Menggapai
Prestasi Olahraga
Halim Mahfudz, CEO HALMA
STRATEGIC
Sumber : KORAN TEMPO, 27 Desember 2011
Ketika
Wakil Presiden Boediono membuka acara Hari Olahraga Nasional pada 9 September
2011, maskot SEA Games XXVI yang diletakkan oleh Wakil Presiden terguling dan
jatuh karena kaki-kaki maskot kurang mapan. Setelah itu, Wapres Boediono
menyampaikan sambutan dan salah satu poin pentingnya adalah pernyataan bahwa
prestasi olahraga Indonesia belum membanggakan. “Kita harus mengakui bahwa,
dalam membangun olahraga di Indonesia, masih banyak yang jauh dari harapan
kita," kata Wapres waktu itu.
Pernyataan
itu sesungguhnya merupakan ekspresi wajar dan senada dengan harapan seluruh
warga bangsa ini. Kita pernah bangga akan cabang bulu tangkis di zaman Rudi
Hartono, Tjun Tjun-Johan Wahyudi, hingga Liem Swie King. Itulah zaman ketika
kejuaraan bulu tangkis menyedot perhatian masyarakat dan mampu menghentikan
kegiatan seluruh warga Indonesia. Jalan-jalan sepi dan semua orang menyaksikan
Sang Maestro mengalunkan nada-nada kemenangan dengan wajah dingin. Rudi Hartono
dengan tenang menghabisi lawan-lawannya dan terus menanjak hingga ke posisi
puncak.
Kita
juga pernah bangga akan nama besar di sepak bola, dari Ramang, Abdul Kadir,
hingga Ronny Pattinasarani. Namun, setelah itu, kita menyaksikan prestasi
olahraga yang merosot dan makin kabur. Kisruh dan perebutan kekuasaan terjadi
di tingkat federasi baik pusat maupun daerah. Dan prestasi olahraga kita terus
meredup. November lalu, setelah lama menantikan, kerinduan pada prestasi
olahraga terobati ketika Indonesia berhasil menjadi juara umum South East Asian
Games 2011. Prestasi itu membuktikan anak-anak bangsa ini sesungguhnya mampu
mencapai puncak prestasi olahraga di kawasan Asia Tenggara. Pencapaian ini
adalah keberhasilan Indonesia yang kesepuluh dalam arena SEA Games setelah
menjadi juara umum sebelumnya pada 1997. Tetapi apakah dengan keberhasilan
menjuarai SEA Games ini berarti pernyataan Wapres ternyata dibuktikan terbalik
selama ajang SEA Games?
Kerja
Saling Dukung
Indonesia
memang berhasil menjuarai SEA Games XXVI 2011 di Palembang. Tetapi pernyataan
Wapres adalah dalam konteks yang jauh lebih luas daripada menjuarai satu
peristiwa olahraga. Pernyataan itu harus dipahami sebagai sebuah bentuk
pengamatan tentang pola pengelolaan, pengembangan, dan program versus potensi
olahraga bangsa dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini.
Pernyataan itu juga mengekspresikan harapan yang sesungguhnya bisa diraih oleh
bangsa ini dari apa yang ada sekarang ini jika ada pengembangan dan pengelolaan
yang lebih baik.
Satu
hal penting yang sering kali dilupakan oleh banyak pihak adalah kenyataan bahwa
di zaman ini semua masalah terkait satu dengan yang lain. Tidak ada satu
masalah pun yang tidak terkait dengan pembuatan kebijakan dan keputusan,
otoritas, fasilitas, dukungan atau penolakan dari pihak lain, moralitas dan
mentalitas, serta peran publik.
Olahraga juga bukan masalah yang bisa berdiri
sendiri. Olahraga membutuhkan sarana untuk memfasilitasi peningkatan kualitas
dan keahlian para atlet. Sarana membutuhkan ruang dengan berbagai fasilitas,
infrastruktur, sistem pengelolaan, instruktur, sumber daya, dan sumber dana.
Ini pasti bukan hal-hal yang bisa dipenuhi sendiri oleh pemerintah, apalagi
oleh satu kementerian atau hanya oleh DPR. Olahraga melibatkan individu yang
menjadi atlet, pelatih, official, dan orang-orang yang mengurus olahraga
tersebut. Dan di zaman yang serba canggih ini, olahraga juga membutuhkan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan dibutuhkan untuk melakukan kajian dan menemukan
secara ilmiah faktor-faktor yang bisa dikembangkan untuk peningkatan daya
tahan, teknik, dan skill. Hal ini sudah diberlakukan di banyak negara,
dan Indonesia tertinggal dalam soal ini.
Sebuah
prestasi dicapai melalui proses, upaya, dan kerja keras yang harus dicapai
melalui peran dan partisipasi banyak pihak. Sementara di lain pihak masih
banyak pandangan bahwa pengembangan olahraga adalah tugas dan kewajiban
Kementerian Pemuda dan Olahraga serta federasi olahraga bersangkutan. Masih
banyak anggapan bahwa memperbaiki sepak bola adalah tugas PSSI, meningkatkan
prestasi bulu tangkis adalah tugas PBSI, dan seterusnya. Sebaliknya, masyarakat
luas termasuk pemerintah sendiri, DPR, serta perusahaan swasta justru
berpandangan “hak” mereka adalah menikmati prestasi meski tanpa ikut andil.
Di
Indonesia, kerja sama, dukungan, dan koordinasi antarinstansi pemerintah, peran
swasta dan dukungan publik, masih jauh dari harapan. Masih ingat bagaimana
lapangan Menteng berubah menjadi sebuah taman? Atau kasus megakorupsi Wisma
Atlet? Itu hanya dua contoh bagaimana upaya mencapai prestasi tidak didukung
oleh kerja sama bahkan di instansi pemerintah sendiri dan moral yang baik.
Kasus mega korupsi Wisma Atlet mencerminkan bahwa tanggung jawab moral dan
mental para pengelola sendiri sedang dalam titik nadir. Justru para pembuat
keputusan yang menghancurkan jalan menuju peningkatan prestasi olahraga. Soal
lapangan Menteng, ada argumen bahwa Jakarta membutuhkan paru-paru kota. Tetapi,
pertanyaannya, kenapa harus memilih lapangan Menteng yang sebenarnya bisa
menjadi penunjang prestasi olahraga Indonesia. Kenapa tidak membatalkan rencana
pembangunan sebuah mal, karena pasokan mal sudah mencapai titik jenuh.
Apa
pun yang kita lakukan sekarang ini adalah sebuah kompleksitas. Membangun sebuah
stadion, misalnya, tidak bisa hanya menjadi urusan Kemenpora atau KONI, tetapi
juga banyak pemangku kepentingan lain yang harus paham dan memberi dukungan.
Ini tantangan tersendiri yang harus dipahami dan ditangani dengan baik.
Pengelolaan
Membangun
fasilitas olahraga, seperti stadion, hanya salah satu bagian dari rentetan
pentingnya pengelolaan olahraga bagi satu bangsa. Banyak orang melupakan bahwa
olahraga adalah medium sangat strategis untuk membangun citra dan reputasi,
diplomasi, dan keutuhan bangsa, bukan dengan basa-basi dan omong kosong. Dengan
prestasi olahraga yang kita capai di SEA Games, reputasi Indonesia sebagai
bangsa meningkat di dunia internasional. Dengan prestasi runner-up Piala
SEA Games di cabang sepak bola, prestasi itu mengobati kekangenan pada
kemenangan dan kebanggaan meski sebelumnya Indonesia gagal unjuk prestasi di
penyisihan Piala Dunia.
Olahraga
seharusnya bisa menjadi alat pemersatu bangsa dan alat diplomasi ampuh.
Tampaknya potensi ini belum mendapatkan pemahaman yang baik. Yang terjadi di
Indonesia justru masalah moral dan mental mereka yang berniat mengelola
olahraga itu sendiri. Sebagai contoh, kisruh yang berkelanjutan di PSSI
mengecewakan pemain, pelatih, dan penggemar cabang olahraga ini. Ironisnya,
kisruh itu terjadi karena kepentingan di luar sepak bola. Dan kisruh PSSI itu
hanya masalah permukaan, karena masalah sesungguhnya adalah masalah di luar
sepak bola sebagai sebuah olahraga.
Jadi, masalah lebih mendasar adalah bahwa
banyak kepentingan di luar olahraga yang mengontrol dan mengendalikan langkah
dan keputusan di bidang olahraga. Hal ini juga terjadi di tempat lain. Di
Indonesia, parahnya, tekad mengontrol dan mengendalikan itu bukan untuk tujuan
kemajuan dan prestasi olahraga, melainkan untuk tujuan lain, seperti politik,
yang justru merusak olahraga.
Dengan ego sektoral dan koordinasi kacau di
pemerintahan, mental dan moral para pembuat keputusan negeri ini, kepentingan
di luar olahraga, dan publik yang tidak terlibatkan, apa yang disampaikan oleh
Wapres Boediono adalah pernyataan yang tepat dan harus dipahami dengan hati
terbuka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar