Arus
Balik Reformasi Indonesia
Maria M. Wihardja, PENELITI DI CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES
Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011
Dewasa ini Indonesia jadi pusat perhatian
para investor, apalagi setelah Fitch menaikkan peringkat investasi Indonesia
menjadi Investment Grade.
Tampaknya kini Indonesia siap jadi pemain
ekonomi global yang diperhitungkan.
Benarkah demikian?
Saya sependapat dengan Hall Hill, HW Arndt
Professor di Australian National University, bahwa tak diragukan retorika dan
prestasi ekonomi Indonesia cukup mengagumkan. Namun, gejala-gejala menguatnya
arus balik reformasi kebijakan ekonomi terbuka dan beberapa persoalan akut
tetap ancaman mengkhawatirkan bagi para investor.
Larangan ekspor semua jenis rotan mentah
sudah dikeluarkan dan hanya barang rotan jadi yang boleh diekspor. Di samping
itu, pemerintah bertekad swasembada garam konsumsi dan industri. Sementara itu,
mulai pertengahan tahun 2012, buah dan sayuran segar hanya bisa masuk di empat
(sebelumnya delapan) pelabuhan. Undang-Undang Pertanian tahun 2010 menetapkan
pemberian prioritas kepada produk-produk pertanian lokal. Hambatan-hambatan
juga bertambah di berbagai bidang usaha jasa seperti pendidikan tinggi.
Selain itu, iklim usaha semakin tidak
menentu. Insentif-insentif fiskal sedang diperkenalkan secara ad hoc dengan
kriteria penerima tidak jelas. Demikian pula ketidakpastian jaminan izin usaha
di bidang pertambangan saat ini sedang jadi topik utama.
Arus barang dan jasa antarprovinsi hingga
kini masih terkena berbagai pungutan legal dan ilegal. Hambatan-hambatan ini
salah satu penyebab mengapa lebih murah mengangkut rotan dari Sulawesi ke China
dibandingkan ke Pulau Jawa.
Pembalikan Arah
Beberapa hambatan ini bertentangan dengan
komitmen-komitmen pemerintah kepada masyarakat internasional.
Sebagai anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN,
Indonesia seharusnya telah menghapus semua hambatan nontarif pada akhir 2010.
Namun, pemerintah malah menciptakan kebijakan nontarif. Ada juga tekanan yang
kuat untuk mundur dari kesepakatan ASEAN-China FTA (ACFTA) yang telah berlaku
sejak awal 2010, walaupun Indonesia telah menandatanganinya pada 2004.
Mengapa terjadi pembalikan arah reformasi?
Pertama, walau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menang besar pada Pemilu 2009,
landasan koalisi partai pemerintahan amat rapuh. Walaupun koalisi pemerintah
menduduki hampir 75 persen kursi di DPR, mereka lebih tertarik mempersiapkan
diri untuk Pemilu 2014. Salah satu isu murah tapi populis untuk menarik simpati
publik, meski tak menguntungkan perekonomian Indonesia dalam prospektif
regional-global, adalah proteksionisme.
Kedua, meski retorika perdagangan bebas tetap
kedengaran di berbagai pertemuan internasional, banyak negara saat ini berputar
haluan ketika terjadi resesi global. Putaran Doha WTO masih jauh dari
pencapaian sebuah kesepakatan akhir. Sengketa perdagangan dan nilai tukar
antara Amerika Serikat dan China sudah mulai terjadi.
Ketiga, walaupun rupiah telah melemah kembali
dalam beberapa bulan terakhir, apresiasi nilai tukar rupiah sebelumnya—yang
merupakan cerminan dari meningkatnya ekspor komoditas dan arus masuk modal
asing—telah memberikan tekanan terhadap industri-industri Indonesia yang diperdagangkan
secara internasional.
Keempat, penyediaan lapangan kerja Indonesia
terus menjadi kelemahan yang nyaris tak dapat mengejar pertumbuhan angkatan
kerja. Oleh karena itu, ada persepsi bahwa globalisasi tak memberikan
keuntungan yang dapat dinikmati semua orang.
Perlu ditekankan, kelemahan penyediaan
lapangan kerja bukan datang dari globalisasi tetapi dari iklim bisnis yang
tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah undang-undang ketenagakerjaan
yang sangat kaku, yang membuat enggan para pengusaha untuk menambah pekerja.
Beberapa Prasyarat
Meski demikian, bukan berarti perekonomian
Indonesia tak berpeluang untuk berperan dalam ekonomi global. Beberapa
persyaratan perlu dipenuhi.
Pertama, Presiden mungkin memberikan
pernyataan yang jujur, tetapi dia masih harus bergulat untuk mewujudkan
visinya. Namun, itu tidak mudah, mengingat para pendukung reformasi dari luar
politik yang berada di dalam pemerintahan—yang berjuang di barisan belakang pertempuran—terus
diserang dengan julukan peyoratif ”neo-lib”.
Kedua, kebijakan perdagangan serta kebijakan
pendukung lain harus didasari studi-studi akademik obyektif dan tidak
ditunggangi kepentingan populis dan pencari rente. Banjir produk asing tak
boleh jadi alasan pemerintah menutup diri. Pemerintah justru harus memperbaiki
regulasi, infrastruktur, dan birokrasi. Perlu diingatkan, meningkatkan hambatan
nontarif bukan hanya mengundang retaliasi negara lain, melainkan juga
meningkatkan kesempatan menarik pungutan ilegal dan memperbesar arus
barang-barang ilegal.
Momentum dewasa ini harus dimanfaatkan dengan
maksimal. Peningkatan peringkat investasi Fitch didasarkan pada makroekonomi
indikator yang kuat, tetapi sering kali realitas di sektor mikroekonomi dan
sektor riil berbeda, seperti tingginya pengangguran usia muda di kisaran 21
persen. Peningkatan peringkat investasi bisa mendatangkan investasi masuk.
Namun, tanpa diimbangi reformasi domestik dan iklim bisnis, masuknya investasi
justru bisa mendatangkan wabah bagi Indonesia, seperti pelarian modal di
kemudian hari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar