Intoleransi
Intra dan Antar Agama
Azyumardi Azra, ANGGOTA
COUNCIL ON FAITH, WORLD ECONOMIC FORUM, DAVOS
Sumber : KORAN TEMPO, 27 Desember 2011
Konflik
berbau agama masih sangat laten di Indonesia. Sepanjang 2011, menurut catatan
Setara Institute, terjadi setidaknya 244 kasus pelanggaran terhadap kebebasan
beragama yang mencakup pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan.
Angka ini tidak terlalu jauh menurun dibanding 2010, yang dalam catatan Setara
Institute mencapai 262 kasus serupa.
Selain
itu, terjadi beberapa kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang sering dikutip orang: kasus gereja HKBP Ciketing yang berlarut-larut
sejak 2010; kekerasan massal terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, 6
Februari 2011; pembakaran tiga gereja di Temanggung, 8 Februari 2011; serta bom
bunuh diri masing-masing di Masjid Polresta Cirebon 15 April 2011 dan di GBIS
Solo 25 September 2011. Kasus-kasus ini secara jelas menunjukkan masih
bertahannya intoleransi intra dan antar-agama dengan melibatkan kekerasan di
Tanah Air.
Lebih
jauh, kasus-kasus seperti itu sering menjadi pertanyaan dan gugatan berbagai
pihak dalam banyak forum internasional. Sebagai contoh, dalam dialog dengan
Parlemen Eropa di Brussel pada 1 Juni 2011, seorang audiens dengan menyebutkan
kasus Ciketing dan Cikeusik menyatakan Indonesia terlihat mengalami peningkatan
intoleransi dan kekerasan berbau agama. Bagi dia, Indonesia gagal mewujudkan
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin UUD 1945.
Agak
terperangah menghadapi gugatan ini, saya terpaksa bersikap defensif dan
apologetik dengan menyatakan adanya kasus-kasus semacam itu tidak bisa menjadi
dasar sweeping generalization untuk mengambil kesimpulan bahwa kehidupan
beragama di Indonesia secara keseluruhan telah dikuasai intoleransi dan
kekerasan; seolah-olah tidak ada lagi kerukunan intra dan antar-agama.
Sebaliknya, secara umum, kehidupan dan hubungan intra dan antar-agama masih
relatif baik di banyak provinsi dan daerah Indonesia. Meski demikian, keadaan
ini tidak bisa disikapi secara taken for granted, karena masih banyak
terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kegagalan
Pemerintah
Jika
kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan masih belum sesuai dengan UUD 1945,
lebih memprihatinkan lagi, pemerintah masih terlihat gagal menegakkan
Konstitusi untuk menjamin kebebasan, toleransi, dan kehidupan bersama yang
damai bagi setiap dan seluruh warga negara. Belum terlihat kebijakan dan
langkah sistemik untuk mencegah pelanggaran hak konstitusional para warga
tersebut; dan sebaliknya berusaha sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya.
Kegagalan
itu pertama-tama terkait dengan ketidakseriusan aparat penegak hukum sejak dari
Polri, kejaksaan, sampai pengadilan menegakkan hukum guna mencegah terus
terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Misalnya
saja, Polri tidak mampu menghentikan dan bahkan cenderung melakukan “pembiaran”
terhadap berbagai tindakan intoleran dan kekerasan, baik intra maupun
antar-agama.
Jika para pelaku kekerasan akhirnya ditahan Polri dan diproses
lebih lanjut ke pengadilan, mereka umumnya dijatuhi hukuman relatif sangat
ringan hanya dalam bilangan beberapa bulan hukuman kurungan. Dengan begitu,
aparat penegak hukum gagal memperlihatkan kepada publik bahwa tindakan
intoleransi dengan kekerasan tidak bisa ditenggang sama sekali.
Lebih
parah lagi, pesan toleransi pada tingkat pemerintahan cenderung hanya sekadar
jargon dan basa-basi daripada merupakan realitas. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, menurut catatan Setara Institute, mengeluarkan tidak kurang 19
pernyataan publik tentang pentingnya toleransi. Tetapi pesan tinggal pesan
seperti “jauh panggang dari api”, yang tidak dilaksanakan aparat pemerintahan
pada seluruh tingkatannya.
Lebih
kontradiktif, masih terdapat kalangan pejabat tinggi pemerintah yang justru
menerima dan melayani kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan. Atau
bahkan mengeluarkan pernyataan terbuka agar kelompok dalam agama tertentu
dinyatakan sebagai terlarang. Tak kurang memprihatinkan, Polri malah bekerja
sama dengan berbagai kelompok seperti itu untuk turut melakukan “pengamanan”
masyarakat. Apa jadinya negara ini jika kelompok sipil malah seolah mendapat
pembenaran dan sekaligus memperoleh semacam otoritas?
Peran
Masyarakat Sipil
Meski
perkembangan kehidupan beragama 2011 masih ditandai bertahannya berbagai gejala
intoleransi, sementara belum ada tanda meyakinkan bagi perbaikan, apa yang
masih bisa diharapkan ke depan pada 2012 dan seterusnya?
Pada
satu segi, kita masih layak memelihara cara pandang positif bahwa, dalam
perspektif perbandingan dengan banyak negara lain, kehidupan intra dan
antar-agama di Indonesia umumnya masih lebih baik. Jika ada kejadian
intoleransi dan kekerasan intra dan antar-agama di tempat tertentu, tidak
terlihat gejala secara signifikan penyebaran hal seperti itu ke berbagai
pelosok Nusantara lainnya.
Keadaan
ini boleh membuat kita sedikit optimistis: intoleransi dan kekerasan bukanlah
sikap dasar mayoritas warga bangsa. Hal ini sejalan dengan temuan Pew Research
Institute (2011) tentang kehidupan agama secara global. Meski demikian,
intoleransi dan kekerasan berbau agama bukan tidak bisa meruyak, sehingga perlu
diwaspadai dan dicermati karena memang ia tetap laten di sebagian bangsa kita.
Optimisme
itu kian memiliki pijakan kuat karena tanah air kita kaya akan berbagai
organisasi masyarakat sipil (civil society/CS), khususnya yang berbasis
agama, seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas arus utama lain; dan juga
majelis-majelis agama yang mewakili beragam agama di Indonesia. Mereka memiliki
komitmen kuat bagi terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada saat
yang sama, melalui berbagai program seperti dialog intra dan antar-agama,
mereka terus berusaha memperkuat saling pengertian dan kerja sama. Tantangan ke
depan bagi religious-based civil society ini adalah memperluas dialog
dan kerja sama mereka ke berbagai lapisan kepemimpinan, khususnya pada tingkat
menengah dan bawah.
Selain itu, optimisme juga bersumber dari
adanya masyarakat sipil yang tergabung dalam LSM Advokasi yang bergerak dalam
pemantauan kehidupan agama. Mereka ini juga sangat penting karena terus
memantau, mencatat, dan berteriak lantang tentang bahaya laten intoleransi dan
kekerasan yang tidak hanya mengganggu kehidupan keagamaan, tetapi juga
kehidupan negara-bangsa secara keseluruhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar