru dan pegawai administrasi oleh pimpinan TSP tertentu,
penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta berbagai anggaran
penyelenggaraan pendidikan pada TSP yang terkait, dengan memperhatikan salah
satunya pertimbangan dewan guru dan komite sekolah.
Dalam hal manajemen pendidikan, pemerintah,
pusat dan/atau daerah, cukup menyiapkan anggaran dengan pertanggungjawaban yang
benar. Penyiapan anggaran pun jika perlu saja. Ketika sekolah menjadi sangat
bermutu dengan ukuran, tamatannya akan beradab, tidak menganggur, dan
antikorupsi. Orangtua, baik yang berpunya ataupun papa, tidak akan ragu
membiayai pendidikan anaknya di sekolah itu.
Berbasis Kompetensi
Keenam, pemangku kepentingan pendidikan,
termasuk sekolah lanjutan dan PT, tidak lagi terpaku pada ijazah formal saat
menerima calon murid/mahasiswa atau karyawan, tetapi pada kompetensi nyatanya.
Artinya, jurusan matematika suatu universitas akan menerima calon mahasiswa
dengan kemampuan (dasar) bermatematika, bukan kemampuan dalam bidang lain.
Maka, ujiannya juga langsung kompetensi bidang. Calon dengan hasil bagus
diterima, yang jelek ditolak.
Yang ditolak, tetapi tetap berminat studi
matematika di universitas tersebut harus meningkatkan kemampuan bermatematikanya.
Misalnya, dengan mengulang kembali kelas XII atau di mana saja sampai dia
memenuhi standar universitas yang dituju. Calon yang standar matematikanya
terpenuhi harus diterima. Tidak peduli dia apakah punya ijazah SMA atau tidak,
kompetensinya di bidang lain baik atau jelek.
Demikian juga, apabila suatu perusahaan pers
membutuhkan wartawan ekonomi. Yang bisa menulis berita ekonomi dengan baik
harus diterima, tanpa mempersoalkan apakah dia berijazah sarjana (ekonomi) atau
tidak.
Di mana kewajiban pemerintah? Pemerintah
bertugas memastikan bahwa setiap anak berkesempatan bukan hanya sekadar
belajar, melainkan bisa belajar secara total sesuai MBKB-nya. Pemerintah juga
harus mengontrol secara ketat setiap TSP supaya setiap lembaga melaksanakan
tugas dengan total sesuai dengan teori ilmu pendidikan universal. Untuk itu,
pemerintah juga perlu menyiapkan dana dan infrastruktur secukupnya, terutama
untuk TSP yang belum bisa membiayai dirinya sendiri.
Jadi, yang dibutuhkan Indonesia sebenarnya
bukan sentralisasi pendidikan, tetapi desentralisasi pendidikan yang
konsisten-nyata. Sekali lagi, biarkan setiap TSP menentukan sendiri apa yang
diajar sesuai MBKB muridnya, mematok standar kelulusan, menerapkan manajemen
berbasis sekolah, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian staf, mengatur
belanja sesuai kebutuhan TSP terkait. Selanjutnya ini semua akan mengubah
paradigma penerimaan calon murid/mahasiswa dan/atau karyawan baru dengan
menomorsatukan kompetensi.
Dalam konteks itu, fungsi pemerintah, pusat,
dan daerah hanya mengawasi dan menyediakan dana secukupnya dengan dua tujuan
utama.
Pertama, menjamin bahwa setiap anak Indonesia
berkesempatan belajar secara sungguh-sungguh untuk mengaktualisasikan dirinya.
Kedua, setiap TSP melaksanakan tugasnya
secara benar demi Indonesia yang satu, utuh, sejahtera, dan lebih beradab.
Itulah arti desentralisasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar