Potret
Buram Fungsi Legislasi
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR
PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber
: SINDO, 29 Desember 2011
Pergantian tahun merupakan salah
satu waktu yang tepat untuk melakukan perenungan atau refleksi atas capaian
yang diraih sepanjang satu tahun terakhir. Sekiranya refleksi dilakukan secara
jujur, segala bentuk kekurangan yang dilakukan berpotensi menjadi dorongan
dalam menatap tahun baru yang segera menyapa.
Sementara itu,jika perjalanan selama satu tahun yang akan ditinggalkan berada pada neraca positif, capaian menggembirakan tersebut harus tetap dipertahankan agar tidak terjadi penurunan sepanjang tahun mendatang. Apabila refleksi akhir tahun diletakkan dalam koteks penyelenggaraan pemerintahan, sejauh ini perenungan paling umum yang sering dilakukan adalah potret pencapaian bidang penegakan hukum.
Sengaja keluar dari perenungan umum itu,capaian proses pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) tahun 2011 sengaja dipilih menjadi sasaran refleksi karena banyaknya kritik yang dialamatkan pada hasil kerja bareng Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah ini.Bahkan,banyak kalangan menilai hasil proses legislasi hari demi hari hadir bak sebuah potret buram. Bagi mereka yang concern terhadap fungsi legislasi, setidaknya ada dua kriteria yang digunakan dalam penilaian.
Kriteria pertama, jumlah UU yang dapat diselesaikan dalam satu tahun. Meskipun secara kuantitatif UU yang dihasilkan tahun 2011 ini lebih banyak (24 UU) dibandingkan tahun 2010 (16), jumlah tersebut jauh dari target program legislasi nasional.
Selain itu, secara kualitatif, banyak UU hadir dengan kualitas yang kurang memadai. Bahkan,Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menambah proses keterlibatan publik menjadi faktor lain untuk menilai kinerja legislasi.
Kehilangan Fokus
Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dari ketiganya, fungsi legislasi dan fungsi anggaran seperti berebut mendapatkan panggung. Bahkan banyak pengalaman, penggunaan fungsi pengawasan jauh lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan fungsi legislasi. Setidaknya penguatan panggung fungsi pengawasan dapat dilacak dari pengalaman Komisi III.
Sejauh ini,Komisi Hukum DPR ini begitu dominan memanggil lembaga penegak hukum dengan menggunakan jubah rapat dengar pendapat (RDP). Sejauh yang bisa dilacak, upaya itu dilakukan apabila langkah penegakan hukum berpotensi merugikan kekuatan di DPR. Banyak pihak khawatir, instrumen RDP lebih banyak digunakan untuk membelokkan bekerjanya proses hukum.
Contohnya, bagaimana Komisi III “meneror”KPK ketika hendak mendalami indikasi mafia anggaran di DPR. Tidak hanya itu, hilangnya fokus pada fungsi legislasi juga disebabkan menguatnya fungsi lain yang tidak diatur dalam UUD 1945, yaitu fungsi pengisian jabatan publik.
Sekali lagi, dengan mengambil contoh Komisi III,Komisi Hukum DPR ini menjadi alat kelengkapan DPR yang paling banyak terlibat dalam melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).Karena bergesernya fokus tersebut, fungsi legislasi menjadi semacam tugas sekunder DPR. Celakanya, ketika DPR melakukan fungsi legislasi, banyak UU hadir dengan kualitas seadanya.
Tiga Contoh
Potret buram fungsi legislasi sepanjang tahun 2011, setidaknya dapat dilacak dari substansi revisi UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, revisi UU No 24/2003 (yaitu UU No 8/2011), sejumlah substansinya bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, alasan pembentuk UU yang menyatakan sebagian substansi UU No 24/2003 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan kenegaraan terbukti hanya penilaian sepihak.
Setidaknya, hal itu dapat dibaca dalam Putusan MK No 49/PUUIX/ 2011 yang menyatakan sejumlah pasal hasil perubahan bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya,Pasal 57 Ayat (2a) UU No 8/2011 yang intinya dapat diartikan membatasi dan melarang MK memutus melebihi petitum pemohon. Padahal, praktik di MK, memutus lebih dari yang dimohonkan secara eksplisit adalah cara memberikan tafsir konstitusional atas norma dalam UU.
Bahkan, penggantian hakim konstitusi mengikuti pola pergantian antar waktu anggota DPR menjadi bukti lain betapa kuatnya logika politik dalam menyusun UU. Dominasi itu juga dapat dilacak dari Pasal 27A Ayat (2) huruf c dan d UU No 8/2011 yang menempatkan unsur pemerintah dan DPR sebagai anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Selanjutnya,UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No 10/2004. Bagi akademisi hukum terutama yang menekuni ilmu perundang-undangan, substansi UU No 12/2011 memicu perdebatan baru terutama terkait masuknya Ketetapan (Tap) MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan.
Namun demikian, sebagai peraturan yang berada di bawah UUD 1945, UU No 12/2011 tidak menjelaskan materi dan muatan Tap MPR. Pertanyaannya, mengapa UU No 12/2011 memasukkan Tap MPR menjadi bagian dari jenis dan hierarki perundangundangan? Barangkali, alasan hadirnya jenis dan “hierarki baru” ini untuk menampung sejumlah Tap MPR yang tersisa.
Sekiranya hal itu yang menjadi basis argumentasi, pembentuk UU tidak perlu memasukan Tap MPR. Secara konstitusional, Tap MPR yang tersisa telah tertampung Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.Lebih celaka, sejumlah aturan membatasi peran DPD dalam proses legislasi. Salah satu faktanya, program legislasi nasional hanya dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
Terakhir, UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sebagai sebuah UU yang terkait langsung dengan kepentingan partai politik di DPR, sejumlah substansinya berubah drastis dari UU sebelumnya. Perubahan ini dapat dilacak dari terbukanya peluang bagi kader partai menjadi calon anggota KPU.
Banyak pihak menilai, pilihan pembentuk UU membuka ruang bagi kader partai potensial membunuh kemandirian penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945.Bahkan ada juga ancaman serius terhadap hasil kerja tim seleksi, yaitu dengan adanya ruang bagi DPR menolak calon anggota yang dihasilkan dari proses seleksi. Merujuk ketiga UU tersebut, sepanjang 2011 fungsi legislasi benar-benar menggambarkan potret buram.
Sekiranya masalah ini tidak dicegah pada 2012, fungsi legislasi berpotensi menghadirkan bencana dalam praktik ketatanegaraan kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar