REFLEKSI
AKHIR TAHUN
Tahun Intoleransi dan Lilin yang Tetap Menyala
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 26 Desember 2011
“Dalam aransemen baru yang menekankan
dimensi desentraslisasi dan penghormatan atas HAM ini, kita menyaksikan
kegamangan pemerintah, baik pusat atau daerah, dalam menghadapi sejumlah
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras yang memakai “baju
agama”. Selain itu, tak mustahil bahwa di dalam birokrasi pemerintah sendiri,
ada elemen-elemen tertentu yang boleh jadi menaruh simpati kepada kelompok-kelompok
intoleran semacam ini.”
Situasi ideal dalam kehidupan keagamaan akan
terwujud di Indonesia manakala semua golongan dan individu, tanpa terkecuali,
menikmati kebebasan untuk memeluk (atau tak memeluk) agama dan keyakinan yang
ia percayai.
Situasi ideal akan terjadi manakala tak ada
diskriminasi, apalagi kekerasan, atas golongan atau individu manapun hanya
gara-gara kepercayaan dan agama yang ia peluk; atau gara-gara paham dan
penafsiran beda yang ia miliki.
Jaminan atas kebebasan beragama sudah
tercantum dalam konstitusi negara kita. Negara tentu berkewajiban untuk
memastikan agar jaminan konstitusional bagi kebebasan beragama itu benar-benar
bisa dinikmati oleh setiap warga negara.
Apakah cita-cita ideal itu sudah terpenuhi di
negara ini? Jawabannya sangat gamblang: Belum!
Secara formal, jaminan konstitusional bagi
kebebasan beragama memang ada. Tetapi dalam praktek, kita masih melihat banyak
insiden kekerasan terhadap kelompok minoritas tertentu yang beragama lain, atau
golongan tertentu yang memiliki paham dan tafsiran yang berbeda dengan “sekte”
dominan dalam agama tertentu.
Dalam kenyataan di lapangan, kita masih kerap
menyaksikan sejumlah insiden intoleransi. Sepanjang tahun 2011 ini, kita masih
melihat serangkaian kekerasan atas sejumlah kelompok minoritas. Pada 6/2/2011,
misalnya, terjadi penyerangan atas anggota Ahmadiyah di Cikeusik. Tiga anggota
kelompok itu meninggal.
Pada 9/2/2011, terjadi lagi rencana
penyerangan terhadap pemukiman warga Ahmadiyah di desa Cisalada, Bogor.
Penyerangan ini masih ada kaitannya dengan penyerangan sebelumnya yang terjadi
pada Oktober 2010. Untung saja, aparat keamanan berhasil menggagalkan rencana
tersebut.
Setelah reformasi, kita memang menyaksikan
sejumlah penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia,
terutama di Jawa Barat dan Mataram. Memang agak aneh, kenapa tiba-tiba masalah
Ahmadiyah ini muncul ke permukaan, padahal kelompok ini, sejak sebelum
kemerdekaan negeri kita, bisa hidup dengan tenang, tanpa masalah.
Ketidaksetujuan sebagian besar umat Islam
terhadap keyakinan Ahmadiyah, terutama menyangkut doktrin kenabian (nubuwwah),
sudah ada sejak kehadiran jemaat Ahmdiyah di Indonesia pada dekade 20an abad
yang lampau. Debat antara misionaris Ahmadiyah dengan tokoh-tokoh dari kalangan
Islam yang lain sudah kerap terjadi sejak dulu. Debat yang masyhur antara
Ahmadiyah dan kalangan yang menentangnya terjadi pada 28-29 September 1933 di
sebuah gedung di Gang Kenari, Salemba, Jakarta Pusat.
Pihak Ahmadiyah diwakili oleh Rahmat Ali
(misionaris Ahmadiyah dari India) dan Abubakar Ayyub (murid dari madrasah
Thawalib di Sumatera Barat). Sementara pihak yang kontra-Ahmadiyah diwakili
oleh Ahmad Hassan, pendiri organisasi Islam yang terkenal, Persatuan Islam
(Persis). Debat ini diliput oleh banyak media saat itu, antara lain Sin Po,
Pemandangan dan Bintang Timur. Tak ada kekerasan fisik yang terjadi karena
perdebatan semacam ini. Tentu saja, debat seperti itu jauh lebih sehat dan
mendidik publik ketimbang kekerasan fisik seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Kekerasan fisik dan penyerangan terhadap
warga Ahmadiyah benar-benar fenomena baru pasca-reformasi. Kemungkinan besar,
ini ada kaitannya dengan maraknya “ideologi jihad” yang banyak dikemukakan oleh
beberapa kelompok garis keras Islam. Kemunculan ideologi semacam ini menandai
fase baru dalam sejarah pergerakan Islam modern, yakni fase di mana kekerasan
“dihalalkan”, bahkan terhadap kelompok-kelompok dalam Islam sendiri yang
berbeda.
Sumber utama ideologi jihad modern ini tak
pelak lagi adalah dua ideolog terkenal; satu dari Pakistan, yakni Abul A’la
al-Maududi; dan satunya lagi dari Mesir, yakni Sayyid Qutb dari gerakan
Ikhwanul Muslimin.
Dengan kemunculan ideologi jihad di arena
pergerakan Islam modern ini, suasana menjadi sedikit berbeda. Perdebatan
merosot, terutama dengan kelompok-kelompok dalam Islam sendiri yang berbeda
seperti Ahmadiyah, digantikan dengan wacana lain, yaitu wacana kekerasan.
Kasus yang patut mendapatkan perhatian kita
dan sangat tragis tentunya adalah sengketa tak berkesudahan di sekitar izin
pembangunan gereja GKI Yasmin di Bogor. Ini adalah masalah klasik, yakni soal
izin pembangunan gereja. Pada 14 Februari 2008, Walikota Bogor, Diani Budiarto,
mencabut izin pembangunan gereja yang sudah dikeluarkan oleh walikota sebelumnya
pada 19 Juli 2006 untuk jemaat GKI Yasmin.
Sebetulnya, hak warga GKI Yasmin untuk
membangun gereja di lokasi yang mereka kehendaki saat ini harus dipenuhi oleh
pemerintah Kota Bogor, karena sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang sudah
mengikat pada 9 Desember 2010. Keputusan itu menolak Peninjauan Kembali (PK)
yang diajukan oleh Walikota Bogor atas Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI
Yasmin Bogor. Dengan demikian, keputusan Walikota untuk mencabut IMB GKI Yasmin
dengan sendirinya batal demi hukum.
Sementara itu, Ombudsman RI, lembaga yang
bertugas mengawasi setiap bentuk maladministrasi dalam pelayanan publik oleh
pemerintah, telah mengeluarkan rekomendasi pada 8 Juli 2011 agar Walikota
Bogor mencabut keputusannya berkaitan dengan pencabutan IMB GKI Yasmin.
Berhadapan dengan keputusan-keputusan yang
dengan konsisten menjamin hak warga jemaat GKI Yasmin untuk membangun gereja
ini, sikap Walikota tetap tak berubah. Dia tetap tak mau mencabut keputusannya.
Di sini, kita sedang menyaksikan suatu praktek pemerintahan (governance) yang
janggal, karena pemerintah lokal mengabaikan perintah dari otoritas yang lebih
tinggi. Apakah ini ekses “kebablasan” dari otonomi daerah?
Trend yang sangat menonjol pasca-reformasi
adalah maraknya gejala intoleransi terhadap agama lain, atau kelompok yang
memiliki tafsir yang berbeda. Beberapa data survey yang diadakan oleh pollster
terakhir memang menunjukkan hal ini. Tentu ini adalah kecenderungan yang sama
sekali tak positif karena mengganggu upaya membangun kehidupan antar-agama yang
harmonis dan damai.
Insiden kekerasan terhadap kaum minoritas
sekarang ini, menurut saya, jelas berkaitan langsung dengan maraknya
intoleransi tersebut. Yang amat disesalkan adalah gejala ini muncul pada saat
terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam aransemen kelembagaan negara kita
sebagai resultante dari reformasi.
Dalam aransemen baru yang menekankan dimensi
desentraslisasi dan penghormatan atas HAM ini, kita menyaksikan kegamangan
pemerintah, baik pusat atau daerah, dalam menghadapi sejumlah kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras yang memakai “baju agama”. Selain
itu, tak mustahil bahwa di dalam birokrasi pemerintah sendiri, ada
elemen-elemen tertentu yang boleh jadi menaruh simpati kepada kelompok-kelompok
intoleran semacam ini.
Di tengah-tengah situasi yang carut-marut
seperti ini, kita menyaksikan tahun 2011 sebagai tahun intoleransi dalam
kehidupan beragama – tahun di mana terjadi banyak insiden intoleransi,
kekerasan, dan penyerangan terhadap golongan minoritas. Sementara itu,
pemerintah kurang menampakkan sikap yang tegas terhadap tindakan-tindakan
semacam ini.
Tentu keadaannya tak semuanya gelap. Saya
kurang sepakat dengan pihak-pihak yang selalu menguarkan diskursus pesimisme
dan “kegelapan” tentang situasi di negeri ini. Di tengah-tengah tahun
intoleransi ini, tetap ada lilin yang terus menyala.
Apa yang saya sebut dengan lilin menyala itu
ialah peran media massa kita, baik cetak maupun elektronik, yang dengan cukup
baik terus mengungkap kasus-kasus kekerasan dan intoleransi agama ini. Meskipun
liputan media kita tentang kasus-kasus intoleransi itu belum sepenuhnya ideal
(kadang masih cenderung menekankan aspek “sensasionalitas” ketimbang mendidik
publik tentang pentingnya “religious freedom”), kita tetap perlu mengangkat
topi kepada media kita yang terus menjalankan fungsi sebagai “watch-dog”,
anjing pengawas, untuk setiap insiden kekerasan dan intoleransi agama di negeri
ini.
Lilin-menyala yang lain adalah masyarakat
sipil, baik ormas (termasuk ormas Islam) dan LSM, yang tanpa lelah terus
menyadarkan masyarakat tentang pentingnya diskursus kebebasan agama. Kita tentu
beruntung bahwa setelah reformasi, kekuatan masyarakat sipil kita kian menguat.
Meskipun, harus diakui, bahwa kekuatan-kekuatan yang “un-civil” (un-civil
society) juga menguat di antara kelompok-kelompok tertentu.
Kebebasan pers dan masyarakat sipil yang kuat
adalah dua elemen penting untuk menjaga agar demokrasi kita tetap “on track”
dan setiap penyalahgunaan kekuasaan bisa terus dikontrol dan diluruskan.
Tahun 2011 adalah tahun intoleransi. Tetapi
tahun yang sama juga menyaksikan peran media dan masyarakat sipil yang cukup
kuat untuk mengontrol setiap gejala intoleransi itu. Tentu saja kita berharap,
tahun-tahun mendatang trend intoleransi ini pelan-pelan menurun, dan pemerintah
memiliki sikap yang lebih tegas dan jelas untuk menindak segala bentuk
kekerasan dan intoleransi yang mengancam kebebasan beragama di tanah air. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar