Perikanan
Salah Urus
Okki Lukito, KETUA FORUM MASYARAKAT KELAUTAN DAN PERIKANAN;
PELAKU
BUDIDAYA LAUT DAN TAMBAK
Sumber
: KOMPAS, 30 Desember 2011
Ulasan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Rokhmin Dahuri (Kompas, 22/12/2011) sangat menginspirasi dan menyejukkan di
tengah kegerahan membaca berita soal impor ikan. Namun, apakah dengan (ulasan)
itu lalu produksi ikan Indonesia akan pulih kembali?
Sebagai negara produsen ikan, kita terpuruk
akibat program orientasi industri yang ambisius. Nilai kearifan lokal ditinggalkan,
ekosistem perairan dan pesisir sebagai tempat pemijahan ikan banyak yang rusak.
Pertanyaannya, dengan hitungan potensi di
atas kertas yang melimpah itu, sebagaimana diulas Rokhmin Dahuri, apakah
produksi ikan Indonesia akan mampu melampaui India atau mendekati China?
Tak Dikelola dengan Baik
Selama 10 tahun lebih menekuni usaha
budidaya, di antaranya marine culture, serta menyaksikan fakta di lapangan,
yang diperlukan adalah langkah nyata. Lupakan dahulu teori produksi yang pernah
dilakukan. Para pelaku bisnis di sektor perikanan berharap perlu ada skala
prioritas jika ingin memperbaiki produksi perikanan yang besar potensi tetapi
miskin produksi itu.
Di sektor perikanan tangkap, menumpuknya
kapal tuna longline di Pelabuhan Benoa, Bali, membuktikan armada perikanan
kesulitan mendapatkan ikan. Biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan
penjualan ikan tangkapan. Pengusaha kapal tuna memutuskan memarkir kapal karena
tangkapan terus menurun.
Seperti dilaporkan Asosiasi Tuna Longline
Indonesia, tangkapan tuna sekitar 950 kapal longline pada 2009 mencapai 32.504
ton. Jumlah ini turun tajam pada 2010, di mana produksinya kurang dari separuh
capaian tahun sebelumnya.
Di harian ini pun sudah diulas panjang lebar
kondisi sentra perikanan tangkap utama di ranah bahari. Produksi ikan di
Pelabuhan Muncar, Jawa Timur, dan Bagan Siapiapi, Riau, turun drastis. Tanpa
disadari, eksploitasi besar-besaran perikanan tangkap menyebabkan stok ikan di
sebagian besar wilayah penangkapan mengalami overfishing dan fully exploited.
Kondisi ini dipacu pula penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing serta kerusakan
ekosistem utama di laut seperti terumbu karang dan padang lamun.
Di sektor budidaya, para pembudidaya harus
menelan pil pahit akibat pencemaran laut yang digunakan sebagai bahan baku
utama tambak dan hatchery, tempat penetasan, serta kerusakan lingkungan akibat
program intensifikasi. Udang vanamei yang diimpor dan diyakini tahan segala
serangan penyakit ternyata jadi sumber malapetaka karena ketergantungan pada
pakan konsentrat, yang telah menyebabkan lingkungan tambak tercemar.
Pada awalnya usaha budidaya udang vanamei
memang menguntungkan. Setiap hektar tambak mampu memproduksi 5-6 ton, dengan
kepadatan rata-rata 100-150 ekor per meter persegi. Pembudidaya tradisional yang
semula menekuni udang windu (Penaeus monodon) pun banyak yang beralih dan
terpikat vanamei. Kenikmatan sesaat itu tidak berlangsung lama sebab setelah 4
kali panen, produksi terus turun hingga di bawah 1 ton per musim tanam selama 4
bulan akibat serangan virus dan penyakit.
Pengalaman membudidayakan rumput laut
Gracilaria spp dan Eucheuma spp di perairan Desa Gelung dan Gundih, Kecamatan
Panurakan, Situbondo, dan Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Jawa Timur, tidak
sesuai harapan. Kelompok nelayan yang dipilih untuk program pemberdayaan dengan
modal Rp 750.000 untuk membeli bambu, tali plastik (sistem ancak), dan bibit
rumput laut 1,5 kuintal hanya menghasilkan 4,5 kuintal dan dijual Rp 1.500/kg
basah. Produksi rumput laut per hektar yang dalam promosinya bisa menghasilkan
30-40 ton dalam waktu relatif singkat, selama 45 hari, ternyata sulit
dibuktikan.
Demikian pula kondisi sentra penghasil rumput
laut di Kabupaten Pacitan, tepatnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Donomulyo,
yang pernah mendapat penghargaan nasional. Saat ini kondisinya terpuruk.
Padahal, pemerintah memberikan fasilitas gudang, tempat menjemur rumput laut,
dan menara air bersih.
Usaha budidaya marine culture bersama
kelompok nelayan di perairan Situbondo tak semulus yang dibayangkan. Ikan kerapu
sebanyak 2.000 ekor setelah 1 tahun baru bisa mencapai berat 500 gram/ekor.
Selain itu, kualitas air di Selat Madura yang buruk menyebabkan bentuk ikan
tidak wajar alias cacat (bengkok) sehingga dibeli murah di bawah harga pasar
oleh pembeli.
Perairan Situbondo yang menjadi daya tarik
investasi marine culture tak dikelola dengan baik. Seorang pengusaha budidaya
kerapu di perairan Asembagus kecewa setelah 500.000 bibit kerapu yang
dibudidayakan dalam 200 keramba mati karena minim informasi soal kualitas air.
Padahal, tidak jauh dari lokasi ada Balai Budidaya Ikan Laut milik Kementerian
Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perikanan Jawa Timur.
Pemerintah pun belum melirik potensi
perikanan di pulau kecil. Hasil usaha kelompok nelayan Mina Gili Makmur, NTB, kendati
belum maksimal, sudah menunjukkan prospek.
Pulau-pulau kecil sejatinya lebih berpeluang
sukses sebagai kegiatan budidaya mengingat tingkat pencemarannya relatif masih
kecil. Budidaya udang, bandeng, dan rumput laut dengan pola polikultur
produksinya lebih sehat karena dibudidayakan secara tradisional. Demikian pula
budidaya ikan air tawar seperti sidat, gurami, lele, dan nila untuk pulau-pulau
kecil yang memiliki sumber air bersih.
Revitalisasi Birokrasi
Apa yang diungkap Rokhmin Dahuri memberikan gambaran
betapa besar potensi perikanan di negara kepulauan ini. Akan tetapi, harus
diakui, selama ini sektor perikanan salah urus.
Orientasi intensifikasi produksi telah
membuat kita terlena dan menikmatinya sesaat. Besarnya potensi jadi malapetaka
yang memukul sektor perikanan dari hilir ke hulu. Kebijakan memacu produksi
telah menjebak kita masuk perangkap liberalisme sehingga lumbung ikan dan garam
serta hasil laut lainnya terpaksa harus dimpor.
Kementerian Kelautan dan Perikanan harus
merevitalisasi birokrasi serta merevisi programnya yang tidak relevan dan tidak
berorientasi kepada masyarakat. Revitalisasi birokrasi di antaranya memangkas
sejumlah direktorat dan badan yang tidak relevan. Anggaran yang selama ini
sebagian besar untuk membiayai birokrasi dialihkan untuk usaha masyarakat
pesisir.
Pembangunan fisik, seperti membangun
pelabuhan di perairan yang sumber ikannya terbatas, supaya dihentikan. Modal
kerja untuk nelayan dan pembudidaya, yang selama ini dititipkan bank, bagaimana
caranya bisa langsung diterima kelompok usaha nelayan/petambak atau koperasi
mina dengan aman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar