Demokrasi,
Keniscayaan Sejarah
Budiarto Danujaya, PENGAJAR FILSAFAT POLITIK DEPARTEMEN FILSAFAT FIB UI
Sumber
: KOMPAS, 30 Desember 2011
Kesetaraan dan kebebasan tampaknya lebih gegas
berlabuh sebagai keniscayaan sejarah ketimbang keadilan dan kesejahteraan
bersama. Inilah ”moral” cerita Arab Spring, pergolakan demokratisasi di 17
negara Afrika Utara dan Timur Tengah yang telah menelan lebih dari 30.000 jiwa.
Pergolakan ini telah menumbangkan tiga kepala
negara, mencopot lima perdana menteri, dan mengurungkan pencalonan kembali
beberapa kepala negara/ perdana menteri. Belum terbilang sejumlah konsesi
politik, mulai pelepasan tahanan politik, pencabutan undang-undang darurat,
sampai ke pengakuan hak-hak sipil.
Musim semi Arab boleh jadi merupakan fenomena
politik paling signifikan di bumi dalam dua dasawarsa terakhir setelah
keterkepingan Uni Soviet dan ”balkanisasi” Eropa Timur awal 1990-an.
Setelah berabad sunyi dalam cengkeraman tirani
politik totalitarian ataupun hegemoni sosiokultural, masyarakat negeri-negeri
Arab mendadak tergolak gelombang demokratisasi. Gelombang demokrasi ketiga
ini—pertama, Revolusi Perancis dan ikutannya; kedua, kemerdekaan negara-negara
Asia-Afrika dari kolonialisasi—mewujud lewat politik ”keras” maupun politik
”lunak”.
Di satu sisi, ada penumbangan rezim penguasa
baik lewat revolusi seperti di Tunisia dan Mesir maupun perang sipil di Libya.
Di sisi lain, aksi artikulatoris kolektif menggerogoti politik yang
melembagakan subordinasi, dominasi, dan operasi, baik lewat demonstrasi maupun
pembangkangan sipil. Salah satu perwujudannya: penguasa Arab Saudi mengakui hak
konstitusional perempuan ikut pemilu.
Perkembangan ini sungguh tak terbayangkan
sebelumnya. Pada abad demokrasi ini, di kawasan itu masih ada pemegang monopoli
membuat hukum; undang-undang darurat militer yang sudah berusia 19 tahun;
bahkan pemerintahan phalosentris yang menempatkan perempuan warganya tanpa
hak-hak politik laiknya budak abad lampau.
Bukan Takdir
Seperti diungkap Amartya Sen dalam The Idea
of Justice (2009), masih banyak pihak yang berilusi bahwa tidak demokratis
sudah menjadi takdir negeri-negeri Arab. Bahkan, seolah-olah demokrasi tidak
kompatibel dengan budaya Islam.
Ironisnya, pendapat semacam itu datang dari
yang mencerca maupun membela. Di Indonesia kita sempat menyimak perdebatan
serupa di jejaring sosial, terutama setelah Abu Bakar Baasyir mengatakan bahwa
demokrasi tidak cocok dengan Allahkrasi sebagai konsep pemerintahan Islam (Al
Jazeera, 8/9/2006).
Maka kebangkitan dunia Arab membuktikan
kepada kita, pandangan-pandangan semacam itu jauh panggang dari api. Benih
nilai-nilai demokrasi, yakni menghargai kesetaraan dan kebebasan, ada dalam
kebudayaan mana pun (Graeber, 2004). Boleh jadi, ini perwujudan kerinduan
manusia untuk dihargai sebagai sesosok unikum dengan kekhasan pribadi dan
kepentingannya sehingga berkehendak mengartikulasikan keunikan ke dalam
imajineri bersama komunitasnya. Demokrasi institusional ini memang fenomena baru
namun berlaku universal.
Seperti diutarakan Sen, dalam selisih
artikulatif ini yang kita butuhkan adalah pemahaman lebih menyeluruh mengenai
watak dasar dan dinamika politik identitas. Maksudnya manusia diajak mengenali
afiliasi berganda yang dimilikinya: terhadap agama,
prioritas sekular, sampai kepentingan politis
dalam mengeksploitasi perbedaan religius.
Gamblangnya, identitas kewargaan seseorang
dalam komunitas bersifat multitudo. Dia dapat sekaligus menjadi warga dari
berbagai komunitas: negeri, agama, parpol, etnis, kerabat, tempat kerja,
profesi, sampai hobi: dengan derajat loyalitas yang berbeda-beda. Keragaman
identitas kewargaan itu menerbitkan paradoks artikulatif, tetapi tidak saling
menegasikan.
Jadi, kewargaan sekadar ”sebentuk prinsip pengartikulasian
yang memengaruhi posisi-posisi subyek berbeda dari agen sosial, sementara
membolehkan keragaman atas kepatuhan khusus dan bagi penghormatan atas
kemerdekaan individual” (Mouffe: 1993). Dengan begitu, kewargaan sebagai rakyat
dalam komunitas anak negeri, misalnya, pada dasarnya mempunyai fungsi mediasi,
baik bagi keragaman masing-masing posisi subyek yang berbeda dari agen sosial
maupun bagi keterjalinan antarindividu dengan komunitas-komunitas kecil
lingkupnya.
Legitimasi Politik
Musim semi Arab semakin mengukuhkan
ketakterbendungan demokrasi sebagai label legitimasi tata kelola pemerintahan
dan sistem politik lebih menyeluruh yang hendak dianggap absah oleh komunitas
politik global.
Sebuah penelitian memperlihatkan, dalam satu
abad terakhir, jumlah negara yang memadai disebut demokratis melonjak 10 kali
lipat menjadi 100 negara (Inoguchi dkk, 1998) Menilik penelitian ini
berlangsung 1996, dapat diduga bahwa dewasa ini semakin sedikit negara yang
masih bertahan dengan sistem totaliter.
Memang, sebagian besar klaim ini masih dalam
batasan formal-prosedural. Setidaknya dalam konteks terbatas, demokrasi telah
menjadi semacam jargon keberadaban sistem dan perilaku politik; semacam
prasyarat untuk legitimasi dalam pergaulan global.
Barangkali yang menggelitik tinggallah
mengapa nilai-nilai demokrasi tiba lebih dahulu sebagai keniscayaan sejarah
mendahului keadilan dan kesejahteraan bersama yang diusung kebanyakan narasi
besar termasuk sosialisme dan agama?
Barangkali, seperti ditandaskan Sen, ”Keadilan
tunadebat boleh jadi sebuah gagasan terpasung”. Kiranya, seturut konteks itulah
peraih Nobel Ekonomi 1998 ini dalam berbagai bukunya selalu menekankan kembali
”pembangunan sebagai kebebasan”. Demokrasi, dengan kebebasan dan kesetaraannya
mendatangkan kapabilitas untuk senantiasa menyempurnakan bahkan merekonstruksi
prosedur dan proses pemerintahan dan politik.
Jadi, selain nilai-nilai intrinsiknya
demokrasi mempunyai kapasitas informatif, deliberatif, protektif, formatif, dan
rekonstruktif; termasuk bagi artikulasi maupun praksis keadilan dan
kesejahteraan.
Kalau keterkepingan Uni Soviet dan
”balkanisasi” negara-negara satelitnya mengajarkan kepada kita bahwa keadilan
dan kesejahteraan bersama tak perlu dipertentangkan dengan kesetaraan dan
kebebasan; musim semi Arab barangkali mengajarkan kepada kita bahwa
”keselamatan” bersama di akhirat juga tak perlu dipertentangkan dengan
kesetaraan dan kebebasan di dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar