Misteri
Politik Kaum Menengah Negeri Ini
Bestian Nainggolan, DIVISI LITBANG KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
Di tengah situasi politik yang masih saja
menyimpan ketidakpuasan, sosok dan peran kelas menengah di negeri ini amat
dinantikan. Persoalannya, apakah mereka layak diharapkan menjadi barisan
terdepan penjaga demokrasi di negeri ini?
Mempersoalkan eksistensi kelas menengah di
negeri ini seolah menjadi suatu pertanyaan klasik lantaran kerap muncul tanpa
berkesudahan. Di manakah kelas menengah kita? Menariknya, keberadaan sosok kaum
menengah ini selalu diperdebatkan pada saat tingginya kekhawatiran akan
keterpurukan politik bangsa berlanjut.
Di negeri jiran, seperti Singapura, Malaysia,
dan Filipina, bahkan kawasan Asia Timur
pun eksistensi kelas menengah menjadi
bahan kajian. Kaum menengah dinilai istimewa lantaran anggapan nilai strategis
yang disandang kelompok ini. Semua bermula dari acuan sejarah munculnya istilah
kelas menengah. Kemunculan mereka tidak lepas dari revolusi industri di
negara-negara Barat. Waktu itu, industrialisasi melahirkan nilai-nilai
entrepreneurship yang kian gencar memacu pola kehidupan masyarakat di sana.
Akibatnya, timbul sekelompok kalangan yang
menyandang beberapa kelebihan, antara lain kekuatan dan kemandirian ekonomi,
berpendidikan, dan profesional. Berbekal kelebihan semacam itu, tak heran jika
salah satu peran mereka adalah kemampuan mengendalikan kesewenang-wenangan
kalangan atas alias pemilik modal terhadap buruh.
Selain itu, mereka juga mampu berperan
sebagai jembatan dalam konflik yang terjadi antara kelas atas dan bawah.
Keistimewaan semacam ini pula yang menjadikan dasar kerinduan banyak kalangan
terhadap peran kaum menengah terhadap problematika politik bangsa seperti saat
ini.
Kontradiksi
Sayangnya, guratan kesan pesimistis ditujukan
kepada kalangan menengah. Tahun 1997, misalnya, sebelum reformasi politik,
survei yang dilakukan Litbang Kompas bersama Academia Sinica Taiwan mengurai
berbagai kontradiksi kelas menengah di negeri ini. Di satu sisi, kalangan yang
disebut sebagai anak kandung kemajuan ekonomi ini tampil sebagai kalangan yang
bersikap kritis terhadap situasi yang dihadapinya, termasuk persoalan yang
mengungkung negara ini. Namun, di sisi lain, kecenderungan bersikap mendua dan
cenderung konservatif terlihat tatkala mereka dihadapkan pada aksi ataupun
aktivitas sosial dan politik.
Sekalipun demikian, tekanan situasi sanggup
mengubah segalanya. Reformasi politik pada Mei 1998 pun bergulir. Salah satu
ulasannya terkait dengan Revolusi Mei 1998 dalam buku Self-Originated Being
(2011), Dedy N Hidayat mengurai keberadaan kalangan menengah yang
semula diremehkan dari sisi jumlah dan sikapnya yang mendua ini pada satu titik
justru menjadi garda terdepan perubahan tersebut.
Mereka yang sebelumnya masih lebih
menunjukkan perhatian besar pada pertumbuhan ekonomi, dan seiring dengan itu
cenderung konservatif dalam menampilkan sikap politik, sontak berubah menjadi
kalangan paling progresif dalam sikap dan aksi politik. Menurut dia, fakta
demikian menjungkirbalikkan analisis struktural yang cenderung memandang kurang
signifikannya peran kelas menengah.
Saat ini, kecenderungan memandang pesimistis
terhadap keberadaan ataupun peran kelas menengah pun mulai tampak. Hasil jajak
pendapat seminggu terakhir ini, misalnya, menunjukkan bahwa karakteristik
kelompok menegah yang relatif tidak berubah dari masa-masa sebelumnya.
Di satu sisi, kalangan yang secara langsung
menyebutkan dirinya sebagai ”kelas menengah” ini memiliki perhatian yang
tergolong sangat tinggi terhadap persoalan di negeri ini. Sebagai gambaran,
bagian terbesar dari kalangan ini mengamati terus-menerus hampir setiap
hari—baik membaca maupun menonton—berbagai pemberitaan terkait dengan persoalan
politik, sosial, ataupun ekonomi. Tidak hanya berhenti sampai di situ, sebagian
besar dari mereka pun berupaya mendiskusikan berbagai persoalan yang diamatinya
dengan orang lain, baik kepada sesama anggota keluarga, lingkungan tempat
tinggal, maupun rekan sekerja.
Akan tetapi, perhatian kalangan ini terhadap
persoalan bangsa tampaknya hanya sebatas itu. Ketika diperluas hingga
penyingkapan tinggi-rendahnya derajat partisipasi mereka dalam berbagai aksi
sosial maupun politik, justru sebaliknya yang terjadi. Tampak benar
kecenderungan untuk menjauh dari berbagai kegiatan kolektif ataupun aksi-aksi
konkret sebagai bentuk perhatian terhadap pemecahan persoalan bangsa. Hasil
jajak pendapat ini, misalnya, mengungkapkan betapa rendahnya keterlibatan
mereka dalam kegiatan keorganisasian sosial hingga politik yang berurusan
dengan upaya perbaikan kondisi bangsa.
Demikian pula terkait dengan beragam aksi
yang terkait persoalan sosial politik, dari sekadar aksi protes hingga bentuk
yang lebih sistematis, seperti upaya mengajak kalangan lain untuk memboikot
ataupun memprotes suatu kebijakan, tidak menjadi suatu pilihan ekspresi
bersikap mereka.
Kalaupun mereka tampak terlibat, lebih
menonjol keterlibatan tersebut pada persoalan-persoalan yang secara langsung
berdampak terhadap diri mereka, seperti keterlibatan dalam pemecahan persoalan
keamanan lingkungan tempat tinggal.
Ujung Tombak
Hasil jajak pendapat ini, sebagaimana survei
kelas menengah terdahulu, dapat saja
menguak berbagai kontradiksi politik kaum
menengah. Demikian pula berbagai kontradiksi tersebut dapat saja dipandang
secara pesimistis, terutama terkait dengan harapan yang bergantung pada pundak
mereka sebagai ujung tombak demokratisasi di negeri ini.
Akan tetapi, tidak pula selamanya sikap yang
seolah pasif ini bersifat kekal. Dalam beberapa kasus, perhatian kalangan
menengah dapat saja berubah dari sekadar perhatian pasif menjadi keterlibatan
aktif. Merujuk pada upaya kriminalisasi pimpinan KPK beberapa waktu lalu,
misalnya, munculnya gerakan dukungan terhadap eksistensi KPK mengindikasikan
kelas menengah yang tidak selamanya apatis sekalipun sejauh ini tidak
terhindarkan pula bahwa apa yang diekspresikan masih bercorak insidental dan
kurang sistematis.
Terlebih, hadirnya teknologi komunikasi dalam
wujud jaringan sosial media kian memungkinkan pengekspresian sikap hingga aksi
publik ke dalam bentuk-bentuk yang konkret.
Namun, saat ini, di tengah menguatnya
ketidakpuasan publik sepanjang tahun 2011, berharap kelas menengah mampu
menjadi ujung tombak demokrasi tampaknya masih menjadi sebuah misteri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar