Membakar
Diri
Fidelis Regi Waton, PAMONG ROHANI KMKI BERLIN;
BELAJAR
FILSAFAT DI HUMBOLDT UNIVERSITAET ZU BERLIN, JERMAN
Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
” Membakar diri kini telah menoreh sejarah
perlawanan politik Indonesia melalui aksi tragis Sondang Hutagalung.
Biksu Vietnam, Thich Quang Duc, menggemparkan
dunia dengan tindakan membakar diri (self-immolation) tahun 1963. Ia memprotes
rezim komunis yang merepresi aktivitas keagamaan. Sejak itu pembakaran diri
menular dan diadopsi sebagai bentuk perlawanan politik.
Karena tidak setuju dengan perang Vietnam,
empat orang membakar diri di AS (1965). Jan Palach dari Ceko membakar diri
(1969) sebagai reaksi atas invasi Uni Soviet yang menamatkan Prague Spring.
Lantaran muak dengan pemerintahan Jerman
Timur, pendeta Oskar Bruesewitz (1976) melakukan aksi serupa. Buruh migran asal
Turki, Semra Ertan (1982), membakar diri di Hamburg sebagai protes terhadap
maraknya kekerasan anti-orang asing di Jerman.
Aksi serupa Mohammed Bouazizi dari Tunisia
menyulut bara reformasi dan revolusi di dunia Arab (2010). Di Tibet, 10 warga
membakar diri (2011) melawan impresi politik China.
Pembakaran diri lazimnya lahir dari
kekecewaan dan frustrasi terhadap situasi sosial dan politik. Aksi perlawanan
politik tanpa senjata ini mengandaikan kebulatan tekad pengorbanan diri.
Sasaran tindakan heroik eksentrik ini adalah membangkitkan kesadaran,
merangsang perhatian, reaksi, dan simpati publik.
Bunuh Diri
Pembakaran diri yang berujung kematian
dikategorikan sebagai bunuh diri (suicide). Secara sosiologis, Emile Durkheim
membedakannya menjadi bunuh diri egoistis, fatalistis, anomis, dan altruistis.
Bunuh diri egoistis adalah pelarian dari
depresi, putus asa, kekecewaan. Orang merasa diri hampa dan mengisolasikan
diri. Yang dilihat hanyalah pintu integrasi yang tertutup rapat dan fokus pada
dirinya yang kalah, tidak lagi kompatibel dengan tuntutan lingkungan dan zaman.
Bunuh diri fatalistis berkaitan dengan
kontrol dan reglemen, norma, serta aturan sosial yang ekstrem. Kebebasan
individu dirampok. Masyarakat jadi penjara raksasa tanpa jalan keluar. Lingkup
sosial yang asimetris dan kacau-balau (chaos) juga menyebabkan bunuh diri
(anomic suicide). Kebutuhan pribadi tidak pernah lagi dipenuhi. Kompetisi
sosial sangat ketat, kotor, najis, dan tidak manusiawi sehingga orang kehilangan
hasrat hidup.
Menurut Durkheim, bunuh diri altruistis
mendapat legitimasi sosial dan transendental (dalam agama Panteistis). Ikatan
sosial dan kesadaran kolektif jadi tiran atas individu karena hidup pribadi
nyaris tidak dihargai. Secara eksplisit model kematian ini ditagih masyarakat,
misalnya tradisi Sati di India yang menuntut istri ikuti kematian suaminya.
Durkheim memetakan tiga jenis bunuh diri
altruistis: ”obligatoris” (orang wajib membunuh diri karena tekanan sosial
sangat kuat), ”fakultatif” (orang hendaknya membunuh diri; bunuh diri tidak
ditagih, tetapi dihargai), dan ”mistis” (orang boleh membunuh diri).
Hinduisme
dan Jainisme mempropagandakan bunuh diri mistis. Eksistensi individu tak diakui
dan hidup duniawi dianggap penderitaan. Kematian berarti pembebasan.
Etika sosial dan religius di dunia Barat,
kekristenan, dan Islam melarang bunuh diri. Menghindari larangan bunuh diri
ini, kaum fundamentalis Islam melihat aksi bom bunuh diri sebagai tindakan
kemartiran.
Menghina Kehidupan
Bunuh diri merupakan penghinaan makna, arti
hidup, dan individu. Pada abad pertengahan, para pelaku bunuh diri
diekskomunikasikan dari ikatan sosial dan agama. Tindakan ini dianggap
menajiskan Bumi dan Yang Ilahi. Jenazah mereka tak boleh dimakamkan, tetapi
dipajang di tempat umum sebagai awasan (perventif). Setelah sekularisasi,
banyak negara mempertahankan larangan bunuh diri secara hukum hingga abad XX.
Meskipun kini tindakan bunuh diri secara umum
masih tabu dan dikategorikan sebagai kejahatan—karena merampas hak untuk
hidup—bunuh diri tidak lagi dipandang hitam-putih.
Dalam hal ini, pembakaran diri mahasiswa dan
aktivis Sondang Hutagalung pun harus dilihat bukan sekadar aksi eksentrik yang
konyol. Pengorbanan Sondang adalah peringatan serius bagi rezim pasca-Reformasi.
Gaung reformasi yang berawal dari dunia kampus kini nyaris raib. Tagihan
reformasi politik, sosial, dan budaya belum diejawantahkan secara konsekuen.
Gejala ”politik verdrossenheit"
(kesuraman, kemandekan politik) semakin merebak. Kita perlu dijagakan kembali
agar kritis dan korektif memantau roda politik biarpun dikendalikan oleh
pemerintahan demokratis.
Kata Lenin: ”Trust is good, control is
better” (kepercayaan itu baik, tetapi kontrol lebih baik). ”Kebahagiaan
politik”—menurut Montesquieu—”baru diketahui jika ia sudah berakhir”.
Wahai Sondang, saudaraku sebangsa dan setanah
air: ”Requiescat in pace!” (Beristirahatlah dalam damai!). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar