Plato
dan Pengadilan Calciopoli
Siti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYA
Sumber
: SUARA KARYA, 30 Desember 2011
Sejarawan TS Illiot berkata, "Kalau ingin menuai kehidupan
yang lebih baik, kemajuan, dan pencerahan, maka belajarlah dari peristiwa masa
lalu. Apa yang terjadi di masa lalu, adalah guru yang paling menentukan warna kehidupan
masa kini dan masa depan."
Pernyataan itu mengingatkan para penyelenggara negara untuk mau
belajar dari sejarah. Kalau mereka betul-betul mau belajar dari sejarah, maka
mereka bukan hanya sukses menghadirkan dirinya sebagai pelaku sejarah yang
negarawan, tetapi juga akan dicatat di hati rakyat sebagai pejuang dan pahlawan
riil karena jasa-jasanya yang dikontribusikan untuk negeri.
Sayangnya, banyak elemen negara, khususnya elemen penegak hukum
yang tidak mau belajar dari sejarah. Perjalanan buram jagat penegakan hukum di
Indonesia, yang hingga orde reformasi ini masih sarat dengan "borok",
merupakan bukti emprik kalau komunitas penegak hukum masih belum menginginkan
terwujudnya atau membuminya pencerahan. Mereka masih menyukai terkerangkeng dan
terhegemoni oleh sekumpulan petualang politik dan ekonomi (pengusaha) yang
dinilai mampu menyenangkan dan menguntungkannya lewat kolaborasi berparadigma
penyamanan dan pelanggengan praktik korupsi.
Itulah diantaranya yang diingatkan oleh Guru Besar Indriyanto Seno
Adji (17 Oktober 2011), bahwa pemberantasan korupsi menuju ambang kegagalan.
Ini ditengarai terjadi karena maraknya intervensi penguasa dan pengusaha.
Penegak hukum seperti jaksa, polisi, hakim, bahkan komisi pemberantasan korupsi
(KPK), belum sepenuhnya bebas dari intervensi.
Rekaman KPK berdurasi 4,5 jam yang pernah disiarkan MK, setidaknya
dapat dijadikan sebagai agenda sejarah yang menunjukkan atau melengkapi tragedi
yang menimpa dunia peradilan di negeri ini, atau membenarkan kalau peradilan
Indonesia sedang diserang terjangkit tumor ganas, yang penyakit ini bisa
menggerogoti dan memasturbasinya sampai mati.
Mereka itu membuat wajah peradilan layaknya sanggar dagelan yang
mempertontonkan sepak terjang segelintir orang yang dengan gampangnya melucuti
atau menelanjangi hukum sebulat-bulatnya. Supremasi hukum di tangan penegaknya
tak ubahnya macan kertas yang "ditenggak" sendiri atau dibuat tidak
berdaya menghadapi taring-taring gorila atau kriminal elit ganas yang
mencengkeram dan menghegemoninya.
Pengadilan skandal dunia sepakbola professional di Italia
(Calciopoli) yang menghukum beberapa klub yang terlibat pengaturan skor
pertandingan layak dijadikan pelajaran bersejarah bukan hanya oleh manajer
sepakbola semacam PSSI, tetapi juga oleh elit fundamental yang membingkai
manajemen peradilan Indonesia mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK,
KY, MK, maupun institusi lain yang mengibarkan bendera hukum.
Pengadilan yang menangani skandal pengaturan skor pertandingan di
Italia tersebut tetap tidak bergeming dengan pengaruh publik yang maunya
meminta ada "toleransi" dengan klub-klub yang telah berjasa
menyumbangkan sebagian besar pemainnya dalam mengantarkan Tim Nasional Italia
menjuarai Piala Dunia 2006, suatu gelar bergengsi, yang barangkali bagi negeri
(Indonesia) ini hanya sebatas mimpi.
Klub sebesar Juventus maupun AC Milan, yang waktu itu paling
banyak menyumbangkan pemainnya di Timnas Italia, tetap terkena hukuman yang
tergolong berat. Jasa besar yang sudah diberikan kedua klub ini pada citra
negara, tidak membuat pengadilan calciopoli bergeming atau memberikan hak
privilitasnya. Tidak ada perlakuan istimewa atau penganaak-emasan pada klub
yang terbukti mempermainkan "hukum sepakbola" atau citra hukum di
jagad olahraga.
Saat itu, Juventus, yang di dalamnya terdapat sejumlah besar
pemain tenar seperti Cammonaresi, Buffon, Del Piero, Fabio Cannavaro, atau
Zamrota, harus menerima kenyataan pahit untuk melepas gelar juaranya atau
kehilangan mahkota skudetonya, setelah pengadilan Calciopoli mencopotnya dan
menggusurnya dari Seri-A menuju Seri-B. Juventus yang merasa dirugikan oleh
pengadilan Calciopoli mengajukan upaya hukum berkali-kali, tetapi tetap juga
gagal. Akhirnya Juventus terpaksa harus memulai kompetisi di Seri-B dengan
kondisi yang porak-poranda, karena sejumlah pemain terasnya telah pindah ke
klub lain yang lebih menjanjikan masa depan.
Juventus atau Ac Milan yang berjasa pada negara dan rakyat Italia,
sepintas layaknya pepatah yang sering kita suarakan: "air susu dibalas air
tuba", suatu jasa besar, prestasi istimewa, dan reputasi di tingkat dunia,
ternyata kembali ke negeri sendiri disambut dengan pelecehan dan penghancuran.
Apa yang sudah diperjuangkan dengan susah payah demi negara, faktanya bukan
penghargaan yang diperoleh, tetapi justru sanksi hukuman menyakitkan. (Zahra,
2011).
Meski begitu, kedua Klub itu tetap sportif, berjiwa besar, atau
menerima menjalani sanksi hukum yang diberlakukan kepadanya. Juventus mau
menjalani pertandingan di level klas dua yang jauh dari sorotan media. Mengapa
klub bermodal besar seperti Juventus mau menerima "dikalahkan" atau
disungkurkan oleh pengadilan demikian?
Karena, Pengadilan Calciopoli sudah dipercaya menjadi pengadil
yang berasas fair play, jujur, adil, tidak diskriminatif, dan independen, demi
tegaknya kedisiplinan, ketertiban, dan keharmonisan sosial dalam dunia sepak
bola. Prestasi pengadilan Calciopoli tersebut terletak pada kapabilitas
moralnya dalam menjaga independensi, yang kapabilitas ini tidak dimiliki oleh
dunia peradilan di negeri ini.
Plato mengingatkan, negara adalah apa yang menjadi perilaku
manusianya. Karena itu, kita tidak dapat mengharapkan keadaan negara menjadi
lebih baik, jika manusianya tidak lebih baik juga perilakunya. Kita tidak akan
bisa mengharapkan citranya sebagai organisasi yang beradab, kalau manusianya
suka memilih perilaku tak bermoral. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar