Sabtu, 31 Desember 2011

Puisi Getir dari Titik Nadir


Puisi Getir dari Titik Nadir
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011


Ketika dilantik menjadi pembesar, sang reformis membuat ikrar: ”Di negeri ini kami berniat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan untuk semua.”
Karena ikrar sepanjang ini di mana-mana diucapkan, dia lama-kelamaan kelelahan. Ada usul dihapus saja kata ”di negeri ini” berhubung dia toh bukan pembesar di tempat lain, melainkan di sini. Usul ini dia setujui.

Ada pendapat supaya kata ”kami” tidak diucapkan lagi, bisa-bisa dianggap menyombongkan diri. Pendapat ini pun dia akui. Ada pula orang yang mengingatkan bahwa kata ”berniat” sudah tak lagi tepat. Ini berlaku sebelum dia diangkat. Jadi, sekarang dia sudah beraksi, mewujudkan apa-apa yang dikehendaki. Dia rasa memang begitulah seharusnya, maka kata ”berniat” dicoreng saja.

Mengingat roda pemerintahan berjalan lamban, kata ”mewujudkan” mengundang kegelisahan. Rakyat menjadi semakin tak sabar, cepat marah, dan bertindak kasar. Untuk mengelakkan semua ini, kata ”mewujudkan” tak perlu diulang lagi. Dia sependapat dengan ide cemerlang ini.

Setelah berjalan beberapa waktu, ada bisikan bahwa kata-kata ”keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan” merupakan pleonasme yang sarat dengan harapan yang bukan-bukan. Kalau semua itu suatu keniscayaan, tidak perlu kiranya digembar-gemborkan. Takut disebut demagog belaka, itu pun tidak lagi dia ucapkan.

Jadi, dari rangkaian ikrar begitu panjang, tinggal kata ”untuk semua”. Apa yang perlu ia ulang-ulang? Bukankah kedua kata tersebut mengandung tanda tanya: semua yang mana? Semua dari kelompok siapa? Siapa dari parpol apa? Dari daerah pemilihan mana? Kan, tidak semua yang dulu memilih dia? Maka agar rakyat tidak curiga, pemilih tidak kecewa dan tidak terus teringat menagih janji, kata ”untuk semua” tak usah dibicarakan lagi.

Tanpa Ikrar

Sekarang di mana pun dia berada, ikrar yang dulu dia diamkan. Lagi pula untuk apa direkayasa? Rata-rata orang Indonesia adalah makhluk pelupa. Kini dia cukup mengumbar senyum ceria, menyebar santun dan pesona. Protokol kenegaraan toh membuat dia bagai raja yang tak tercela.

Jadi ke titik nadir dia mundur kembali, untuk nyepi menenteramkan diri. Dia merasa berhak melakukan itu karena toh sudah berupaya sepenuh hati.

Rakyat yang berjejal di titik nadir sejak dahulu, sudah terbiasa menunggu. Maka sungguh beruntung jika pembesar bersedia turun gunung. Wis piro-piro, jika sang pembesar bersedia datang. Pawang hujan diminta menolak hujan, sedangkan para pelajar, dengan bendera di tangan, dikerahkan berjejer di sepanjang jalan.

Kegiatan lain kecuali penyambutan segera dilarang. Spanduk pun sudah siap terpasang: selamat datang pembesar sayang! Ini bukan spanduk usang yang baru dikeluarkan dari gudang. Ini spanduk baru dibuat dengan dukungan proyek setempat. Walaupun kemakmuran dan kesejahteraan masih jauh panggang dari api, wajah rakyat diminta tetap berseri. Sampai kapan hidup bersandiwara?

Senandung puitis tentang kegagalan reformasi perlu dicermati secara analitis karena secara alami ia merupakan ouverture dari nada ganas bergejolak keras. Aneka kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukan lagi indikasi reformasi bakal gagal, melainkan sudah merupakan kegagalan itu.

Analisis melihat kegagalan reformasi terkandung dalam kekeliruan awalnya. Kekeliruan, tepatnya dosa awal ini, berupa pretensi sang reformis berkeadaan lain daripada diri yang sebenarnya. Adalah suatu privilese untuk berusaha menjadi apa saja yang kita inginkan, tetapi adalah keliru berpretensi menjadi apa yang sebenarnya bukan kesejatian kita dan menipu diri sendiri dengan membiasakan hidup dengan asas palsu mengenai diri kita. 

Jika perilaku biasa diri seseorang, dari suatu lembaga, adalah palsu, langkah selanjutnya adalah demoralisasi. Lalu menyusul kemunduran sebab tidak mungkin seseorang membeberkan kepalsuan dirinya tanpa kehilangan self-respect.

Asas Palsu

Berarti suatu usaha atau lembaga atau usaha yang dilembagakan, yang berlagak memberi atau menuntut apa yang di luar kemampuan, adalah palsu dan demoralized. Walaupun begitu, asas kelancungan ini masih terus ditemukan di sepanjang perjalanan reformasi, dalam keseluruhan rencana dan struktur lembaganya.

Ada politikus yang tetap saja berpretensi reformis, padahal sebenarnya bukan. Mentalnya murni Orde Baru, bahkan ada karakter Orde Lama. Orang-orang seperti ini membuat kebijakan ala prareformasi yang mereka cela habis-habisan.

Mereka bukan tidak sadar karena yang mereka maksudkan dengan reformasi adalah sebenarnya ”gantian menjarah” kekayaan Ibu Pertiwi. Maka, di mana-mana terjadi korupsi. Merebak secara sistematik dan terencana. Tidak hanya di kalangan pejabat teknis-administratif, tetapi juga di lingkungan pembuat keputusan publik selaku wakil rakyat. Jika ada yang tertangkap, parpol induknya bukan memecat, melainkan membela mati-matian.

Maka terjadilah hal yang krusial: parlemen yang bermartabat ditunggangi anggota-anggota yang tidak bermartabat. Namun, rakyat tetap dituntut membahasakan mereka sebagai ”Yang terhormat Saudara...”. Mana disiplin parpol yang berpotensi mendukung pelaksanaan hasrat kedemokrasian reformasi?

Jadi, kesimpulan analisis yang tak terelakkan adalah bahwa para reformis supaya berhenti berpretensi menjadi orang yang bukan dirinya. Cintailah kebenaran. Be honest to and about yourself!

Inilah kiranya mengapa Leonardo da Vinci berkata: ”Chi non puo quel che voul, quel che puo voglia”—Siapa yang tak sanggup meraih apa yang dia inginkan, sebaiknya menginginkan apa yang dia sanggupi. Maxim Leonardo inilah yang seharusnya memandu reformasi sejak awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar