Kamis, 29 Desember 2011

Peta Jalan KPK


Peta Jalan KPK
Asmar Oemar Saleh, MANTAN KOORDINATOR BADAN PEKERJA
ANTI-CORRUPTION COMMITTEE (ACC) SULAWESI
Sumber : REPUBLIKA, 29 Desember 2011



Terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membinarkan harapan baru bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Komitmennya dalam memberangus korupsi tampak sejak dini. Bersama-sama saya, Abraham turut serta dalam pendirian Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi dan kemudian memegang estafet kepemimpinan menggantikan saya. Tak berhenti sebagai aktivis, ia berhasil memperoleh gelar doktor hukum dari Universitas Hasanuddin.

Selain Samad, terdapat nama-nama lain pimpinan KPK yang juga cukup menjanjikan, seperti Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas. Keduanya dikenal bersih dan tak kenal kompromi dalam perang melawan korupsi. Di tengah maraknya perilaku korup politikus dan pejabat publik, para pemimpin KPK yang baru itu menjadi satu-satunya harapan rakyat bagi terciptanya keadilan dan Indonesia yang bersih dari korupsi.

Namun, meski ditakuti, kinerja KPK belum berhasil memantik efek jera pada koruptor. Indikasinya adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang masih rendah. Pada 1999, IPK Indonesia adalah 1,9. Pada 2006, setelah ada KPK, naik jadi 2,4, dan 2010 bertahan pada angka 2,8. Dengan indeks di bawah tiga, Indonesia masih tergolong sebagai negara yang korup. Dalam laporan Transparency International 2010, Indonesia berada pada urutan 110, di bawah negara-negara ASEAN, seperti Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5).

Salah satu sebab absennya efek jera tersebut adalah ringannya hukuman yang diterima koruptor. Vonis yang dijatuhkan para hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) rata-rata hanya empat tahun dua bulan penjara. Hukuman itu jauh berada di bawah hukuman maksimal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat berupa hukuman mati.

Dengan adanya KPK, IPK Indonesia seharusnya bisa meningkat jauh lebih tinggi. Sayangnya, KPK belum menggenjot kinerjanya ke arah pemberantasan korupsi secara radikal dan revolusioner. Di sinilah, pimpinan KPK yang baru mesti mampu mengakselerasi kinerjanya dalam memberantas korupsi dengan arah dan strategi yang jelas.

Peta Jalan
Dalam Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tugas KPK adalah berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan pencegahan korupsi; dan memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara.

Mengacu pada UU tersebut, seharusnya fokus penanganan korupsi KPK diarahkan pada tiga rute. Pertama, pembersihan instansi-instansi penegak hukum yang potensial menjadi sarang mafia korupsi, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat.

Kedua, penanganan kasus-kasus korupsi skala besar, seperti dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century, dan proyek Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Ketiga, berkonsentrasi pada lembaga tinggi negara, tempat dibuatnya kebijakan-kebijakan penting yang menjadi pangkal megakorupsi. Artinya, musuh KPK adalah para pejabat tinggi di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Agar tak kelebihan beban, korupsi kecil dan menengah sebaiknya diserahkan kepada kejaksaan dan kepolisian, di bawah pengawasan KPK. Harus selalu diingat bahwa KPK adalah lembaga luar biasa yang sifatnya sementara. Karena itu, ketika saatnya KPK harus bubar, lembaga penegak hukum lain harus telah bersih dari korupsi untuk melanjutkan tugas yang semula diemban KPK.

Untuk menjalankan misi besar di atas, para pimpinan KPK harus memiliki komitmen yang tak terbeli, berpihak pada kebenaran dan berintegritas tinggi. Indonesia telah menjadi negeri para koruptor, penanganannya pun meniscayakan para penegak hukum kelas satu yang siap menjadi "martir" dalam perang melawan korupsi.

Belajar pada Negara Lain
Sejumlah negara dapat menjadi contoh sukses. Korupsi yang merajalela di Hongkong pada 1970-an mendorong lahirnya Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 15 Februari 1974. ICAC berhasil mengadili 119 pimpinan polisi Hong Kong mengenai tuduhan konspirasi pada 24 polisi, serta menangkap ratusan aparat pemerintah korup.

Korupsi di tubuh polisi Hong Kong pun turun hingga 70 persen. Dari 1.443 laporan pada 1974, menjadi 446 laporan pada 2007. Hong Kong menjelma menjadi negara terbersih kedua di Asia dan berhasil menarik minat investor asing untuk menanam modalnya di Hong Kong

Korea Selatan menjadi preseden lain negara yang sukses memberantas korupsi dengan mendirikan Komisi Independen Antikorupsi pada 2002 dan mengadili pejabat tinggi negara. Contohnya, dua mantan presiden negara itu, Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo, dihukum penjara sebelum akhirnya diberi pengampunan. Akibat tindakan tegas itu, dalam delapan tahun, Korea Selatan dapat memperbaiki IPK-nya dan masuk dalam 40 besar negara yang korupsinya rendah dari 180 negara.

Cina adalah contoh lain dari sebuah negara yang sangat serius dalam membasmi korupsi. Dalam 10 tahun terakhir ini, tercatat lebih dari 3.000 pejabat pajak, wali kota, pejabat tinggi polisi, dan pejabat kota yang diganjar hukuman mati. Akibatnya, korupsi di negeri itu dapat ditekan dan berkurang drastis.

Sementara itu, di usianya yang menginjak delapan tahun, KPK belum memperlihatkan prestasi gemilang. KPK kini justru menghadapi parasit di tubuhnya sendiri. Pengadilan tipikor akhir-akhir memperlihatkan gejala buruk dengan banyaknya terdakwa korupsi yang dibebaskan. Padahal, tren ini hanya lazim di pengadilan umum, bukan di pengadilan tipikor. Maka, evaluasi dan pengawasan pada hakim-hakim pengadilan tipikor di daerah perlu menjadi perhatian bagi KPK.

Medan Tempur
Menjelang Pemilu 2014, KPK akan menjadi medan pertempuran bagi partai-partai politik besar. KPK menjadi arena untuk saling menjatuhkan kredibilitas bagi masing-masing partai. Terungkapnya satu kasus korupsi politikus akan berdampak hilangnya kepercayaan, baik pada politikus bersangkutan maupun partainya. Apalagi, jika kemudian terbukti ada aliran dana korupsi ke kas partai, tentu dampaknya ke konstituten akan makin besar. Dan, inilah musuh utama KPK.

Dalam konteks itulah, KPK harus dapat melepaskan diri dari segala intervensi dan kepentingan jahat politik dan kekuasaan. KPK harus selalu dapat menjaga independensinya dari segala macam godaan dan tekanan. Mesti disadari bahwa sebagai lembaga superbody, KPK bukannya tanpa kelemahan. Tantangan utama internal KPK adalah keterbatasan personel.

Secara kuantitatif, sejak berdiri hingga Oktober 2011, KPK baru menuntaskan 228 dari sekitar 50 ribu kasus yang dilaporkan masyarakat. Tentu masih jauh dari harapan. Selain itu, belum ada jaringan mafia megakorupsi yang melibatkan oknum petinggi penegak hukum yang berhasil dibongkar dan dipenjarakan.

Oleh karena itu, kita bisa mengukur keberhasilan KPK melalui tiga keberhasilan. Pertama, kemampuan mengungkap kasus-kasus korupsi-korupsi berskala besar. Kedua, menyingkap praktik mafia korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga, membersihkan praktik-praktik korupsi para pejabat tinggi negara di departemen-departemen pemerintahan.

Mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan belajar pada ICAC di Hong Kong, KPK harus kembali ke khitahnya. Ini dimaksudkan agar pemberantasan korupsi di Indonesia dapat menangkap tuntas para koruptor kelas kakap serta melibas jaringan mafia hukum.

Kembali khitah maksudnya adalah melakukan akselerasi pada tiga hal. Pertama, melakukan pembersihan di instansi-instansi yang potensial menjadi sarang korupsi dan mafia hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), dan advokat.

Kedua, dari sisi penindakan, KPK seharusnya hanya fokus pada penanganan kasus-kasus korupsi yang membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Ketiga, dalam upaya pencegahan, sasaran utama KPK adalah birokrasi pemerintahan-tempat dibuatnya kebijakan-kebijakan penting negara. Birokrasi inilah yang menjadi pangkal bagi munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar