Ekonomi
Tumbuh Positif, tapi Masih Sub-Optimal
Sunarsip, EKONOM
KEPALA THE INDONESIA ECONOMIC INTELLIGENCE (IEI)
Sumber
: KORAN TEMPO, 28 Desember 2011
Tahun
2011 sebentar lagi berakhir. Kita mencatat ada banyak hal positif yang berhasil
ditorehkan perekonomian Indonesia. Kesimpulan tentang hal positif yang diraih
perekonomian kita sebenarnya tecermin dari perbaikan peringkat sovereign
Indonesia menjadi investment grade oleh Fitch pada 15 Desember 2011.
Fitch baru saja menaikkan peringkat Indonesia untuk foreign currency
long-term senior debt menjadi BBB- dengan outlook stable dari
peringkat sebelumnya (BB+/positive). Keputusan menaikkan peringkat ini
didasarkan pada peningkatan kinerja perekonomian, likuiditas eksternal yang
lebih kuat, rasio utang pemerintah (public debt) yang rendah dengan tren
menurun, serta kebijakan makro yang berhati-hati.
Penulis
sendiri memang mencatat beberapa hal positif yang pantas dihargai dengan investment
grade. Di tengah krisis ekonomi global (terutama di Eropa) selama 2011,
tiga pilar utama ketahanan ekonomi kita--perdagangan, keuangan, dan
fiskal--tetap menunjukkan kinerja yang solid. Hingga kuartal III 2011,
perekonomian Indonesia mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,5 persen, tertinggi di
Asia Tenggara. Diperkirakan, pada 2011 ini, perekonomian Indonesia tumbuh 6,5
persen, melampaui pencapaian tahun lalu sebesar 6,1 persen.
Kuatnya
kinerja pertumbuhan ini terutama ditopang oleh kuatnya basis permintaan
domestik dalam struktur perekonomian kita. Sehingga, dampak rambatan krisis
Eropa melalui jalur perdagangan (trade channel), yang telah kita rasakan
dalam beberapa bulan terakhir, tidak mempengaruhi kinerja perekonomian secara
keseluruhan. Terlebih lagi, meskipun ekspor (secara volume) kita mulai
terganggu, nilainya tetap meningkat karena ditopang oleh tingginya harga
komoditas.
Ketangguhan
stabilitas sistem keuangan Indonesia juga teruji di tengah persistensi gejolak
pasar keuangan global. Indeks Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia turun ke
1,68 (Oktober 2011) dari 1,75 pada awal 2011, atau jauh lebih rendah daripada
periode krisis 2008 sebesar 2,43. Ini tidak terlepas dari kemampuan perbankan
(termasuk lembaga keuangan nonbank) kita yang semakin baik dalam menyerap
risiko instabilitas.
Di
sisi fiskal, kita juga berhasil menjaga fiskal kita tetap aman, khususnya dalam
menjaga rasio utang pemerintah. Rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini
diperkirakan berada di level 25 persen, jauh menurun dibanding posisi pada 2005
yang sebesar 47 persen. Realisasi defisit fiskal 2011 juga diperkirakan lebih
rendah dibanding asumsi defisit APBN-P 2011 sebesar 2,1 persen. Perkiraan ini
didasari oleh lebih baiknya realisasi penerimaan pemerintah dibanding 6 tahun
terakhir serta relatif lebih terbatasnya belanja pemerintah. Hanya, rendahnya
defisit APBN 2011 ini juga menunjukkan masih berlanjutnya kelemahan pengelolaan
fiskal kita, terutama upaya untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas realisasi
belanja pemerintah.
Penyerapan
belanja kementerian/lembaga sampai Oktober 2011 tercatat masih rendah dan
diperkirakan, hingga akhir 2011, realisasi belanja pemerintah pusat hanya
mencapai 95 persen dari APBN-P. Sebaliknya, belanja subsidi justru meningkat
signifikan dan dipastikan melebihi pagu APBN-P 2011, terutama disebabkan oleh
tingginya harga minyak mentah dan volume konsumsi BBM bersubsidi yang di atas
target. Sementara itu, alokasi belanja modal yang lebih tinggi ternyata tidak
mendorong peningkatan realisasi investasi pemerintah, sehingga terjadi
penurunan kontribusi fiskal terhadap investasi pemerintah. Berdasarkan situasi
ini, kontribusi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi 2011 diperkirakan lebih
rendah.
Tanpa
bermaksud mencari-cari kekurangan, tampaknya kita juga tetap perlu kritis dalam
membaca kinerja positif perekonomian kita tersebut. Pertama, masih tanda tanya:
apakah kinerja positif ini akan berlanjut pada tahun depan. Faktanya, dampak
rembetan krisis Eropa kini telah mulai memberi pengaruh negatif terhadap
perekonomian Indonesia. Rupiah kini mulai tertekan, dan cadangan devisa kita
mengalami penurunan. Pada 7 Desember 2011, cadangan devisa turun menjadi US$
111 miliar dari posisi US$ 113,96 miliar pada Oktober 2011. Dalam tiga bulan terakhir
ini, cadangan devisa menurun sekitar US$ 13,5 miliar.
Dari
jalur perdagangan, akibat krisis Eropa, ekspor pada Oktober lalu memperlihatkan
penurunan cukup signifikan, yaitu sebesar -4,21 persen (month to month),
sedangkan impor tumbuh sebesar 3,18 persen (month to month). Kinerja
ekspor-impor ini menyebabkan surplus perdagangan mengalami penurunan signifikan
menjadi US$ 1,15 miliar dari US$ 2,37 miliar pada September 2011. Kinerja
ekspor ini sejatinya juga tertolong oleh masih tingginya harga-harga komoditas,
karena ekspor kita relatif masih didominasi oleh ekspor komoditas. Di samping
itu, relatif kuatnya ekspor Indonesia disebabkan oleh permintaan di Asia
(khususnya Cina dan India) yang masih tinggi, karena belum terlalu terpengaruh
krisis Eropa.
Pada
2012, Asia (khususnya Cina dan India) diperkirakan tak akan bisa lari dari
guncangan perekonomian global saat ini. Di Cina, tanda-tanda melemahnya
perekonomian telah sangat jelas, dan bukan hanya terlihat di sektor yang
bergantung pada pertumbuhan ekspornya. Laju ekspor Cina per Oktober 2011 hanya
naik 15,9 persen (year on year), yang merupakan angka terendah selama
dua tahun terakhir. Kondisi Cina ini cukup mengkhawatirkan, sehingga dunia pun
meminta Cina meningkatkan konsumsi domestik. Dan melemahnya perekonomian Cina
(termasuk India) diperkirakan akan melanjutkan penurunan kinerja ekspor
Indonesia.
Kedua,
Bank Indonesia (BI) telah membuat estimasi bahwa perekonomian Indonesia
berpotensi meraih pertumbuhan potensial sebesar 7,0 persen. Syaratnya, apabila
ditopang pertumbuhan investasi minimal 12 persen setiap tahun. Sayangnya,
berdasarkan pengalaman setidaknya dalam lima tahun terakhir, realisasi
pertumbuhan investasi Indonesia kurang dari 10 persen per tahun. Investasi
pemerintah, yang kita harapkan menjadi stimulator investasi nasional, justru
kinerjanya mengecewakan, seperti terlihat dari APBN 2011. Di sisi lain, APBN
kita justru memperbanyak pengeluaran yang tidak produktif (seperti subsidi
BBM), akibat kurang tegasnya kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dan
kenaikan harga BBM. Padahal pengurangan subsidi BBM diperlukan untuk
memperbesar investasi pemerintah.
Kita memang bersyukur atas kinerja
perekonomian selama 2011. Namun patut digarisbawahi bahwa kinerja tersebut
masih sensitif terhadap pengaruh eksternal dan sub-optimal. Karena itu, sangat
dibutuhkan terobosan penting untuk memperkuat fondasi perekonomian kita. Dalam
pengamatan penulis, BI telah memulai langkah-langkah yang mungkin tidak
populer, tetapi penting dilakukan untuk mengarahkan kebijakan moneter agar
lebih pro terhadap sektor riil. Tetapi itu belum cukup. Kita juga menunggu
terobosan penting di sisi kebijakan fiskal. Termasuk, kita juga memerlukan
terobosan kebijakan di sisi supply, khususnya yang terkait dengan
penyediaan infrastruktur dan pembenahan birokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar