Di
Bawah Naungan Islamis
Novriantoni Kahar, PENGAMAT TIMUR TENGAH; ALUMNUS UNIVERSITAS AL-AZHAR, MESIR
Sumber
: KOMPAS, 31 Desember 2011
(CATATAN: Sudah Pernah Disajikan di Website Jaringan Islam
Liberal 5-12-2011)
Kemenangan beberapa partai Islam di Tunisia,
Maroko, Mesir, juga kemungkinan di Libya, Yaman, dan Suriah membuat pengamat
Timur Tengah memelesetkan istilah Musim Semi Arab (al-Rabi’ al-’Arabi) menjadi Musim
Semi Islamisme (al-Rabi’ al-Islamawi).
Panen raya elektoral kaum Islamis kini
menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme saat berkuasa. Apakah kaum
Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal?
Dengan kata lain: apakah kaum Islamis akan
mengubah sistem (transform the system) atau justru berubah oleh sistem (be
transformed by the system)?
Banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang
menjelaskan mengapa partai-partai Islamis mampu mengalahkan partai-partai
sekuler. Salah satunya adalah kegagalan rezim-rezim otoriter non-Islamis.
Partai Islamis tinggal menuduh kegagalan lawan politiknya ini ”akibat tidak
menerapkan syariat, westernis, dan kolaborator zionis”. Inilah yang
menguntungkan mereka dalam pemilu dan kini saatnya membuktikan ”Islam adalah
solusi” dalam berdemokrasi.
Eksperimen ”Islam adalah solusi” adalah fase
utopia-ideologis sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang masif
serta radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab perlu menjalankan Islamisme
dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai dan menjadikannya acuan
dalam pemilu.
Demokrasi illiberal
Prasangka bahwa kalangan Islamis akan
membajak demokrasi lalu menegakkan otoritarianisme berwajah baru memang
beralasan. Misalnya, Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir Essam
El-Arian mengatakan, dia tak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal demi berdemokrasi. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam seperti
soal jilbab bisa saja diagendakan ketika mereka berkuasa. Maka, Mesir pasca-Mubarak
bisa jadi akan bertranformasi dari ”negara otoriter semi-liberal” menuju
”negara demokrasi illiberal” dalam formulasi Fareed Zakaria.
Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi
illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan,
AS—sebenarnya sama-sama melanggar hak asasi manusia.
Otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak
dasar dan kebebasan primordial individu, tetapi hal itu dapat diabaikan jika
dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah
yang terjadi pada masa Hosni Mubarak.
Dalam sistem demokrasi illiberal, pelanggaran
terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani mayoritas.
Jenis dan volume kebebasan warga negara ditentukan oleh selera mayoritas. Hak
dasar atas kebebasan pun dianggap tidak melekat pada individu.
Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat
beralasan di Mesir ataupun Libya; tetapi tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi
Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin, merumuskan: apabila ada kesempatan, kalangan
Islamis yang berkuasa pasti akan mengusung legislasi-legislasi sosial yang
konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi seksual,
pengetatan aturan perempuan, dan aspek-aspek trivial dari Islam.
Namun, sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimistis
bahwa kultur dagelan (ruh al-marh) yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat
Arab yang relatif terbuka justru akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan
legislasi sosial yang illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).
Berubah atau Gagal
Tidak ada jalan lain. Pilihan kaum Islamis
pada era demokrasi adalah gagal memerintah atau berubah. Olivier Roy percaya,
alih-alih memaksakan ketentuan syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis
justru akan memeluk kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic
of the state).
Penilaian normatif di atas kurang
menggambarkan pola-pola hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James
Piscatori yang menguji tiga model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan
Palestina menampilkan beberapa catatan menarik.
Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah
serta-merta akan menjadi rompi pengekang (strait jacket) kalangan Islamis untuk
bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah dari
Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara
pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun
berubah dari retorika ”perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom
keluarga” menjadi penyertaan perempuan secara lebih aktif dalam kegiatan
sosial, parlemen, bahkan angkatan bersenjata.
Memang (2) tantangan riil memerintah tidak
serta-merta mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai dan ideologi
asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal, kecuali dalam
soal ekonomi. Yang pasti, mereka akan lebih terbuka pada pragmatisme.
Namun, di tingkat aksi besar, kemungkinan
mereka tak akan mengambil portofolio kementerian yang sensitif, seperti soal
pertahanan dan urusan luar negeri. Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi
Hamid, kemungkinan tak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair
edisi Mei-Juni 2011).
(3) Radikalisasi atau moderasi kalangan
Islamis juga ditentukan oleh sistem politik negara masing-masing. Faktor ini
ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau
tetap otoriter sebagaimana Iran ataupun Gaza.
Di Tunisia ataupun Mesir, masih berlangsung
tarik-menarik soal konstitusi, sistem pemerintahan, dan posisi militer. Semua
itu kelak ikut menentukan paras dan performa kaum Islamis di kekuasaan. Kaum
Islamis Turki, misalnya. bermetamorfosis karena berbagai faktor, seperti sistem
politik dan militer, massa sekuler, serta geopolitik.
Terakhir, (4) kaum Islamis hanya bersedia
mengompromikan nilai-nilai ideal dan ideologi asasi mereka ”dengan berat hati”
dan ”hanya oleh tekanan yang sangat besar”. Kegagalan memperoleh mayoritas
mutlak di parlemen dan mewujudnya lapisan masyarakat sekuler yang kritis
seperti di Tunisia dan Mesir mungkin memaksa mereka jadi moderat.
Interdependensi dengan dunia luar juga memengaruhi fluktuasi radikalisasi dan
moderasi ini.
Dalam konteks Mesir, kalangan Ikhwani dari
Partai Kebebasan dan Keadilan akan berkoalisi dengan Salafis Partai Cahaya
(Hizb an-Nur), kemungkinan akan mengegolkan legislasi konservatif yang
berdampak pembatasan kebebasan sipil. Mereka tak akan membatalkan Perjanjian
Damai Camp David (1979) yang bisa memicu ketegangan diplomatik dan hilangnya
kompensasi damai 3 miliar dollar AS per tahun dari AS dan periode perang-damai
yang bisa mempercepat keruntuhan rezim.
Beberapa studi menunjukkan, perilaku kaum
Islamis di kekuasaan lebih mengarah ke moderasi ketimbang radikalisasi.
Retorika sebelum berkuasa tak akan langsung dibuktikan saat berkuasa, terlebih
apabila eksistensi mereka justru terancam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar