Islam
dan Kekuasaan
Rahmat Hidayat PhD, DOSEN PASCASARJANA UNIVERSITAS TRISAKTI ANGGOTA
DSN-MUI
Sumber
: REPUBLIKA, 30 Desember 2011
Satu hal penting dan strategis bagi kehidupan
kita adalah masalah kekuasaan (kepemimpinan). Ibnu Taimiyah (1263-1328)
mengatakan, mengatur segala urusan masyarakat merupakan salah satu hal yang
sangat penting, strategis dan diperlukan. Untuk menyempurnakan segala urusan
itu, manusia memerlukan pemimpin yang mengatur segala kebutuhannya melalui
organisasi masyarakat yang baik (ijtima'). Oleh karena itu, maka keberadaan
pemerintah merupakan keniscayaan untuk membentuk masyarakat sejahtera.
Islam sebagai agama yang kaffah (lengkap) telah memberikan panduan tentang kekuasan (kepemimpinan) itu. Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Nabi yang menjelaskan masalah tersebut. Di antaranya QS Ali-Imran [3]: 26, Al-An'am [6]: 165. Demikian pula sabda Rasulullah SAW: "Bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan kelak akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinan kalian." (HR Muslim).
Berdasarkan Alquran dan hadis diatas, maka kekuasaan itu pada hakikatnya adalah milik Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, maka kekuasaan yang dimiliki manusia tidak mutlak karena merupakan titipan/amanah dan sekaligus ujian dari-Nya.
Sebenarnya kekuasaan itu netral tergantung orang yang berkuasa, mau adil dan mendapat ridha Allah atau untuk aniaya. Amanat-kekuasaan itu sangat berat tapi mulia. Rasulullah SAW bersabda, bahwa pemimpin yang adil itu kelak akan mendapatkan perlindungan dari Allah (HR Bukhari-Muslim), menjadi ahli surga (HR Muslim) dan doanya tidak akan ditolak oleh Allah SWT (HR At-Tirmizi).
Menurut Imam Al-Mawardi (991-1058), sebab timbulnya kekuasaan merupakan kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela antara ahlul halli wal 'aqdi (ahlu al-hiyar atau para pemilih) dengan pemimpin (Kepala Negara) yang dipilih. Sebagai konsekuensinya, maka lahirlah kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.
Imam As-Sayuthi mengatakan, untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap rakyat, maka kekuasaan harus didedikasikan untuk kebaikan (maslahah) bagi rakyat (tasharruf al-imam ala ar-raiyah manutun bi al-mashlahah).
Untuk itu, maka kebijakan yang dibuat para penguasa/pemimpin perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, amar ma'ruf nahi munkar. Sejalan dengan perintah Allah (QS Ali Imran [3]: 110), tujuan utama dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan (ma'ruf) dan mencegah mereka dari perbuatan munkar. Kedua, tegaknya keadilan. Keadilan merupakan hal penting dan mendasar dalam Islam. Bahkan salah satu misi kenabian Muhammad SAW adalah menegakkan keadilan.
Ketiga, tegaknya "maqashid asy-syariah". Imam Asy Syatibi mengatakan, bahwa tujuan utama syariah adalah terciptanya kesejahteraan menyeluruh (mashlahah 'ammah) di seluruh sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut akan tercipta manakala kelima aspek kebutuhan dasar manusia yang dikenal dengan "maqashid asy- syariah" dapat terjamin pelaksanaan dan kelestariannya.
Kelima kebutuhan dasar tersebut adalah terpeliharanya agama (hifzh ad-diin), terpelihara pemikiran (hifzh al-'aql), terpelihara jiwa (hifzh an-nafs), terpelihara keturunan (hifzh an-nasl), dan terpelihara harta (hifzh al-maal). Oleh karena itu, maka prinsip-prinsip kebijakan publik yang akan dibuat dan dilaksanakan oleh penguasa atau pemimpin sudah semestinya memperhatikan maqashid asy-syariah tersebut.
Sebenarnya telah banyak contoh terbaik (best practice) dalam penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin serta khalifah lainnya. Tapi dalam tulisan ini penulis kemukan dua contoh saja, yaitu Nabi Muhammad dan Umar bin Abdul Aziz.
Rasulullah SAW berhasil membangun masyarakat madani (civil society) sebagai contoh masyarakat ideal. Pertama, ketika Nabi hijrah dari kota Makkah ke Madinah yang pertama dibangun adalah masjid. Bagi umat Islam, masjid merupakan basis utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat muslim. Masjid merupakan lambang "dimensi Ketuhanan" (spiritualitas).
Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem dan tatanan kehidupan sosial yang baik akan tumbuh dan berkembang dari semangat ke-Islaman (spiritualitas) yang ada di masjid. Bagi Nabi, masjid bukan hanya tempat ibadah dalam artian sempit, tetapi juga menjadi tempat mengatur strategi dakwah dan perang termasuk dalam menata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam kehidupan berbangsa, para pendiri (founding fathers) Indonesia telah menyadari akan hal tersebut, sehingga menempatkan kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai sila pertama dalam UUD 1945 dan Pancasila. Tapi sayang dalam praktiknya kemudian, aspek tersebut terdistorsi-kalah dan kurang mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya dibandingkan bidang-bidang lain.
Kedua, Rasul membangun, merajut dan memperkuat kohesi dan relasi sosial antara: kaum Muhajirin (kaum migrant) dengan kaum Anshar (penduduk asli), antarkabilah (suku) di Madinah dan antara muslim dengan non-muslim. Ketiga, menyusun konstitusi negara sebagai dasar dalam mengatur hubungan, kewajiban dan hak negara terhadap rakyat atau sebaliknya.
Keempat, meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Alquran. Pada masa kepemimpinan Rasul, masyarakat hidup sejahtera lahir dan batin, karena dibangun dengan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah).
Contoh lain yang spektakuler adalah yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai Khalifah pada tahun717-720M beliau berjanji akan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak akan ada lagi penduduk miskin dan orang-orang terlantar di negeri yang dipimpin beliau.
Untuk mewujudkan janjiannya, beliau melakukan langkah-langkah reformatif. Di antaranya, pertama, menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadinya dan diikuti keluarga. Kedua, mereformasi kehidupan istana, pola hidup istana yang mewah diubah menjadi sederhana, semua fasilitas mewah dicabut dan barang-barang mewah milik istana dilelang dan hasilnya masuk ke kas negara.
Ketiga, Beliau mendeklarasikan gerakan nasional penghematan total dalam praktik penyelenggaraan negara. Struktur negara yang gemuk dirampingkan, birokrasi yang berbelit-belit, lambat, menghambat dan boros dibuat sederhana, cepat, dan murah. Pejabat yang terindikasi korupsi dibebas tugaskan.
Keempat, mendistribusikan kekayaan negara secara adil dan mensosialisasikan kepada masyarakat semangat kemandirin, bisnis serta kewirausahaan. Dan kelima, meningkatkan sumber-sumber penerimaan atau pendapatan negara berupa zakat, pajak, jizyah, serta mendistribusikannya secara efisien dan efektif.
Dengan langkah reformatif tersebut, dalam kurun waktu kepemimpinan beliau yang sangat singkat (tiga tahun), tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka hidup sejahtera, jumlah muzaki meningkat, dan tidak ada lagi fakir miskin, anak yatim, serta janda-janda tua yang terlantar dan kelaparan. ●
Islam sebagai agama yang kaffah (lengkap) telah memberikan panduan tentang kekuasan (kepemimpinan) itu. Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Nabi yang menjelaskan masalah tersebut. Di antaranya QS Ali-Imran [3]: 26, Al-An'am [6]: 165. Demikian pula sabda Rasulullah SAW: "Bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan kelak akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinan kalian." (HR Muslim).
Berdasarkan Alquran dan hadis diatas, maka kekuasaan itu pada hakikatnya adalah milik Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, maka kekuasaan yang dimiliki manusia tidak mutlak karena merupakan titipan/amanah dan sekaligus ujian dari-Nya.
Sebenarnya kekuasaan itu netral tergantung orang yang berkuasa, mau adil dan mendapat ridha Allah atau untuk aniaya. Amanat-kekuasaan itu sangat berat tapi mulia. Rasulullah SAW bersabda, bahwa pemimpin yang adil itu kelak akan mendapatkan perlindungan dari Allah (HR Bukhari-Muslim), menjadi ahli surga (HR Muslim) dan doanya tidak akan ditolak oleh Allah SWT (HR At-Tirmizi).
Menurut Imam Al-Mawardi (991-1058), sebab timbulnya kekuasaan merupakan kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela antara ahlul halli wal 'aqdi (ahlu al-hiyar atau para pemilih) dengan pemimpin (Kepala Negara) yang dipilih. Sebagai konsekuensinya, maka lahirlah kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik.
Imam As-Sayuthi mengatakan, untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap rakyat, maka kekuasaan harus didedikasikan untuk kebaikan (maslahah) bagi rakyat (tasharruf al-imam ala ar-raiyah manutun bi al-mashlahah).
Untuk itu, maka kebijakan yang dibuat para penguasa/pemimpin perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, amar ma'ruf nahi munkar. Sejalan dengan perintah Allah (QS Ali Imran [3]: 110), tujuan utama dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan (ma'ruf) dan mencegah mereka dari perbuatan munkar. Kedua, tegaknya keadilan. Keadilan merupakan hal penting dan mendasar dalam Islam. Bahkan salah satu misi kenabian Muhammad SAW adalah menegakkan keadilan.
Ketiga, tegaknya "maqashid asy-syariah". Imam Asy Syatibi mengatakan, bahwa tujuan utama syariah adalah terciptanya kesejahteraan menyeluruh (mashlahah 'ammah) di seluruh sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut akan tercipta manakala kelima aspek kebutuhan dasar manusia yang dikenal dengan "maqashid asy- syariah" dapat terjamin pelaksanaan dan kelestariannya.
Kelima kebutuhan dasar tersebut adalah terpeliharanya agama (hifzh ad-diin), terpelihara pemikiran (hifzh al-'aql), terpelihara jiwa (hifzh an-nafs), terpelihara keturunan (hifzh an-nasl), dan terpelihara harta (hifzh al-maal). Oleh karena itu, maka prinsip-prinsip kebijakan publik yang akan dibuat dan dilaksanakan oleh penguasa atau pemimpin sudah semestinya memperhatikan maqashid asy-syariah tersebut.
Sebenarnya telah banyak contoh terbaik (best practice) dalam penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin serta khalifah lainnya. Tapi dalam tulisan ini penulis kemukan dua contoh saja, yaitu Nabi Muhammad dan Umar bin Abdul Aziz.
Rasulullah SAW berhasil membangun masyarakat madani (civil society) sebagai contoh masyarakat ideal. Pertama, ketika Nabi hijrah dari kota Makkah ke Madinah yang pertama dibangun adalah masjid. Bagi umat Islam, masjid merupakan basis utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat muslim. Masjid merupakan lambang "dimensi Ketuhanan" (spiritualitas).
Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem dan tatanan kehidupan sosial yang baik akan tumbuh dan berkembang dari semangat ke-Islaman (spiritualitas) yang ada di masjid. Bagi Nabi, masjid bukan hanya tempat ibadah dalam artian sempit, tetapi juga menjadi tempat mengatur strategi dakwah dan perang termasuk dalam menata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam kehidupan berbangsa, para pendiri (founding fathers) Indonesia telah menyadari akan hal tersebut, sehingga menempatkan kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai sila pertama dalam UUD 1945 dan Pancasila. Tapi sayang dalam praktiknya kemudian, aspek tersebut terdistorsi-kalah dan kurang mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya dibandingkan bidang-bidang lain.
Kedua, Rasul membangun, merajut dan memperkuat kohesi dan relasi sosial antara: kaum Muhajirin (kaum migrant) dengan kaum Anshar (penduduk asli), antarkabilah (suku) di Madinah dan antara muslim dengan non-muslim. Ketiga, menyusun konstitusi negara sebagai dasar dalam mengatur hubungan, kewajiban dan hak negara terhadap rakyat atau sebaliknya.
Keempat, meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Alquran. Pada masa kepemimpinan Rasul, masyarakat hidup sejahtera lahir dan batin, karena dibangun dengan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah).
Contoh lain yang spektakuler adalah yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai Khalifah pada tahun717-720M beliau berjanji akan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak akan ada lagi penduduk miskin dan orang-orang terlantar di negeri yang dipimpin beliau.
Untuk mewujudkan janjiannya, beliau melakukan langkah-langkah reformatif. Di antaranya, pertama, menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadinya dan diikuti keluarga. Kedua, mereformasi kehidupan istana, pola hidup istana yang mewah diubah menjadi sederhana, semua fasilitas mewah dicabut dan barang-barang mewah milik istana dilelang dan hasilnya masuk ke kas negara.
Ketiga, Beliau mendeklarasikan gerakan nasional penghematan total dalam praktik penyelenggaraan negara. Struktur negara yang gemuk dirampingkan, birokrasi yang berbelit-belit, lambat, menghambat dan boros dibuat sederhana, cepat, dan murah. Pejabat yang terindikasi korupsi dibebas tugaskan.
Keempat, mendistribusikan kekayaan negara secara adil dan mensosialisasikan kepada masyarakat semangat kemandirin, bisnis serta kewirausahaan. Dan kelima, meningkatkan sumber-sumber penerimaan atau pendapatan negara berupa zakat, pajak, jizyah, serta mendistribusikannya secara efisien dan efektif.
Dengan langkah reformatif tersebut, dalam kurun waktu kepemimpinan beliau yang sangat singkat (tiga tahun), tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka hidup sejahtera, jumlah muzaki meningkat, dan tidak ada lagi fakir miskin, anak yatim, serta janda-janda tua yang terlantar dan kelaparan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar