Bancakan
Anggaran pada Akhir Tahun
Busthomy Rifa’i, MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA;
DIREKTUR KORNAS LAPMI
2009-2010
Sumber
: REPUBLIKA, 28 Desember 2011
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
baru saja dilantik. Banyak rasa optimisme disematkan ke pundak para pimpinan
baru KPK ini dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Namun, berbanding
terbalik dengan apa yang terjadi menjelang pergantian tahun ini. Terjadi
gerakan menghabiskan anggaran dan bukan sebaliknya, penghematan.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada setiap menjelang akhir tahun anggaran bagi kementerian dan lembaga beserta instansinya masing-masing sangat sibuk melaksanakan berbagai kegiatan, terutama yang berkaitan dengan anggaran yang sebentar lagi akan habis masa berlakunya. Kebiasaan yang sebenarnya telah banyak menuai kritik tersebut sampai saat ini masih saja terus berlangsung dengan berbagai alasan. Artinya, meskipun dalam rentang waktu 12 bulan, ternyata masih belum bisa membagi kegiatan dalam bulan-bulan awal, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut tidak menumpuk pada akhir tahun.
Ukuran kesuksesan bagi para aparat birokrasi pemerintahan seperti itu, maka disadari atau tidak, mendorong mereka melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyerap anggaran. Kegiatan apa saja dilakukan, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, evaluasi kegiatan, dan atau apa lagi lainnya, yang sekiranya anggaran dimaksud bisa dibelanjakan.
Kesan yang kemudian timbul dengan banyaknya kegiatan pada akhir tahun tersebut ialah hanya untuk menghabiskan anggaran semata, tanpa memikirkan tujuan dan target yang ingin dicapai dengan kegiatan yang mereka selenggarakan. Kesan negatif tersebut memang sangat beralasan karena dengan menumpuknya kegiatan pada dua bulan terakhir menunjukkan bahwa perencanaan yang dilakukan tidak baik dan administrasi yang diterapkan juga menjadi tidak tertib. Di samping itu, sudah barang tentu pelaksanaan kegiatan itu sendiri juga kurang maksimal.
Masih dalam niatan agar dana yang tersedia habis, maka kegiatan yang dilakukan boleh ditempatkan di hotel mewah, sekalipun sebenarnya instansinya memiliki fasilitas sendiri. Berhemat dianggap tidak perlu. Toh, semua itu bisa dipertanggungjawabkan. Ruang pertemuan, kamar, biaya transportasi, uang saku, tas, dan lain-lain, dibiayai dari anggaran itu. Apa pun yang dilakukan akan dibenarkan, asal biaya yang dimaksud bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, ada bukti-bukti fisik pembelanjaan itu. Misalnya, ada kuitansi, daftar hadir bagi orang yang terlibat, dan lain-lain.
Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya, anggaran departemen A tahun 2011 sebesar Rp 1 miliar, lalu pada Desember ini dana baru dikeluarkan sebesar Rp 800 juta. Maka, ada kewajiban bagi departemen tersebut untuk mengembalikan sebesar Rp 200 juta kepada negara sebagai pemberi anggaran tersebut. Karena masih tersisa, maka si A meminta anggaran baru untuk tahun 2012 sebesar Rp 1 miliar lagi. Namun, oleh negara, karena anggaran tahun sebelumnya tidak habis diberikan sebesar Rp 1 miliar, maka anggaran yang diberikan hanya sebesar Rp 800 juta, sebagaimana anggaran yang dipergunakan tahun lalu.
Berkaca dari hal itu, mereka berupaya menghabiskan anggaran yang ada dengan menyelenggarakan sejumlah kegiatan, kendati program yang dilaksanakan tidak bagus. Maka itu, jangan heran ketika menjelang akhir tahun ini, banyak sekali iklan departemen atau kementerian, bahkan lembaga negara di televisi.
Sinergi BPK-KPK
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah institusi yang mempunyai peran sentral dalam mengawasi sirkulasi keuangan. Lembaga ini harus mewaspadai berbagai modus pemborosan anggaran dari kementerian/lembaga publik lainnya pada akhir tahun. Dalam pengawasan BPK, ditemukan bahwa lembaga tinggi negara hingga triwulan II-2011 masih rendah dalam penyerapan anggaran, sehingga lembaga-lembaga tersebut biasanya menyerobot anggaran pada akhir tahun, tanpa perencanaan yang benar-benar matang.
Dalam sebuah laporan, BPK telah melakukan PDTT atas 208 objek pemeriksaan yang terdiri atas 61 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah, 44 objek pemeriksaan di lingkungan BUMN, sembilan objek pemeriksaan di lingkungan BUMD, dan dua objek pemeriksaan di lingkungan BHMN/BLU/badan lainnya. Hasil pemeriksaan ini harus ditindaklanjuti secara serius oleh pihak-pihak berwajib agar efisiensi dan checks and balances bisa dipertanggungjawabkan. Karena, faktanya, pemantauan BPK terhadap rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti mencapai 55,3 persen dan tindak lanjut yang belum sesuai rekomendasi atau dalam proses tindak lanjut tercatat sebanyak 40.841 atau 21,29 persen. Sedangkan, yang belum ditindaklanjuti sebanyak 44.858 rekomendasi atau 23,39 persen.
Sinergi antara BPK dan KPK dalam menjalankan tugas adalah kunci utama dalam memotong dan menindak indikasi kasus korupsi di Indonesia. Hasil penemuan dari BPK tersebut harus cepat dikomunikasikan kepada lembaga KPK agar segera disiapkan penanganan dan tindakan khusus. BPK dan KPK harus membangun sinergi karena institusi tersebut yang sangat berperan dalam proses pengungkapan korupsi di Indonesia.
Selama ini, pemerintah dalam mengelola keuangan lebih memilih pendekatan konvensional. Masing-masing instansi diberi anggaran sejumlah tertentu dan diperinci hingga penggunaannya. Menyalahi aturan itu, sekalipun sebenarnya menguntungkan negara, dianggap salah, dan bahkan harus mengembalikan ke kas negara. Kreatif dalam penggunaan anggaran pemerintah tidak dibenarkan. Dalam keadaan seperti ini, maka yang terpenting adalah mengikuti aturan. Apakah hal itu menguntungkan atau tidak, tidak perlu dipikirkan. Menghabiskan anggaran pada akhir tahun sekalipun tidak ada untungnya bagi pemerintah tetap dibolehkan. Anehnya, sekalipun merugikan pemerintah tidak disebut sebagai tindakan menyimpang atau korup.
Pemerintah mesti mengupayakan bagaimana setiap departemen bisa menyerap anggaran sesuai dengan kinerja dan program yang ada, jangan sampai pada akhir tahun baru semua anggaran dicairkan. Karena, kalau begitu terus bukan hanya kinerja dan program yang tidak berjalan, melainkan anggaran negara juga dihabiskan tanpa hasil yang pasti. Kalau begitu, rakyat juga yang dirugikan. ●
Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada setiap menjelang akhir tahun anggaran bagi kementerian dan lembaga beserta instansinya masing-masing sangat sibuk melaksanakan berbagai kegiatan, terutama yang berkaitan dengan anggaran yang sebentar lagi akan habis masa berlakunya. Kebiasaan yang sebenarnya telah banyak menuai kritik tersebut sampai saat ini masih saja terus berlangsung dengan berbagai alasan. Artinya, meskipun dalam rentang waktu 12 bulan, ternyata masih belum bisa membagi kegiatan dalam bulan-bulan awal, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut tidak menumpuk pada akhir tahun.
Ukuran kesuksesan bagi para aparat birokrasi pemerintahan seperti itu, maka disadari atau tidak, mendorong mereka melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyerap anggaran. Kegiatan apa saja dilakukan, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, evaluasi kegiatan, dan atau apa lagi lainnya, yang sekiranya anggaran dimaksud bisa dibelanjakan.
Kesan yang kemudian timbul dengan banyaknya kegiatan pada akhir tahun tersebut ialah hanya untuk menghabiskan anggaran semata, tanpa memikirkan tujuan dan target yang ingin dicapai dengan kegiatan yang mereka selenggarakan. Kesan negatif tersebut memang sangat beralasan karena dengan menumpuknya kegiatan pada dua bulan terakhir menunjukkan bahwa perencanaan yang dilakukan tidak baik dan administrasi yang diterapkan juga menjadi tidak tertib. Di samping itu, sudah barang tentu pelaksanaan kegiatan itu sendiri juga kurang maksimal.
Masih dalam niatan agar dana yang tersedia habis, maka kegiatan yang dilakukan boleh ditempatkan di hotel mewah, sekalipun sebenarnya instansinya memiliki fasilitas sendiri. Berhemat dianggap tidak perlu. Toh, semua itu bisa dipertanggungjawabkan. Ruang pertemuan, kamar, biaya transportasi, uang saku, tas, dan lain-lain, dibiayai dari anggaran itu. Apa pun yang dilakukan akan dibenarkan, asal biaya yang dimaksud bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, ada bukti-bukti fisik pembelanjaan itu. Misalnya, ada kuitansi, daftar hadir bagi orang yang terlibat, dan lain-lain.
Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya, anggaran departemen A tahun 2011 sebesar Rp 1 miliar, lalu pada Desember ini dana baru dikeluarkan sebesar Rp 800 juta. Maka, ada kewajiban bagi departemen tersebut untuk mengembalikan sebesar Rp 200 juta kepada negara sebagai pemberi anggaran tersebut. Karena masih tersisa, maka si A meminta anggaran baru untuk tahun 2012 sebesar Rp 1 miliar lagi. Namun, oleh negara, karena anggaran tahun sebelumnya tidak habis diberikan sebesar Rp 1 miliar, maka anggaran yang diberikan hanya sebesar Rp 800 juta, sebagaimana anggaran yang dipergunakan tahun lalu.
Berkaca dari hal itu, mereka berupaya menghabiskan anggaran yang ada dengan menyelenggarakan sejumlah kegiatan, kendati program yang dilaksanakan tidak bagus. Maka itu, jangan heran ketika menjelang akhir tahun ini, banyak sekali iklan departemen atau kementerian, bahkan lembaga negara di televisi.
Sinergi BPK-KPK
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah institusi yang mempunyai peran sentral dalam mengawasi sirkulasi keuangan. Lembaga ini harus mewaspadai berbagai modus pemborosan anggaran dari kementerian/lembaga publik lainnya pada akhir tahun. Dalam pengawasan BPK, ditemukan bahwa lembaga tinggi negara hingga triwulan II-2011 masih rendah dalam penyerapan anggaran, sehingga lembaga-lembaga tersebut biasanya menyerobot anggaran pada akhir tahun, tanpa perencanaan yang benar-benar matang.
Dalam sebuah laporan, BPK telah melakukan PDTT atas 208 objek pemeriksaan yang terdiri atas 61 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah, 44 objek pemeriksaan di lingkungan BUMN, sembilan objek pemeriksaan di lingkungan BUMD, dan dua objek pemeriksaan di lingkungan BHMN/BLU/badan lainnya. Hasil pemeriksaan ini harus ditindaklanjuti secara serius oleh pihak-pihak berwajib agar efisiensi dan checks and balances bisa dipertanggungjawabkan. Karena, faktanya, pemantauan BPK terhadap rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti mencapai 55,3 persen dan tindak lanjut yang belum sesuai rekomendasi atau dalam proses tindak lanjut tercatat sebanyak 40.841 atau 21,29 persen. Sedangkan, yang belum ditindaklanjuti sebanyak 44.858 rekomendasi atau 23,39 persen.
Sinergi antara BPK dan KPK dalam menjalankan tugas adalah kunci utama dalam memotong dan menindak indikasi kasus korupsi di Indonesia. Hasil penemuan dari BPK tersebut harus cepat dikomunikasikan kepada lembaga KPK agar segera disiapkan penanganan dan tindakan khusus. BPK dan KPK harus membangun sinergi karena institusi tersebut yang sangat berperan dalam proses pengungkapan korupsi di Indonesia.
Selama ini, pemerintah dalam mengelola keuangan lebih memilih pendekatan konvensional. Masing-masing instansi diberi anggaran sejumlah tertentu dan diperinci hingga penggunaannya. Menyalahi aturan itu, sekalipun sebenarnya menguntungkan negara, dianggap salah, dan bahkan harus mengembalikan ke kas negara. Kreatif dalam penggunaan anggaran pemerintah tidak dibenarkan. Dalam keadaan seperti ini, maka yang terpenting adalah mengikuti aturan. Apakah hal itu menguntungkan atau tidak, tidak perlu dipikirkan. Menghabiskan anggaran pada akhir tahun sekalipun tidak ada untungnya bagi pemerintah tetap dibolehkan. Anehnya, sekalipun merugikan pemerintah tidak disebut sebagai tindakan menyimpang atau korup.
Pemerintah mesti mengupayakan bagaimana setiap departemen bisa menyerap anggaran sesuai dengan kinerja dan program yang ada, jangan sampai pada akhir tahun baru semua anggaran dicairkan. Karena, kalau begitu terus bukan hanya kinerja dan program yang tidak berjalan, melainkan anggaran negara juga dihabiskan tanpa hasil yang pasti. Kalau begitu, rakyat juga yang dirugikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar