Konflik
Bima akibat Komunikasi Politik Macet
Honest Dody Molasy, KANDIDAT DOKTOR DI SWINBURNE UNIVERSITY OF
TECHNOLOGY, AUSTRALIA; SEDANG MELAKUKAN PENELITIAN DI BIMA, NTB
Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
Konflik antara masyarakat dan
pemerintah tampaknya semakin memanas di pengujung tahun 2011 ini. Baru saja
kita dihebohkan dengan konflik Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, Sabtu pagi
(24/12) di Bima, Nusa Tenggara Barat, meledak bentrokan antara masyarakat dan
polisi.
Data jumlah korban pun simpang siur, versi pemerintah sampai Sabtu siang, setidaknya ada dua orang dinyatakan tewas tertembus peluru polisi, sementara versi masyarakat ada 12 korban tewas yang semuanya adalah warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima.Selain itu,belasan korban dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas di Kabupaten Bima. Kantor Polsek Lambu dan sejumlah kantor pemerintahan juga ikut dirusak massa sebagai aksi balas dendam terhadap aksi polisi yang melakukan penembakan.
Konflik yang terjadi di Bima ini sebenarnya adalah satu dari sekian banyak kasus pertambangan di Kabupaten Bima. Konflik serupa juga terjadi di pertambangan pasir besi di Kecamatan Wera dan Kecamatan Soromandi, tambang emas di Kecamatan Prado, bahkan di Kota Bima juga terjadi penolakan pertambangan marmer.Meledaknya konflik pertambangan emas di Kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu ini dikhawatirkan akan memunculkan aksi serupa di daerah-daerah rawan konflik lainnya. Konflik ini juga cukup unik.
Pertama karena terjadi di kantong pendukung bupati terpilih Ferry Zulkarnain ST. Di Kecamatan Lambu misalnya, Bupati Ferry mendapat dukungan lebih dari 70% pada Pilkada 2009 lalu. Belum genap dua tahun pemerintahan Bupati Ferry, warga Kecamatan Lambu menentang kebijakan bupati terpilih. Kedua,dalam sejarah Kesultanan Bima sejak pemerintahan sultan pertama Abdul Kahir (1621), sampai sultan terakhir Sultan Muhammad Shalahudin (1951) penduduk kawasan timur Bima ini adalah pendukung setia kesultanan. Kini saat cucu Sultan Shalahudin mengambil alih kekuasaan sebagai Bupati Bima, muncul aksi kekerasan yang berujung pada bentrok berdarah antara masyarakat dan aparat keamanan.
Kenapa Terjadi?
Konflik ini sebenarnya muncul sejak awal 2011 lalu, dipicu oleh kegiatan eksplorasi tambang yang dilakukan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di sejumlah titik di tiga kecamatan di Kabupaten Bima, yaitu Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu. Ketiga kecamatan ini terletak di areal perbukitan di ujung timur Pulau Sumbawa, berbatasandenganProvinsiNusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan eksplorasi ini mengganggu aktivitas masyarakat setempat, yang sebagian besar berprofesi sebagai peternak dan petani bawang.
Kegiatan eksplorasi yang dilakukan PT SMN ini didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 188.45/357 /004/2010 yang intinya memberikan penyesuaian izin usaha pertambangan eksplorasi kepada PT MSN. Munculnya SK Bupati yang kemudian dikenal dengan sebutan SK 188 ini menimbulkan amarah masyarakat karena masyarakat tidak pernah diajak bicara tentang persoalan pertambangan ini.Sejumlah kepala desa juga mengaku tidak tahu tentang munculnya SK 188 ini, bahkan DPRD juga tidak diajak bicara soal penerbitan SK pertambangan ini.
Di sinilah kemudian muncul gerakan penolakan pertambangan emas di Bima Timur ini. Beberapa kali masyarakat menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Bupati Bima, Ferry Zulkarnain ST,tetapi pertemuan itu belum juga terwujud. Kejengkelan masyarakat kemudian dilampiaskan dengan membakar Kantor Kecamatan Lambu pada 10 Februari 2011 lalu. Setidaknya ada lima kekhawatiran masyarakat terhadap kegiatan pertambangan emas di wilayah mereka. Pertama, proses pertambangan dikhawatirkan akan merusak ladang dan areal penggembalaan hewan ternak.
Kedua, lokasi pertambangan berdasarkan peta dalam lampiran SK 188 memasukkan juga areal hutan lindung. Ketiga, lokasi pertambangan juga memasukkan areal permukiman warga.Keempat,di dalam areal pertambangan juga terdapat sejumlah tempat keramat yang sangat dihormati secara adat oleh warga setempat. Kelima, pertambangan juga dikhawatirkan akan merusak mata air dan satu-satunya sungai yang mengairi ladang-ladang masyarakat.
Komunikasi Politik yang Tidak Jalan
Tampaknya, pecahnya konflik antara masyarakat dan pemerintah ini sebagai akibat dari macetnya komunikasi politik antara masyarakat dan Bupati. Sejak meletusnya kasus tambang di ujung timur Pulau Sumbawa ini, belum pernah dilakukan komunikasi antara masyarakat dan Bupati Bima. Masing-masing mengklaim dirinya paling benar bersandar pada alasan dan argumentasi sendiri-sendiri.
Pihak pemerintah mengklaim bahwa tambang akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapat daerah serta diyakini akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Sementara masyarakat merasa dirinya telah ditipu pemerintah daerah karena dalam proses penerbitan SK 188, rakyat sama sekali tidak pernah dilibatkan.DPRD pun tidak berhasil menjembatani aspirasi rakyat. Meskipun konflik sudah berjalan hampir setahun, belum ada pernyataan resmi dari DPRD terkait tuntutan masyarakat ini.
Tampaknya perlu mediator untuk menjembatani pertikaian antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Bima.Setidaknya ada dua alasan kenapa mediator ini diperlukan. Pertama, saat ini terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan alat-alat pemerintah. Apalagi polisi telah melakukan gerakan represif terhadap aksi demonstrasi masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Kedua, mediator diperlukan untuk menciptakan suasana yang kondusif agar terjadi dialog antara masyarakat dan Bupati Bima.
Dialog ini adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan konflik pertambangan ini dengan damai.Pendekatan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan dengan tuntas, bahkan sebaliknya akan memunculkan persoalan baru. Sejumlah tokoh ulama, tokoh adat, dan tokoh sepuh keluarga Istana Bima yang tampaknya masih dihormati dan disegani masyarakat perlu untuk tampil ke depan menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik yang cukup rumit ini.
Munculnya tokoh-tokoh ini diharapkan mampu menata kembali masyarakat yang karut-marut akibat konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pemerintah daerah. Sementara proses dialog dan negosiasi sedang dilakukan, polisi dan aparat keamanan diharapkan untuk menahan diri, tidak melakukan kegiatan yang memancing emosi masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar