Lemah
Jantung tetapi Takut Berutang
Faisal Basri, EKONOM
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
Perekonomian memiliki dua jantung. Sektor
keuangan bisa kita ibaratkan sebagai jantung utama, sedangkan pemerintah
sebagai jantung penunjang. Kedua jantung ini bertugas menyedot dana dari
masyarakat dan memompakannya kembali ke dalam perekonomian. Jantung akan
berperan optimal jika volume dana dan yang disedot dan dipompakan memadai serta
irama gerakannya beraturan dan harmonis.
Sudah berulang kali disampaikan di kolom ini
betapa jantung utama perekonomian kita sangat lemah. Kemampuan menyedot dana,
sebagaimana terlihat dari indikator nisbah dana pihak ketiga (deposit) terhadap
produk domestik bruto, hanya 34 persen.
Sementara itu, kemampuan memompakan
dana, sebagaimana terlihat dari nisbah kredit terhadap produk domestik bruto, juga
sangat rendah, bahkan tergolong terendah di dunia, yakni 23 persen. Tak ayal,
kedalaman sektor keuangan kita sangat cetek, hanya di urutan ke-51 dari 57
negara yang disurvei oleh Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2010.
Pemerintah, lewat Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), merupakan jantung penunjang. Sekalipun penunjang,
peranannya tak tergantikan dan sangat strategis. Betapa lemah keberadaan
jantung penunjang ini tampak dari daya sedotnya, yakni nisbah pajak terhadap
produk domestik bruto yang tak kunjung beranjak dari kisaran 13 persen.
Kemampuan memompa pun lemah. Belanja pemerintah untuk barang dan jasa terhadap
produk domestik bruto tak sampai 10 persen. Bandingkan dengan Amerika Serikat
yang nisbahnya dua kali lipat lebih besar daripada Indonesia, padahal akar
ideologi Negeri Paman Sam ini adalah libertarian.
Dengan volume darah yang terbatas dan fungsi
jantung yang lemah, perekonomian tak bisa berlari kencang. Perekonomian cepat
lelah. Kita patut kian prihatin karena sejauh ini tak kunjung melihat langkah
nyata untuk membenahi kondisi lemah jantung ini. Bahkan, ada kecenderungan
kondisi jantung penunjang (APBN) semakin lemah. Tak kurang Gubernur Bank
Indonesia berulang kali menyesalkan kondisi yang tak kunjung membaik. Bahkan,
masih menurut Gubernur Bank Indonesia, kondisi tahun ini lebih buruk daripada
tahun lalu.
Dalam empat tahun terakhir, kemampuan memompa
pemerintah memang kian memburuk. Dana yang mengendap di rekening pemerintah di
Bank Indonesia bertambah besar. Sejak tahun lalu rekening pemerintah di Bank
Indonesia November—yang berarti hanya dua bulan menjelang tutup tahun
anggaran—masih di atas Rp 150 triliun. Padahal, selama kurun waktu 2004-2007,
saldo rekening pemerintah November hanya sekitar Rp 60 triliun. Akibatnya,
belanja pemerintah menumpuk pada akhir tahun. Sedemikian parahnya, lebih dari
seperlima belanja pemerintah dilakukan pada bulan terakhir tahun anggaran,
yakni Desember.
Distribusi belanja yang tak merata membuat
denyut jantung tak beraturan. Penumpukan belanja pada bulan Desember juga
berdampak buruk terhadap laju inflasi. Secara sadar justru pemerintah melakukan
tindakan yang bertentangan dengan fungsinya, yakni meredam pengeluaran kala
masyarakat justru sedang gencar belanja menjelang akhir tahun. Pemerintah menyia-nyiakan
kesempatan untuk kian meredam laju inflasi. Betapa mahal perilaku buruk itu.
Fungsi jantung bisa ditingkatkan dengan cara
meningkatkan defisit APBN lewat berutang lebih banyak. Bukankah tingkat
tabungan masyarakat tergolong relatif sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada
tingkat investasi. Penerbitan surat utang pemerintah bisa jadi alternatif
sangat menjanjikan untuk menyerap potensi tabungan masyarakat.
Pemerintah pun bisa memetik keuntungan karena
suku bunga sudah menunjukkan kecenderungan turun. Keuntungan lainnya adalah
bisa menurunkan ketergantungan pada asing untuk investasi portofolio.
Yang tak kalah penting adalah peran negara
bisa lebih sigap dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Pemerintah akan lebih mampu mengakselerasikan pembangunan, khususnya
pembangunan sektor riil, lebih khusus lagi sektor pertanian dan industri
manufaktur, lewat penyediaan infrastruktur vital seperti jalan raya, irigasi,
pelabuhan, dan bandara.
Mengingat struktur penduduk kita sangat
didominasi oleh penduduk usia muda yang sangat produktif, lebih bijak untuk
membiayai pemenuhan infrastruktur lewat berutang ketimbang menggenjot
penerimaan pajak lewat penambahan jenis pajak dan peningkatan tarif pajak.
Sangatlah ironis kalau Presiden berulang kali menyampaikan tekad untuk
menurunkan utang dan menargetkan anggaran berimbang tanpa defisit. Lebih ironis
lagi, Presiden mengklaim penurunan nisbah utang sebagai keberhasilan.
Pada waktu bersamaan Presiden menghendaki
percepatan pembangunan. Terakhir Presiden meluncurkan Rencana Induk Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang cukup ambisius. Tanpa
keberanian untuk lebih banyak berutang, pilihan pemerintah kian terbatas.
Pembangunan infrastruktur fisik vital harus lebih banyak melibatkan swasta yang
masif. Dan, cara demikian berpotensi menjadi sarana empuk pemburuan rente
dengan modus baru. Pun, berpotensi membuat pembangunan infrastruktur menjadi
bias sehingga gagal meraih manfaat maksimal bagi perekonomian dan kepentingan
rakyat banyak.
Sudah cukup banyak contoh yang menyesakkan.
Misalnya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang makin menjauhkan kita
dari ciri negara kepulauan. Contoh lain adalah pembangunan jalan tol di
perkotaan yang sangat dipaksakan. Sebaliknya, pembangunan infrastruktur yang
vital bagi perekonomian seperti pelabuhan terabaikan. Persoalan ongkos logistik
yang mahal tak kunjung terselesaikan. Maka, target inflasi yang rendah pun akan
kian sulit tercapai secara berkelanjutan.
Visi jangka panjang sepatutnya lebih mengemuka,
bukan target-target jangka pendek yang pragmatis. Presiden harus diingatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar