Antara
Konsolidasi Kekuasaan dan
Relevansi
Media bagi Publik
Ignatius Haryanto, DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA STUDI
PERS DAN PEMBANGUNAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 28 Desember 2011
Menjelang
tutup tahun 2011, kita melihat banyak hal yang penting untuk digarisbawahi atas
sejumlah peristiwa yang menyangkut perkembangan pers/media di Indonesia. Ada
beberapa peristiwa atau fenomena yang penting maknanya terjadi pada 2011 ini:
yang paling menonjol adalah bagaimana kekuatan politik, ekonomi, dan media
makin bersatu-padu menjelang Pemilihan Umum 2014. Kemudian kita pun melihat
betapa kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi. Sementara itu, kita pun
melihat bagaimana pengaturan terhadap pers/media terus dilakukan.
Kita
akan mulai dengan menengok kembali bagaimana kerja sama dilakukan oleh kedua
pemilik media, yaitu Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo, ketika akhirnya
pemilik Grup MNC ini masuk ke partai politik baru yang dipimpin oleh Surya
Paloh. Sekarang kita melihat konstelasi bagaimana sebuah partai baru yang belum
dikenal publik dan belum membuktikan kiprahnya dalam pemilu telah memiliki
senjata media yang lengkap, dari surat kabar, televisi, radio, hingga media online.
Empat dari 10 stasiun televisi yang bersiaran nasional memberikan favoritisme
kepada Nasional Demokrat sebagai partai politik.
Bandingkan
situasi ini dengan favoritisme kepada Partai Golkar, di mana ketua umumnya
adalah bos dari dua stasiun televisi nasional: ANTV dan TV One.
Sementara itu, stasiun televisi sisanya belum terlihat secara signifikan
menunjukkan favoritisme tertentu, walau satu-dua mungkin sudah perlahan-lahan
menunjukkan keberpihakannya. Namun bagaimana dengan partai politik lain yang
tak memiliki akses pada media-media yang ada? Apakah ini situasi yang fair?
Silakan publik yang menjawabnya.
Tiga
Kekuatan
Menjelang
Pemilu 2014, dua tahun lagi, kita akan melihat tiga kekuatan yang terus
dimobilisasi oleh berbagai pihak, yaitu kekuatan politik (dalam bentuk dukungan
partai-partai), kekuatan ekonomi (dalam rupa uang sebagai logistik, yang datang
dari pelbagai sumber), serta kekuatan media (yang diharapkan bisa menyiramkan
citra-citra positif dari para politikus yang hendak bertarung dua tahun ke
depan). Ketiga kekuatan yang dimobilisasi ini merujuk pada penumpukan kekuasaan
yang diistilahkan oleh almarhum Prof Dedy Nur Hidayat sebagai “M-P-M” (money-power-more
money).
Di
luar pertarungan menuju Pemilu 2014, kita memang melihat betapa industri media
di Indonesia masih berkembang dengan pesat. Kondisi inilah lagi-lagi yang
membedakan dengan kemurungan yang terjadi di Eropa dan Amerika terkait dengan
industri media, di mana kondisi perekonomian di kedua belahan dunia itu memang
sedang sakit parah. Tak ada alasan untuk terlalu khawatir bahwa surat kabar di
Indonesia akan banyak tutup dalam waktu dekat sebagaimana pernah disebutkan
oleh sejumlah jurnalis senior atau pengamat. Jika merujuk pada data yang
disebutkan oleh Merlyna Lim (2011), kita akan melihat jumlah surat kabar dan
majalah di Indonesia stabil di angka 1.000 penerbitan di seluruh Indonesia, dan
tren ini rasanya masih akan terus bertahan dalam beberapa waktu ke depan.
Dalam
dunia penyiaran, kita melihat memang industri ini sangat menggiurkan secara ekonomi.
Total belanja iklan (untuk seluruh jenis media) pada 2010 telah mencapai angka
Rp 60 triliun, dan 90 persen di antaranya masuk ke industri televisi. Dengan
nilai sebesar itu, siapa pengusaha--juga politikus--yang tidak mengincar
industri ini untuk didekati, baik dalam kepentingan ekonomi ataupun politik?
Mungkin pula ini alasan mengapa akhirnya Grup Kompas Gramedia mau “comeback”
masuk ke dunia pertelevisian, setelah sebelumnya mereka memiliki TV7
sebelum kemudian dijual kepada Trans Corp pada 2006.
Apakah
ada agenda-agenda politik di balik pembelian media-media tersebut? Prinsip
utama yang hendak dibela di sini adalah keragaman pemilik dan keragaman isi
media (diversity of ownership, and diversity of content). Apakah prinsip
ini dalam kondisi terancam ketika banyak media mulai makin mengerucut di tangan
segelintir orang saja? Apakah sejumlah stasiun televisi yang bernaung di satu
grup media otomatis berarti ia telah menawarkan keragaman isi medianya? Para
pekerja media di sini pun ada dalam kondisi yang tak mudah. Apakah
kesejahteraan mereka meningkat seturut dengan meningkatnya kinerja keuangan
grup-grup besar itu? Dan apakah grup-grup besar media ini memberikan
keleluasaan untuk hadirnya serikat pekerja media yang tak hanya bicara soal
kesejahteraan pekerja, tetapi juga membela independensi ruang-ruang redaksi
dari aneka kepentingan yang mau selalu mendikte mereka?
Mengatur
Media
Dewan
Pers menjelang akhir 2011 sudah menyelesaikan draf untuk panduan bagi media cyber
melakukan kegiatan jurnalistiknya. Kita mengetahui, perkembangan media cyber
adalah suatu belantara tersendiri yang di dalamnya juga terkandung sejumlah
kompleksitas. Dewan Pers bersama sejumlah pengelola situs berita online
berkali-kali bertemu untuk merumuskan panduan ini. Bagaimanapun usaha ini harus
diapresiasi, walaupun nature dari media online ini sering kali
adalah bauran-bauran apa yang disebut sebagai jurnalistik dan bukan
jurnalistik.
Selain
itu, di DPR telah banyak dibicarakan masalah revisi Undang-Undang Penyiaran,
lalu juga yang menyangkut era digitalisasi, serta kondisi konvergensi media.
Tiga hal ini dibicarakan, namun tidak menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan. Sementara itu, sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam
Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) belum lama ini
mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk mempertanyakan apakah
merger-merger yang dilakukan oleh sejumlah grup media ini bertentangan dengan
konstitusi atau tidak. Proses uji materi ini masih berlangsung.
Sisi
lain dari perkembangan industri media yang marak, kita pun melihat bagaimana
hubungan antara media yang ada di pusat (Jakarta) dan yang ada di daerah-daerah
(luar Jakarta) dalam kondisi yang mendominasi. Kemunculan TV Kompas
(kini hanya disebut sebagai “Kompas” dalam versi TV) menyiratkan
kompleksnya masalah perizinan untuk menjadikan TV saling berjaringan. Fenomena
beli-membeli stasiun televisi yang dilakukan sejumlah grup televisi menunjukkan
esensi dari UU Penyiaran tahun 2002 belum ditangkap sepenuhnya oleh para
pebisnis, atau mereka tahu namun menghindari semangat berjaringan tersebut.
Sederhana saja, menurut mereka, kondisi ini tidak ekonomis.
Kekerasan
terhadap Wartawan
Dua
hal yang disebutkan di sini mungkin dalam suatu relasi yang saling berhubungan,
mungkin juga tidak. Kekerasan terhadap wartawan masih terjadi di berbagai
tempat, dan Aliansi Jurnalis Independen selalu mengangkat hal tersebut dan
memiliki catatan yang lengkap atas kekerasan yang menimpa wartawan. Terakhir
adalah kasus wartawan Rote Ndao News di Nusa Tenggara Timur.
Kekerasan terhadap wartawan tentu kita
sesali, namun kita pun perlu berefleksi, apa yang menjadi dasar kekerasan
terhadap wartawan terus terjadi? Apakah ini bermula dari ketidakprofesionalan
wartawan? Dalam beberapa kasus, mungkin hal itu yang terjadi. Namun, dalam
kasus lain, pihak aparat keamanan, narasumber yang tersinggung, juga
menunjukkan ketidakprofesionalan mereka. Namun, lepas dari itu semua, publik
menginginkan pekerja media yang terus mengasah diri menjadi makin profesional.
Dengan wartawan yang profesional, publik akan lebih bisa mempercayai produk
informasinya. Dan, jika tidak, media semacam ini akan makin kehilangan
kepercayaan publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar