Pak
Polisi, Tolong…
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber
: SINDO, 30 Desember 2011
Setiap Sabtu, lebih dari sepuluh
tahun belakangan, ketika sebagian besar pegawai dan karyawan di Jakarta dan
sekitarnya menikmati hari krida, saya harus keluar rumah menjalani satu rutin
yang tak terelakkan.
Sejak terutama tiga-empat tahun terakhir dalam rutin itu, saya melihat dan merasakan, bagaimana lalu lintas di hampir semua pinggiran Ibu Kota, kian bertambah sesak, sejak mulai pukul delapan pagi hingga lepas tengah hari. Dan ketika saya tiap Sabtu harus melewati perempatan pertama selepas perumahan di bilangan Selatan Jakarta–di mana saya menetap—dalam 15 hingga 25 menit karena antrean kemacetan, saya mulai bertanya- tanya, kenapa orang-orang kaya Jakarta dan sekitarnya mengisi hari krida itu dengan keluar rumah?
Kenapa kemacetan Sabtu bisa dua kali lebih merugikan ketimbang hari biasa? Dan mengapa justru di hari krida itu, lebih banyak petugas lalu lintas, terutama polisi, tinggal di rumah ketimbang mengatasi persoalan jalan raya ini, dan membiarkan “pak ogah”ganti mengurusnya dengan cara mendahulukan siapa saja yang memberinya persen atau tip?
Saya pun melewati beberapa pos polisi, kantor polsek atau polres yang selalu dihias oleh spanduk atau grafiti berisi slogan indah tentang kesigapan aparat keamanan dan ketertiban melayani masyarakat. Namun, apa yang dimaksudkan dengan “melayani” itu ketika saya melihat polisi membiarkan berbagai jenis kendaraan, terutama sepeda motor, dengan santainya melanggar rambu dan marka jalan,seperti dengan sengaja melecehkan petugas negara yang tengah berdiri di hadapan mereka dengan raut wajah tanpa bersalah.
Bahkan di banyak kesempatan, saya—dan tentu banyak dari kita—mengalami kerugian waktu, materil, dan emosional karena tidak dijalankannya aturan, adab, atau kesantunan berkendaraan di sekalangan pengendara.
Namun, bukannya kita melihat tindakan preventif dan kuratif yang tegas untuk itu, sebagai bagian dari law enforcement, malah kerap kita melihat mereka menggunakan kendaraan dinas (sepeda motor, mobil, atau bus) dengan cara yang juga kehilangan adab dan kesantunannya.
Tampaknya pada saat itu, sang petugas tengah lebih melayani (kepentingan) diri sendiri, ketimbang melayani kepentingan publik, walaupun seragam “pelayan masyarakat” (public servant) itu masih melekat kuat di badannya.
Tolong, Pak Polisi..
Seragam itu, Tuan Polisi, tentu Tuan sadari, dibeli dari uang (pajak) rakyat, dari cucuran peluh dan keringat masyarakat, yang dengan ikhlas diberikan agar kebutuhan mereka akan ketertiban dan keamanan terpenuhi. Bahkan hingga tiap liter bensin yang terpakai, biaya membuat satu strip tanda pangkat dan membeli sebuah peluit, termasuk mobil dan rumah mewah yang dimiliki para petinggi polisi, rela hati rakyat bekerja untuk membiayainya.
Namun, lihatlah mediamedia massa,statistik yang tertera, kenyataan mutakhir di kota- kota seperti Jakarta,dan kejadian yang terjadi di depan mata kita, ancaman dan rasa tidak aman semakin membiak dalam kehidupan individual hingga komunal kita.Kenapa para kriminal itu seperti semakin tidak jeri (takut) pada Tuan, bahkan sebagian terbukti bukan hanya melakukan pembiaran, melainkan malah justru terlibat dalam persekongkolan?
Belakangan hari, banyak bagian dari rakyat yang membentuk dan membangun bangsa ini justru –bukan hanya merasa, tapi jelas terbukti—dihina, direndahkan, disiksa, hingga diambil nyawanya, oleh tangan-tangan yang kuat karena makanan yang dibeli dari uang rakyat itu, dihumiliasi oleh sikap mental dan pikiran yang biaya pendidikannya dari rezeki dan jerih payah rakyat, terluka parah bahkan binasa oleh popor senjata atau peluru yang juga dibuat dan dibeli dengan biaya rakyat.
Semua yang seharusnya untuk melayani, melindungi,kini menjadi teror dan senjata mematikan, yang ancamannya bahkan tidak kalah dengan para kriminal atau teroris yang menakutkan, sebagaimana yang terjadi di Palu,Mesuji,Bima,dan banyak wilayah lainnya. Pak Polisi,tolonglah jangan lagi digunakan semua yang telah rakyat dan bangsa ini berikan dan percayakan penuh pada Pak Polisi untuk membela kepentingan yang bukan kepentingan rakyat.
Memahami Budaya
Sebagai aparatus utama dalam penyelenggaraan negara, alangkah bijaksana jika Tuan Polisi belajar memahami kami, rakyat, melalui cara hidup, adat, tradisi, atau kebudayaan kami. Tidak melalui doktrin, teori, atau pemahaman yang hierarkis, arogan, dan eksklusif sebagaimana selama ini.
Bagus sekali sistem rotasi kepemimpinan atau penugasan yang menempatkan seorang polisi di wilayah yang berbeda dengan asal-usul etniknya: orang Jawa di Papua,orang Papua di Bali, atau perwira Aceh bertugas di Nusa Tenggara. Tapi,mengapa pemahaman kebudayaan mereka tetap saja minim,dan penugasan atau rotasi di atas hanya menjadi semacam diseminasi nilai dan perilaku eksklusif polisi ke seluruh negeri?
Dalam pengalaman penulis, dibandingkan banyak lembaga kenegaraan maupun swasta lainnya, memang lembaga kepolisian, di tingkat apa pun, hampir tidak pernah terdengar meminta pertimbangan kebudayaan— dari para ahli maupun pelaku praksisnya—dalam menyusun kebijakan,program kerja,atau visi ke depannya. Namun, bisa jadi mereka memiliki mekanisme atau saluran tersendiri untuk mendapatkan itu.
Entah bagaimana. Yang menjadi ukuran akhirnya, adalah implementasi dari visi, kebijakan, dan program itu, dari cara bersikap dan berperilaku, Tuan Polisi.Cukuplah sudah apa yang telah terjadi, kekecewaan berdekade rakyat pada kekuatan satu ini. Tidaklah perlu kekecewaan itu memuncak, menjadi tekanan yang mereduksi habis wibawa Tuan Polisi—katakanlah ia sebaiknya didegradasi menjadi salah satu perangkat Kementerian Dalam Negeri—atau lebih tidak diinginkan lagi ketika rakyat umum menolak dan berseteru dengannya.
Rakyat adalah daulat itu sendiri, kekuatan (terbesar) itu sendiri, dan kepadanyalah semua kepentingan kita selaiknya mengacu dan menuju.Pak Polisi, saya kira Anda pasti setuju. Marilah hati, pikiran,dan jabat tangan kita bertemu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar