Sabtu, 24 Desember 2011

Olga Ngesot


Olga Ngesot
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 24 Desember 2011




Olga Syahputra, 38,pembawa acara juga pelawak, kena teguran telak dari Komisi Penyiaran Indonesia( KPI) karena ketika menampilkan diri sebagai Suster Ngesot mengeluarkan alasan: gara-gara diperkosa sopir angkot.

Dia dianggap melecehkan korban perkosaan. Ini juga bukan pertama kali teguran yang diterima. Sebelumnya grup band Five Minutes juga protes karena namanya dilecehkan, atau Yuni Shara dan Luna Maya mengeluhkan sikapnya. Teguran KPI adalah peringatan dini, yang agaknya harus sering dilakukan.

Karena pertelevisian kita makin tak terkontrol, terutama untuk siaran live. Bukan hanya cerocosan spontan yang kadang menyebutkan alat kelamin, melainkan yang terutama tampilan gaya banci. Bahkan kalau Olga banci tulen lahir batin, gaya itu kurang pas untuk anak-anak.

Bukan Bahasa Narasi

Posisi Olga sebagai presenter sebenarnya menempatkan sebagai narator, sebagai pembawa narasi. Memberitahukan, mengantarkan keberadaan acara, bintang tamu, atau narasumber, dan atau juga topik permasalahan episode tertentu. Namun dalam hal ini Olga memberi komentar dengan celetukan. Yang tidak apa-apa, memang begitulah gaya bicara gokil-gokilan, yang ngetren di televisi.

Kadang juga noyor— memperolok, atau membuat lucu lawan bicara. Spontanitas inilah yang ketika bersama Luna Maya yang tengah menceritakan gempa di Chili, disambar dengan ucapan “Chili?  Sambal kali.” Atau komunitas Kaskus, disambar dengan guyonan “Kakus, WC kali..” Atau mempersoalkan kejandaan Yuni Shara. Materi tentang gempa, materi komunitas yang berkualitas, materi keberadaan seorang perempuan, tak menimbulkan kepekaan akan suatu yang lebih besar dari sekadar “agar ditertawakan”.

Atau berkaca pada model lama di mana dengan merendahkan orang lain, dengan mengolok-olok, dia bisa mengangkat dirinya. Sesuatu yang keliru. Kekeliruan besar mana kala masyarakat— yang menonton atau mendengar kemudian— sedang prihatin akan tema aktual tersebut. Dalam hal terakhir adalah kasus perkosaan yang menimpa seorang ibu di angkot. Wajar kalau terjadi penolakan banyolan model begini.

Jangankan kata Olga, Gubernur Foke pun kena demo ketika menyarankan agar para gadis tidak memakai rok mini. Kalaupun maksudnya setengah— atau sepenuh—memainkan humor, yang terasakan adalah humor kotor. Kegeraman pada pemerkosa menemukan sasaran yang memperolokannya. Olga bisa belajar banyak dari pembawa acara yang juga bagian dari pengisi acara yang keren dan tak kalah beken pada masanya. Kus Hendratmo, Kris Biantoro, Miing Bagito adalah pembawa acara,pengisi acara, juga ngebodor, yang sukses dan tidak melukai audience.

Kalau soal kritis bahkan untuk acara yang sedang dibawakan, barang kali Kris Biantoro dan Miing adalah biang kritik, baik secara langsung atau menikung. Penguasaan materi yang dibawakan, serta sudah barang tentu persiapan, merupakan modal dan pengalaman. Yang diperoleh dari bacaan, dari buku, dari berefleksi. Olga dalam kepenuhan job barangkali tak mempunyai waktu untuk itu.

Atau merasa tak perlu. Atau kalau dari teman seangkatan, Olga bisa belajar dari Indi Barends, Indra Bekti, atau yang juga bernama Olga, Olga Lydia. Ketiga nama sepantaran ini juga keren cool, menghibur, ramai bersapa, noyor, kritis, tapi tahu dan mampu membaca situasi.

Bukan Bahasa Verbal

Protes KPI kali ini mencerminkan kegelisahan masyarakat atas tampilan televisi yang selama ini menganggap sepi. Keberatan atas ucapan spontan sebenarnya merupakan bagian dari “kekerasan” yang merajalela. Pada tata krama FCC di Amerika Serikat—seposisi dengan KPI di sini—kekerasan yang harus dihindarkan oleh tayangan televisi adalah kekerasan verbal dan nonverbal.

Yang termasuk nonverbal adalah gaya yang disampaikan Olga secara kebanci-bancian. Karena efeknya dianggap kurang baik bagi anak-anak, terutama untuk anak-anak di bawah usia sembilan tahun. Dalam penelitian di Prancis, anak-anak di usia itu sangat rawan akan pengaruh—kecuali untuk anak yang jenius. Karena mereka belum bisa dengan jelas membedakan antara fiksi dan nonfiksi.

Itu pula sebabnya tokoh kartun digambarkan berjari empat—agar ada informasi pada anak-anak bahwa itu bukan tokoh nyata. Hal yang sama dengan tampilan banci— banci kaleng atau banci “Taman Lawang”, yang bagi anak-anak bisa diartikan sebagai mode, sebagai gaya, sebagai cara yang wajar. Saya kira KPI pernah mengeluarkan “pedoman” untuk tidak menampilkan peranan banci yang tak perlu. Komedian Srimulat seperti Tessy pun perlahan surut dan menghilang.

Saya juga tak berkeberatan kalau Olga seorang gay—apa hak saya berkeberatan?—namun jangan itu yang ditampilkan. Kecuali kalau memang memerankan karakter itu dalam sebuah film atau sinetron. Bergaya gay tidak menarik, juga tidak mendidik. Protes KPI sekaligus membuka catatan lama bahwa tampilan kekerasan nonverbal masih menjadi menu utama yang disadari atau tidak masih terjadi.

Misalnya menampilkan adegan satu frame, orang tua bertengkar di depan anaknya, adegan murid menghina dan memarahi guru di dalam kelas, atau juga anak sekolah entah dari mana dengan seragam mewah yang bermobil saling merendahkan untuk alasan tak jelas, sampai dengan tayangan yang menamai diri dari jenis reality show. Semua kebohongan, semua rekayasa, semua setting-an, seharusnya juga menjadi perhatian. Mana bagian yang memang diambil apa adanya— yang hampir tidak mungkin, dan mana yang diskenariokan, harus diberi penjelasan sepanjang pengadegan berlangsung.

Bukan pengaburan dan bersembunyi di balik sekadar teks: ”diambil dengan kamera tersembunyi.” Sampai dengan mendudukkan persoalan yang sebenarnya bahwa ada jenis yang lebih mendidik yang dinamai reality tv. Sehingga bukan hanya jenis sampah yang kita tiru—kalau mau meniru. Artinya peringatan kasus Olga Ngesot adalah peringatan dini, untuk terus menerus diulang, diperbarui, diteriakkan tanpa henti, sebab kita bukan sekadar membicarakan salah ucap, bukan sekadar ralat meralat, melainkan sedang berbicara mengenai pendidikan dalam arti luas untuk sebuah generasi.

Sudah saatnya kita kembali menggali tata nilai dan tata krama yang sudah dirumuskan dengan jenius nenek moyang kita dalam soal kepribadian nasional, soalnya membangun karakter. Sudah waktunya. Dan time is up, bro!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar