Kebudayaan
Bukan Kebinatangan
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber
: KORAN
TEMPO, 24
Desember 2011
Kebudayaan,
dengan segala tata nilai dan tata krama yang dinamis, merupakan ciri keberadaan
kita sebagai manusia, yang terbedakan dengan binatang. Meskipun sama-sama
mengalami kelahiran, perkawinan, dan kematian, manusia mampu menciptakan ritual
atas peristiwa itu. Menjadikannya sebagai peristiwa budaya, dan dengan demikian
mampu belajar dari pengalaman yang mendahului, dan karenanya menuju ke
stilisasi yang disebut peradaban. Binatang tak memiliki kemampuan budaya untuk
kreatif, sehingga tak mengenal pernikahan, dan bahkan cara kawinnya selalu
dengan model yang sama, doggy style. Gaya yang bisa dilakukan manusia di
samping gaya-gaya yang lain.
Jalan
Budaya
Saya
mencoba merumuskan karakteristik yang berlangsung dalam peristiwa budaya dengan
tiga unsur utama. Pertama, kebudayaan mendahulukan dialog dibanding kekerasan.
Dalam bentuk kesenian wayang orang, ketoprak, atau segala jenis seni
tradisi--selalu terjadi dialog, yang bahkan menjelang peperangan pun masih
terjadi dialog dalam bentuk tembang, dalam tantang-menantang. Kekerasan adalah
jalan akhir ketika semua bentuk dialog menemukan jalan buntu.
Kedua,
peristiwa budaya mengedepankan karya selain wacana. Itulah sebabnya, lahir
puisi, tari, irama, yang selalu diciptakan, di samping wacana yang
mempersoalkan atau mempertanyakan. Lakon dalam wayang selalu berkembang,
produksi film terus berkelanjutan, apa pun situasi dan kondisinya. Unsur
ketiga, kebudayaan tidak memonopoli satu-satunya kebenaran, dan karenanya perlu
bersama dengan disiplin lain.
Dalam dunia kepenyairan, tak ada penyair nomor
satu dan nomor dua. Tidak juga aliran atau bentuk tertentu mengalahkan, atau
mengenyahkan, jenis lain. Jenis musik klasik tidak dengan sendirinya yang
paling benar dan meniadakan dangdut, pop, keroncong, atau campur sari. Dalam
seni lukis, tak berarti nanti aliran kubisme melenyapkan naturalisme, dan
sejenisnya.
Jalan
budaya, pendekatan melalui unsur-unsur dinamis dalam peristiwa kebudayaan,
inilah yang agaknya ditinggalkan atau ditanggalkan sejak era Reformasi
bergulir. Nyaris kita mendengar, atau bahkan mengalami, tiadanya pendekatan
budaya dalam beberapa masalah besar, seperti kasus pembantaian Mesuji, korupsi
para petinggi dari seluruh jabatan dan institusi, tawuran yang makin
menjadi-jadi, sampai dengan pelanggaran tata krama berlalu-lintas, mendapatkan
KTP yang dianggap wajar, pragmatis, dan lebih benar.
Jalan
Binatang
Ini
yang pada beberapa bagian kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi merana.
Bahkan bisa lebih. Manusia bukan hanya serigala bagi manusia lainnya. Manusia
adalah zombie bagi manusia lain. Yang besar akan memangsa yang kecil, yang kuat
dan mempunyai akses lebih meniadakan yang lemah. Korupsi, juga pemerasan,
berangkat dari tata nilai dan tata krama yang berasal dari dunia binatang.
Menerkam habis kelompok lain untuk kelangsungan hidup dan atau memperkuat diri.
Keberhasilan, karena itu, dihitung dari berapa banyak korban yang dihancurkan,
berapa tengkorak yang bisa dipajang sebagai tanda keberhasilan.
Memperlakukan
makhluk lain sebagai binatang bisa dalam contoh yang sederhana. Adalah
garis-garis yang membedakan jalur kendaraan. Karena ini tak juga dipahami
masyarakat, tindakan berikutnya adalah membuat separator jalan. Karena ini juga
tidak dipatuhi, dibuatkan gundukan separator, dan juga ditinggikan. Ini adalah
cara perlakuan kepada binatang, yang karena tidak mampu mengenali tanda,
dibuatlah pagar. Karena masih diterobos, pagar dialiri listrik.
Pendekatan
melalui pendidikan, melalui kesadaran, dinilai terlalu lama dan tidak mempunyai
efek, sehingga perlakuan sebagaimana yang diterapkan pada binatang dianggap
lebih manjur dan mengatasi masalah. Padahal justru di sinilah masalah itu
muncul. Contoh yang lebih sederhana adalah pengaturan lalu lintas untuk
mengatasi kemacetan dengan “3 in 1”, minimal tiga penumpang dalam kendaraan
roda empat untuk jalan dan waktu tertentu. Yang muncul adalah para joki yang
tak mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan. Karena dianggap mengganggu,
menyalahi tata krama, para joki inilah yang menjadi sasaran razia, dengan segala
akibat buruknya. Mereka yang kalah dibuat salah, mereka yang dimusuhi akan
dihabisi, dengan segala pembenaran. Inilah nasib para TKW, para pengemis, dan
atau anak-anak jalanan, yang terjadi setiap hari.
Jalan
Pencegahan
Pendekatan
budaya, tak bisa tidak, harus disertakan dalam berbagai kebijakan yang nyatanya
tidak bijak karena memihak, untuk mengerem kebinatangan dalam diri kita. Jalan
budaya memang bukan jalan singkat, karena yang disodorkan adalah menumbuhkan
karakter, memperkuat pribadi. Jalan budaya lebih menekankan proses pencegahan
dibanding tindakan seketika. Mencegah seseorang menjadi koruptor, menjadi
pelanggar tata krama, menjadi pendurhaka kepada bangsa dan negara.
Pencegahan
yang diwujudkan dalam bahasa seni melalui tembang-tembang, melalui lambang,
melalui mitos, melalui rasa malu, melalui empan-papan, yaitu mengenali
situasi dan lokasi waktu maupun lokasi tempat. Dalam bentuk yang sederhana
adalah mengenal kehormatan, dan rasa hormat. Baik kepada orang tua, sahabat,
lingkungan, alam, maupun kepada bangsa negara, dalam keimanan. Semua
nilai-nilai itu ada dalam kebudayaan, dan nenek moyang kita telah sangat jenius
merumuskannya dalam aktualisasi. Di awal berdirinya republik ini, tampillah
para pendiri negara yang terhormat, yang mengutamakan pilihan ini, dengan
segala cita-cita yang gemanya masih memanggil kita untuk memenuhi.
Jalan
budaya, karena itu, menyiapkan sebuah pribadi, juga sebuah generasi yang
dibekali perbedaan yang jelas dan tegas antara benar dan salah, antara nakal
dan jahat, sebuah kesatuan besar untuk belajar dari pengalaman buruk. Sebuah
generasi manusia yang tak menempuh jalan hidup binatang.
Karena
sesungguhnyalah manusia bisa mengajari binatang, dan bukan belajar dan meniru
dari cara hidup binatang. Kalau itu terjadi, bencana kebudayaan yang lebih
mengerikan dari bencana alam maupun bencana sosial terus melangsungkan
pemusnahan peradaban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar