Buruknya
Pengelolaan Energi
Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGM, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 28 Desember 2011
Pengelolaan energi yang meliputi investasi,
produksi dan konsumsi, serta subsidi sumber daya energi sepanjang tahun 2011
dapat dikatakan buruk.
Target-target yang telah ditetapkan jauh
melenceng. Investasi hilir dan listrik tak tercapai, produksi atau lifting di
bawah target, serta volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik
membengkak. Peningkatan penggunaan energi terbarukan, seperti gas dan panas
bumi, untuk kebutuhan dalam negeri belum terealisasi. Masalah Newmont dan
Freeport menunjukkan kemunduran iklim investasi asing di Indonesia.
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa
realisasi subsidi BBM bakal melebihi kuota yang dianggarkan dalam APBN
Perubahan (APBN-P) 2011. Hal ini dikonfirmasikan oleh PT Pertamina yang
memprediksi realisasi konsumsi BBM bersubsidi tahun ini akan melebihi kuota
APBN-P 2011 sebesar 1,4 juta kiloliter menjadi total 41,8 juta kiloliter, dari
target sebelumnya 40,4 juta kiloliter.
Naiknya harga minyak dunia juga menyebabkan
bengkaknya subsidi BBM. Dalam APBN-P 2010 pemerintah mencantumkan asumsi
Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 80 dollar AS per barrel, sedangkan dalam
APBN-P 2011 asumsi ICP ditetapkan 95 dollar AS per barrel, realisasi di atas
110 dollar AS per barrel.
Akibat lonjakan harga dan konsumsi, realisasi
subsidi BBM dalam APBN-P 2011 diperkirakan naik Rp 30 triliun menjadi Rp 160
triliun, melebihi rencana awal Rp 130 triliun. Opsi kenaikan harga dan
pengendalian volume konsumsi BBM ada dalam APBN-P 2011, tetapi pemerintah tidak
mengajukannya ke DPR. Yang terjadi pemerintah justru merengek minta kenaikan
kuota konsumsi BBM. Jadilah usulan naik dari 40 juta ke 42 juta kiloliter.
Subsidi listrik lebih parah lagi. Hingga
kuartal III-2011, subsidi mencapai Rp 65,7 triliun, melebihi kuota APBN-P 2011
sebesar Rp 65,5 triliun. Besaran subsidi sepanjang Januari-September itu naik
57 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu didorong kenaikan konsumsi
bahan bakar minyak untuk PLN.
Tingginya konsumsi BBM karena mundurnya
penyelesaian proyek 10.000 megawatt tahap I serta rendahnya realisasi konsumsi
gas dan batubara PLN, membengkakkan subsidi hingga Rp 20 triliun.
Dengan realisasi subsidi listrik hingga akhir
tahun diproyeksikan berkisar Rp 90 triliun, pemerintah harus mencari sumber
pendanaan untuk menutupi subsidi listrik yang melebihi kuota tersebut. Dalam
hal ini, pemerintah dan PLN bertanggung jawab atas meningkatnya subsidi listrik
karena APBN-P adalah dana publik.
Tingginya konsumsi bahan bakar minyak di
pembangkit PLN juga disebabkan oleh banyaknya pembangkit listrik tenaga diesel
yang dihidupkan. Kebijakan itu dinilai bagus karena dapat meningkatkan rasio
elektrifikasi nasional. Di sisi lain, ada konsekuensi biaya dari pemerintah
melalui subsidi listrik. Langkah itu bagus, tetapi tidak rasional karena semua
beban diserahkan kepada publik.
Minyak dan Investasi Meleset
Jika subsidi terus membengkak, pendapatan
juga terancam karena lifting (produksi) minyak di bawah target. Menteri
Keuangan Agus Martowardojo mengaku berat mengejar target produksi minyak tahun
2011 sekitar 945.000 barrel per hari (bph) karena kini masih 900.000 bph.
Setiap 10.000 konsekuensi pendapatan negara adalah Rp 2 triliun. Penurunan
produksi 45.000 menyebabkan menambah defisit APBN hampir Rp 5 triliun.
Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas) juga mengaku sangat berat mengejar target produksi minyak tahun ini
945.000 bph. Disampaikan alasan akan banyaknya hambatan untuk mencapai target:
hambatan proses produksi karena kebakaran dan kecelakaan.
BP Migas mencanangkan peningkatan lifting
gas. Paling tidak tercatat lifting gas dari 14 kontraktor kontrak kerja sama
(KKKS) dari total 56 KKKS yang beroperasi di blok migas produksi, telah
melampaui target lifting gas dalam APBN-P 2011. Namun, kenaikan lifting gas
tidak dapat mengompensasi penurunan minyak. Untuk mengurangi tekor, pemerintah
dan DPR biasanya memotong cost recovery para kontraktor.
Dalam soal investasi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral mengklaim bahwa realisasi investasi di sektor hulu migas
telah melampaui target pemerintah hingga September 2011. Namun, realisasi
investasi sektor hilir jauh dari target. Investasi di sektor hilir baru 25
persen dengan total target investasi 2011 mencapai 13,6 miliar dollar AS.
Energi Tanpa Kebijakan
Selama dua tahun terakhir, pemerintahan
SBY-Boediono telah mengalokasikan subsidi BBM dan listrik hampir Rp 400
triliun, hampir setara dengan alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga
pemerintah tahun 2011. Bahkan, pada 2011 alokasi subsidi energi mencapai lebih
dari Rp 250 triliun. Dibandingkan dengan perencanaannya (APBN), terdapat
lonjakan subsidi energi lebih dari Rp 100 triliun. Jumlah ini setara dengan
belanja modal pemerintah untuk pertumbuhan dan penyerapan lapangan pekerjaan.
Meskipun telah mendapat kewenangan dari UU
APBN untuk mengendalikan baik harga maupun konsumsi, pemerintah tidak melakukan
(alias tidak berani) dengan alasan tak jelas. Pemerintah membiarkan anggaran
dihamburkan untuk subsidi BBM dan listrik yang merugikan program pengentasan
orang miskin.
Kebijakan optimalisasi produksi minyak juga
ambivalen. Selama hampir 10 tahun tidak ada investasi migas yang signifikan.
Penurunan alamiah produksi minyak harus ditutupi dengan pemotongan biaya
recovery migas yang berdampak pada produksi masa depan.
Penurunan lifting minyak tidak mampu
dikompensasi dengan kenaikan lifting gas.
Kenaikan lifting minyak justru lebih
banyak dimanfaatkan untuk ekspor, padahal jika untuk bahan bakar pembangkit
PLN, manfaat ekonomi akan lebih besar.
Dalam Undang-Undang APBN 2012, lagi-lagi
pemerintah membuat blunder dengan mengunci berbagai kebijakan untuk
menanggulangi kenaikan subsidi energi, baik BBM maupun listrik. Penyesuaian
harga BBM dan tarif dasar listrik sudah ditutup untuk 2012.
Pelaksanaan
penghematan penggunaan volume BBM, baik untuk kendaraan maupun listrik, belum
jelas perencanaannya. Tahun 2013 hampir dipastikan pemerintah dan DPR akan
menolak semua kebijakan energi yang tidak populer karena menjelang pemilu. Maka
hampir dipastikan pemerintahan SBY-Boediono telah dan akan menghamburkan uang
publik melalui subsidi energi salah sasaran lebih dari Rp 700 triliun selama
pemerintahannya. Suatu kehilangan kesempatan yang luar biasa dengan beban di
pundak pemerintah mendatang.
Demikian pula pada kisruhnya Newmont dan
Freeport. Kacaunya solusi divestasi kasus Newmont tidak perlu terjadi jika
Presiden sejak awal menegaskan bahwa pemerintah mengambil opsi divestasi untuk
kepentingan nasional dan tak dijual kepada pihak swasta. Hasilnya bisa saja
dibagihasilkan kepada daerah penghasil, yakni NTB. Namun, yang terjadi justru
pembiaran perebutan kekuasaan antara Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi
NTB, dan DPR. Pengusaha swasta yang telah mendapatkan manfaat dari divestasi
tenang-tenang saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar