Pabrik
Semen Vs Bencana
Richo Andi Wibowo, DOSEN ILMU HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : SUARA MERDEKA, 26 Desember 2011
TIDAK bisa membangun pabrik semen
di Pati, PT Semen Gresik berniat mengalihkan pembangunan pabriknya ke Rembang.
Pemkab bergegas menyambut positif gagasan tersebut (SM, 04/12/11). Penting
mengulas rencana pendirian (kembali) pabrik semen mengingat hingga saat ini
Mahkamah Agung belum memberikan putusan apa pun atas gugatan uji materi Perda
Provinsi Jateng Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Padahal perda tersebut merupakan payung hukum atas cetak biru boleh tidaknya suatu daerah digunakan sebagai kawasan pertambangan. Sekadar menyegarkan memori pembaca, perda tersebut digugat awal 2011 karena dalam pembentukannya dianggap tidak mendasarkan pada kajian lingkungan hidup, hasil konsultasi publik, serta mengabaikan sejumlah peraturan seperti UU tentang Penataan Ruang dan UU mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Rencana pembangunan pabrik semen akan selalu menghadirkan posisi yang dilematis pada pemerintah daerah. Di satu sisi, pemda mengharapkan bahwa dengan adanya investasi langsung maka akan terjadi efek berganda (multiplier effect) yang dapat cepat menggerakkan perekonomian daerah.
Di sisi lain, pendirian pabrik semen merupakan awal dari aktivitas pertambangan; aktivitas yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan dapat mengakibatkan bencana. Akibatnya, banyak masyarakat menolak. Pertanyaannya adalah bagaimana pemda sebaiknya bersikap atas rencana pembangunan pabrik itu?
Pertemuan pemimpin dunia pada forum Disaster Risk Reduction- Hyogo Framework for Action menghasilkan keputusan penting yang mengingatkan masyarakat internasional bahwa bencana dapat memorakporandakan hasil dari pembangunan, namun di sisi lain pembangunan juga dapat memproduksi terjadinya bencana (Jonatan Lassa, 2006).
Padahal perda tersebut merupakan payung hukum atas cetak biru boleh tidaknya suatu daerah digunakan sebagai kawasan pertambangan. Sekadar menyegarkan memori pembaca, perda tersebut digugat awal 2011 karena dalam pembentukannya dianggap tidak mendasarkan pada kajian lingkungan hidup, hasil konsultasi publik, serta mengabaikan sejumlah peraturan seperti UU tentang Penataan Ruang dan UU mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Rencana pembangunan pabrik semen akan selalu menghadirkan posisi yang dilematis pada pemerintah daerah. Di satu sisi, pemda mengharapkan bahwa dengan adanya investasi langsung maka akan terjadi efek berganda (multiplier effect) yang dapat cepat menggerakkan perekonomian daerah.
Di sisi lain, pendirian pabrik semen merupakan awal dari aktivitas pertambangan; aktivitas yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan dan dapat mengakibatkan bencana. Akibatnya, banyak masyarakat menolak. Pertanyaannya adalah bagaimana pemda sebaiknya bersikap atas rencana pembangunan pabrik itu?
Pertemuan pemimpin dunia pada forum Disaster Risk Reduction- Hyogo Framework for Action menghasilkan keputusan penting yang mengingatkan masyarakat internasional bahwa bencana dapat memorakporandakan hasil dari pembangunan, namun di sisi lain pembangunan juga dapat memproduksi terjadinya bencana (Jonatan Lassa, 2006).
Jadi dapat disarikan suatu pedoman untuk
pemerintah bahwa kebijakan pembangunan yang benar adalah pembangunan yang dapat
menekan risiko bencana. Sesungguhnya, pemerintah tidak perlu khawatir untuk
mengambil sikap ini karena kebijakan tersebut justru akan memberikan
kemanfaatan yang optimal.
Biasanya, guna mengundang investasi masuk ke wilayahnya, pemerintah menurunkan kualitas peraturan, terutama yang terkait dengan penurunan pajak dan penurunan syarat menjaga kelestarian lingungan. Namun, aturan menjaga kualitas lingkunganlah yang kerap dipilih. Hal ini karena ajak dianggap diperlukan guna pemasukan kas pemerintah.
Format Masa Depan
Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Oates dan Schwab membuktikan bahwa daerah-daerah yang menurunkan aturan lingkungan guna menarik investasi justru akan mengalami kerugian yang lebih besar daripada keuntungan investasi yang didapatkan. Hal ini karena kerusakan pada lingkungan hidup akan menimbulkan biaya yang besar yang bersifat tidak terduga sebelumnya.
Kerusakan lingkungan yang terjadi pun, tidak dapat segera pulih. Akibatnya hal itu dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Padahal aspek kesehatan akan mempengaruhi produktivitas kerja masyarakat, yang akhirnya dapat mempengaruhi perekonomian wilayah tersebut (Journal of Public Economics, 1988).
Biasanya, guna mengundang investasi masuk ke wilayahnya, pemerintah menurunkan kualitas peraturan, terutama yang terkait dengan penurunan pajak dan penurunan syarat menjaga kelestarian lingungan. Namun, aturan menjaga kualitas lingkunganlah yang kerap dipilih. Hal ini karena ajak dianggap diperlukan guna pemasukan kas pemerintah.
Format Masa Depan
Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Oates dan Schwab membuktikan bahwa daerah-daerah yang menurunkan aturan lingkungan guna menarik investasi justru akan mengalami kerugian yang lebih besar daripada keuntungan investasi yang didapatkan. Hal ini karena kerusakan pada lingkungan hidup akan menimbulkan biaya yang besar yang bersifat tidak terduga sebelumnya.
Kerusakan lingkungan yang terjadi pun, tidak dapat segera pulih. Akibatnya hal itu dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Padahal aspek kesehatan akan mempengaruhi produktivitas kerja masyarakat, yang akhirnya dapat mempengaruhi perekonomian wilayah tersebut (Journal of Public Economics, 1988).
Berdasarkan hal itu maka pemda terkait perlu
menelaah secara mendalam atas kebijakan pembangunan yang akan dipilih, termasuk
untuk pro atau kontra atas rencana pendirian pabrik semen. Pilihan kebijakan
yang diambil haruslah mendasarkan pada kajian lingkungan hidup yang bersifat
objektif serta perlu memperhatikan aspirasi dari masyarakat.
Perlu diingat bahwa secara filosofis masyarakat tunduk pada aturan hukum karena substansi yang terdapat dalam aturan tersebut berasal dari perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat. (Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Dengan demikian, jika pemerintah melalaikan poin-poin itu maka kebijakannya tidak akan mendapat legitimasi dari masyarakat.
Perlu diingat bahwa secara filosofis masyarakat tunduk pada aturan hukum karena substansi yang terdapat dalam aturan tersebut berasal dari perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat. (Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Dengan demikian, jika pemerintah melalaikan poin-poin itu maka kebijakannya tidak akan mendapat legitimasi dari masyarakat.
Akibatnya, pemerintah hanya akan menghadapi
permasalahan yang sama: kebijakan yang diambil akan kembali digugat oleh
masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar