Sabtu, 31 Desember 2011

Di Bawah Naungan Islamis


Di Bawah Naungan Islamis
Novriantoni Kahar, PENGAMAT TIMUR TENGAH; ALUMNUS UNIVERSITAS AL-AZHAR, MESIR
Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011
(CATATAN: Sudah Pernah Disajikan di Website Jaringan Islam Liberal 5-12-2011)


Kemenangan beberapa partai Islam di Tunisia, Maroko, Mesir, juga kemungkinan di Libya, Yaman, dan Suriah membuat pengamat Timur Tengah memelesetkan istilah Musim Semi Arab (al-Rabi’ al-’Arabi) menjadi Musim Semi Islamisme (al-Rabi’ al-Islamawi).
Panen raya elektoral kaum Islamis kini menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme saat berkuasa. Apakah kaum Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal?
Dengan kata lain: apakah kaum Islamis akan mengubah sistem (transform the system) atau justru berubah oleh sistem (be transformed by the system)?

Banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang menjelaskan mengapa partai-partai Islamis mampu mengalahkan partai-partai sekuler. Salah satunya adalah kegagalan rezim-rezim otoriter non-Islamis. Partai Islamis tinggal menuduh kegagalan lawan politiknya ini ”akibat tidak menerapkan syariat, westernis, dan kolaborator zionis”. Inilah yang menguntungkan mereka dalam pemilu dan kini saatnya membuktikan ”Islam adalah solusi” dalam berdemokrasi.

Eksperimen ”Islam adalah solusi” adalah fase utopia-ideologis sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang masif serta radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab perlu menjalankan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai dan menjadikannya acuan dalam pemilu.

Demokrasi illiberal

Prasangka bahwa kalangan Islamis akan membajak demokrasi lalu menegakkan otoritarianisme berwajah baru memang beralasan. Misalnya, Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir Essam El-Arian mengatakan, dia tak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi berdemokrasi. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam seperti soal jilbab bisa saja diagendakan ketika mereka berkuasa. Maka, Mesir pasca-Mubarak bisa jadi akan bertranformasi dari ”negara otoriter semi-liberal” menuju ”negara demokrasi illiberal” dalam formulasi Fareed Zakaria.

Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan, AS—sebenarnya sama-sama melanggar hak asasi manusia.
Otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak dasar dan kebebasan primordial individu, tetapi hal itu dapat diabaikan jika dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah yang terjadi pada masa Hosni Mubarak.

Dalam sistem demokrasi illiberal, pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani mayoritas. Jenis dan volume kebebasan warga negara ditentukan oleh selera mayoritas. Hak dasar atas kebebasan pun dianggap tidak melekat pada individu.

Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat beralasan di Mesir ataupun Libya; tetapi tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin, merumuskan: apabila ada kesempatan, kalangan Islamis yang berkuasa pasti akan mengusung legislasi-legislasi sosial yang konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi seksual, pengetatan aturan perempuan, dan aspek-aspek trivial dari Islam.

Namun, sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimistis bahwa kultur dagelan (ruh al-marh) yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat Arab yang relatif terbuka justru akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan legislasi sosial yang illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).

Berubah atau Gagal

Tidak ada jalan lain. Pilihan kaum Islamis pada era demokrasi adalah gagal memerintah atau berubah. Olivier Roy percaya, alih-alih memaksakan ketentuan syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis justru akan memeluk kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic of the state).

Penilaian normatif di atas kurang menggambarkan pola-pola hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James Piscatori yang menguji tiga model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan Palestina menampilkan beberapa catatan menarik.

Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah serta-merta akan menjadi rompi pengekang (strait jacket) kalangan Islamis untuk bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah dari Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun berubah dari retorika ”perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom keluarga” menjadi penyertaan perempuan secara lebih aktif dalam kegiatan sosial, parlemen, bahkan angkatan bersenjata.

Memang (2) tantangan riil memerintah tidak serta-merta mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai dan ideologi asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal, kecuali dalam soal ekonomi. Yang pasti, mereka akan lebih terbuka pada pragmatisme.

Namun, di tingkat aksi besar, kemungkinan mereka tak akan mengambil portofolio kementerian yang sensitif, seperti soal pertahanan dan urusan luar negeri. Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi Hamid, kemungkinan tak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair edisi Mei-Juni 2011).

(3) Radikalisasi atau moderasi kalangan Islamis juga ditentukan oleh sistem politik negara masing-masing. Faktor ini ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau tetap otoriter sebagaimana Iran ataupun Gaza.

Di Tunisia ataupun Mesir, masih berlangsung tarik-menarik soal konstitusi, sistem pemerintahan, dan posisi militer. Semua itu kelak ikut menentukan paras dan performa kaum Islamis di kekuasaan. Kaum Islamis Turki, misalnya. bermetamorfosis karena berbagai faktor, seperti sistem politik dan militer, massa sekuler, serta geopolitik.

Terakhir, (4) kaum Islamis hanya bersedia mengompromikan nilai-nilai ideal dan ideologi asasi mereka ”dengan berat hati” dan ”hanya oleh tekanan yang sangat besar”. Kegagalan memperoleh mayoritas mutlak di parlemen dan mewujudnya lapisan masyarakat sekuler yang kritis seperti di Tunisia dan Mesir mungkin memaksa mereka jadi moderat. Interdependensi dengan dunia luar juga memengaruhi fluktuasi radikalisasi dan moderasi ini.

Dalam konteks Mesir, kalangan Ikhwani dari Partai Kebebasan dan Keadilan akan berkoalisi dengan Salafis Partai Cahaya (Hizb an-Nur), kemungkinan akan mengegolkan legislasi konservatif yang berdampak pembatasan kebebasan sipil. Mereka tak akan membatalkan Perjanjian Damai Camp David (1979) yang bisa memicu ketegangan diplomatik dan hilangnya kompensasi damai 3 miliar dollar AS per tahun dari AS dan periode perang-damai yang bisa mempercepat keruntuhan rezim.

Beberapa studi menunjukkan, perilaku kaum Islamis di kekuasaan lebih mengarah ke moderasi ketimbang radikalisasi. Retorika sebelum berkuasa tak akan langsung dibuktikan saat berkuasa, terlebih apabila eksistensi mereka justru terancam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar