Kamis, 29 Desember 2011

Karakter Bangsa dalam Media


Karakter Bangsa dalam Media
Triyono Lukmantoro, DOSEN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 29 Desember 2011


"Tanpa media, bangsa dan karakter yang hendak dibentuknya tak mungkin dapat dikomunikasikan pada anggota komunitas yang dibayangkan itu"

ADA kaitan yang tidak terpisahkan antara media massa dan formasi karakter bangsa. Media tidak sekadar membantu tapi bahkan mampu mengarahkan pembentukan karakter itu. Tentu saja, dalam membentuk dan mengarahkan berbagai karakter bangsa, media tidak menjalankannya sebagaimana para tokoh etikawan ataupun pemandu moralitas. Media mengoperasikannya melalui aneka mekanisme spesifik, seperti memprioritaskan berita-berita yang dianggap penting bagi kehidupan publik, menampilkan wawancara dengan tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi, dan bahkan teknik lain yang dapat ditempuh adalah melalui produksi berbagai jenis hiburan.

Lebih dari semua itu, yang disebut sebagai bangsa terlahir dari wacana yang dihasilkan oleh media. Fenomena itu dapat disimak dalam kajian Benedict Anderson (Imagined Communities, 2006). Bangsa, demikian Anderson berpendapat, adalah komunitas politik yang dibayangkan. Apa yang dibayangkan itu bergulir dari kapitalisme cetak (print capitalism) yang sudah begitu meluas dalam kehidupan masyarakat.

Melalui kapitalisme cetak itu, berbagai kelompok yang memiliki bahasa khas mampu berkomunikasi. Kapitalisme cetak juga memberikan kepastian bahasa yang mampu membentuk gagasan subjektif tentang bangsa. Pada akhirnya kapitalisme cetak pun menciptakan bahasa kekuasaan yang berbeda dari bahasa kelompok administratif lama.

Pendapat yang dikemukakan Anderson tentang bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan itu memberikan perspektif tersendiri, yakni betapa penting kekuatan media dalam sejarah manusia terjajah untuk melawan ketertindasannya. Hal yang harus dijelaskan lebih jauh adalah mengapa bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan? Anderson mengemukakan empat alasan substansialnya.

Pertama; dibayangkan karena anggota-anggota dari bangsa yang paling kecil sekali pun tidak pernah saling mengenal, bertemu, dan bahkan mendengar keberadaan mereka. Kedua; dibayangkan karena bangsa yang paling besar sekali pun memiliki batas wilayah jelas. Ketiga; dibayangkan karena bangsa hendak mendirikan kedaulatan dalam zaman Pencerahan dan Revolusi untuk menghancurkan dinasti-dinasti politik yang mengklaim kekuasan dari Tuhan yang berwatak hierarkis. Keempat; dibayangkan sebagai komunitas karena bangsa dipandang sebagai bentuk perkawanan (comradeship) horizontal ketika terjadi ketidakadilan dan eksploitasi.

Kesadaran Nasional

Tampaknya, dengan perkembangan globalisasi dan merebaknya industri media (televisi dan internet), Anderson ingin menegaskan kembali kekuatan media dalam formasi nasionalisme pada saat ini. Dalam penilaiannya, televisi dengan berbagai tayangannya yang menonjolkan aspek spektakularitas imaji-imaji dan simbol-simbol mampu memungkinkan terjadinya komunikasi yang bersifat cepat. Penduduk di suatu negeri yang memiliki tingkat keterampilan menonton yang berbeda dan berbahasa secara berlainan pula makin terbiasa menggunakan media ini.

Pada momentum itu, terciptalah identifikasi nasional. Hal ini ditambah lagi dengan perkembangan media internet, perbankan elektronik, dan perjalanan internasional yang murah menjadikan banyak orang memberikan pengaruh yang kuat terhadap tanah kelahiran mereka meskipun mereka tidak lagi berkeinginan untuk tinggal di negeri asalnya itu. Dalam perkembangan media yang sangat pesat itu dapat disimpulkan bahwa nasionalisme bangsa Barat dan bangsa Timur ternyata tidak memiliki perbedaan tajam.

Hal ini dapat dipahami bahwa perkembangan media menjadikan pola-pola pembentukan kesadaran nasional dengan berbagai karakternya pada berbagai bangsa mengikuti rute yang serupa. Media menjadi kekuatan yang menentukan di dalamnya. Tanpa media, bangsa dan karakter yang hendak dibentuknya tidak mungkin dapat dikomunikasikan pada anggota-anggota komunitas yang dibayangkan tersebut.

Dengan demikian, media memang dapat dipandang sebagai agen konstruksi bangsa. Dikatakan demikian karena media membentuk, membangun, dan juga mereka-ulang tentang realitas sosial bernama bangsa. Sebagai agen atau kekuatan konstruksi realitas, media tidak akan mampu terlepas dari keinginan dan kehendaknya untuk mengoperasikan politik representasi.

Sementara itu, sebagaimana dikemukakan Jen Webb (Understanding Representation, 2009), apa yang disebut sebagai politik representasi dapat diartikan sebagai dimensi-dimensi etis tentang bagaimana kita mendelegasikan, memberikan dan mengorganisasikan objek-objek, gagasan-gagasan dan makna-makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar