Rabu, 28 Desember 2011

Desentralisasi Pendidikan

Desentralisasi Pendidikan
Feliks Tan, PROFESOR PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FKIP UNIVERSITAS NUSA CENDANA, KUPANG; ALUMNUS SENIOR RESEARCH PROGRAM FULBRIGHT 2008-2009 DI NEW YORK, AS
Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011


Ada yang aneh dengan wacana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Ketika roh reformasi peradaban Indonesia menuju desentralisasi, dunia pendidikan malah menghendaki sentralisasi (Mohammad Abduhzen, ”Sentralisasi Pendidikan”, Kompas, 10/12/2011).

Selain bertentangan dengan roh reformasi, menghendaki sentralisasi pendidikan juga aneh karena menghendaki hal yang selama ini sudah dilaksanakan. ”Kurikulum, gaji guru, bantuan operasional sekolah, sertifikasi, infrastruktur, ujian nasional, dan buku pelajaran juga ditetapkan pusat,” kata Abduhzen.

Tidak salah dan karena itu tidak aneh kalau hal yang sama yang dikehendaki itu baik adanya. Namun, adakah yang istimewa dari sentralisasi pendidikan? Hampir tidak ada. Sentralisasi pendidikanlah yang antara lain justru meruntuhkan mutu pendidikan Indonesia. Adalah aneh tentu saja kalau kita tetap menghendakinya.

Seharusnya sentralisasi pendidikan yang gagal itulah yang diganti. Diganti dengan apa? Dengan desentralisasi pendidikan secara total yang bisa memberi ruang luas untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Implementasi

Persoalannya adalah bagaimana desentralisasi pendidikan bisa diimplementasikan. Ada beberapa cara. Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 harus dilaksanakan secara penuh. Artinya, setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), sebutlah masing-masing sekolah dasar (SD), harus menyusun sendiri kurikulumnya. Jangan seperti sekarang: namanya KTSP, tetapi kurikulum SD masih disusun pemerintah pusat.

Kedua, kurikulum yang disusun setiap TSP harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Artinya, setiap SD di negeri ini harus dibiarkan untuk memilih mata pelajaran sesuai kondisi muridnya. Tidak masalah, misalnya, hanya mengajarkan mata pelajaran inti: membaca, menulis, berhitung, plus bermain sepak bola.

Di SD lain, mungkin membaca, menulis, dan berhitung plus pelajaran menari. Bisa juga pelajaran inti plus IPA atau plus pendidikan moral dan karakter. Yang penting sesuai dengan MBKB murid. Bukan seperti sekarang: seragam dan semua anak harus bisa semua mata pelajaran. Padahal, yang genius seperti BJ Habibie hanya bisa dihitung dengan jari di setiap sekolah.

Ketiga, kurikulum sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan tingkat atas (SLTA) juga harus disusun dengan filosofi seperti itu. Murid harus dibiarkan bertumbuh kembang sesuai bakat dan kemampuannya. SLTP bisa mengajarkan mata pelajaran membaca-menulis-berhitung plus Bahasa Inggris dan bermain bola. Bisa juga belajar fisika dan matematika saja karena memang demikianlah MBKB murid di sekolah itu. Demikian seterusnya sampai perguruan tinggi (PT).

Keempat, ujian nasional dihapus. Biarkan setiap sekolah menentukan muridnya lulus atau tidak. Sesungguhnya, ketika pembelajaran sesuai MBKB murid, murid akan bisa mengevaluasi kompetensi dirinya. Dia sejatinya tahu apakah dia bisa atau tidak, lulus atau tidak. Guru malah tidak perlu repot untuk itu (baca Carl R Rogers, 1983. Freedom to Learn. Merrill: New York).

Kelima, manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan secara sungguh-sungguh, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian guru dan pegawai administrasi oleh pimpinan TSP tertentu, penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta berbagai anggaran penyelenggaraan pendidikan pada TSP yang terkait, dengan memperhatikan salah satunya pertimbangan dewan guru dan komite sekolah.

Dalam hal manajemen pendidikan, pemerintah, pusat dan/atau daerah, cukup menyiapkan anggaran dengan pertanggungjawaban yang benar. Penyiapan anggaran pun jika perlu saja. Ketika sekolah menjadi sangat bermutu dengan ukuran, tamatannya akan beradab, tidak menganggur, dan antikorupsi. Orangtua, baik yang berpunya ataupun papa, tidak akan ragu membiayai pendidikan anaknya di sekolah itu.

Berbasis Kompetensi

Keenam, pemangku kepentingan pendidikan, termasuk sekolah lanjutan dan PT, tidak lagi terpaku pada ijazah formal saat menerima calon murid/mahasiswa atau karyawan, tetapi pada kompetensi nyatanya. Artinya, jurusan matematika suatu universitas akan menerima calon mahasiswa dengan kemampuan (dasar) bermatematika, bukan kemampuan dalam bidang lain. Maka, ujiannya juga langsung kompetensi bidang. Calon dengan hasil bagus diterima, yang jelek ditolak.

Yang ditolak, tetapi tetap berminat studi matematika di universitas tersebut harus meningkatkan kemampuan bermatematikanya. Misalnya, dengan mengulang kembali kelas XII atau di mana saja sampai dia memenuhi standar universitas yang dituju. Calon yang standar matematikanya terpenuhi harus diterima. Tidak peduli dia apakah punya ijazah SMA atau tidak, kompetensinya di bidang lain baik atau jelek.

Demikian juga, apabila suatu perusahaan pers membutuhkan wartawan ekonomi. Yang bisa menulis berita ekonomi dengan baik harus diterima, tanpa mempersoalkan apakah dia berijazah sarjana (ekonomi) atau tidak.

Di mana kewajiban pemerintah? Pemerintah bertugas memastikan bahwa setiap anak berkesempatan bukan hanya sekadar belajar, melainkan bisa belajar secara total sesuai MBKB-nya. Pemerintah juga harus mengontrol secara ketat setiap TSP supaya setiap lembaga melaksanakan tugas dengan total sesuai dengan teori ilmu pendidikan universal. Untuk itu, pemerintah juga perlu menyiapkan dana dan infrastruktur secukupnya, terutama untuk TSP yang belum bisa membiayai dirinya sendiri.

Jadi, yang dibutuhkan Indonesia sebenarnya bukan sentralisasi pendidikan, tetapi desentralisasi pendidikan yang konsisten-nyata. Sekali lagi, biarkan setiap TSP menentukan sendiri apa yang diajar sesuai MBKB muridnya, mematok standar kelulusan, menerapkan manajemen berbasis sekolah, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian staf, mengatur belanja sesuai kebutuhan TSP terkait. Selanjutnya ini semua akan mengubah paradigma penerimaan calon murid/mahasiswa dan/atau karyawan baru dengan menomorsatukan kompetensi.

Dalam konteks itu, fungsi pemerintah, pusat, dan daerah hanya mengawasi dan menyediakan dana secukupnya dengan dua tujuan utama.

Pertama, menjamin bahwa setiap anak Indonesia berkesempatan belajar secara sungguh-sungguh untuk mengaktualisasikan dirinya.

Kedua, setiap TSP melaksanakan tugasnya secara benar demi Indonesia yang satu, utuh, sejahtera, dan lebih beradab.
Itulah arti desentralisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar