Rehabilitasi
Sekolah Model Swakelola
Mutsyuhito Solin, KONSULTAN BASIC EDUCATION PROJECT (2001-2005);
DOSEN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Sumber
: KOMPAS, 29 Desember 2011
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggagas
untuk memperbaiki sekolah rusak dengan mekanis swakelola. Alasannya, ”mekanisme
swakelola lebih baik karena bisa menghemat anggaran 25-30 persen” (Kompas,
28/11).
Bagi mereka yang pernah terlibat
merehabilitasi sekolah dengan cara swakelola, tentu menyambut dengan sukacita
gagasan ini. Namun, dengan karut-marut pembangunan yang selalu terjerat
macam-macam bentuk korupsi, gagasan seperti ini diragukan banyak orang.
Kompas sendiri (29/11) menulis tajuk
”Mekanisme Swakelola Proyek” agar keputusan itu dikaji kembali karena faktor
kontekstual masyarakat sebagai kultur yang sudah koruptif. Selain itu,
membangun pekerjaan rehabilitasi gedung dan ruang kelas baru pun bukan
kompetensi utama lembaga pendidikan.
Gagasan Mendikbud bagus jika dilihat dalam
perspektif lebih luas. Rehabilitasi gedung sekolah rusak—bahkan membangun unit
sekolah baru—dengan model swakelola pernah dilakukan beberapa provinsi
2000-2005, difasilitasi Bank Dunia melalui Basic Education Project.
Pemberdayaan Masyarakat
SD yang rusak, terutama yang rusak berat,
umumnya ada di pinggiran kota atau di desa-desa yang jauh dari kota. Penyebab
sekolah rusak atau lebih cepat rusak dari usia penggunaan yang diharapkan
adalah karena tidak ada kepedulian sekolah. Sekolah tidak terawat, tidak
terurus, ditumpukan perbaikannya kepada dinas pendidikan. Para pemangku
kepentingan pendidikan di sekitar sekolah tak tergerak untuk berbuat apa-apa
karena kerusakan bukan bagian dari pekerjaan yang harus mereka kerjakan.
Memperbaiki SD secara teknis dengan model
tender mungkin tidak begitu berat. Akan tetapi, pemeliharaan sekolah yang diperbaiki
dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut merawat sekolah tidak dapat
diharapkan dengan model tender.
Itulah informasi yang diolah Bank Dunia
sehingga perbaikan sekolah dan pemberdayaan masyarakat dilakukan simultan.
Lurah atau kepala desa dilibatkan, diinformasikan tentang perbaikan sekolah,
sembari mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Pemangku kepentingan
pendidikan yang dipelopori oleh proyek itu sekarang sudah dikenal luas dengan
komite sekolah.
Komite sekolah (unsur masyarakat), kepala
sekolah, bendahara (unsur guru), kepala tukang (unsur masyarakat), serta proyek
yang menyediakan dana dan tenaga ahli adalah aktor-aktor yang telah
disosialisasikan ke masyarakat desa yang berperan sebagai eksekutor perbaikan
sekolah. Mereka dilatih (diberdayakan) mengenai prosedur rehabilitasi sekolah,
manajemen, dan pertanggungjawaban keuangan.
Sepanjang pengerjaannya, penyandang dana
melakukan pendampingan, terutama pendampingan secara teknis yang biasanya
mempekerjakan tenaga ahli bangunan. Para perancang sekolah yang direhabilitasi
itu memberikan jaminan terhadap mutu pekerjaan paling tidak dapat difungsikan
25 tahun.
Dampak pembangunan sekolah yang pernah
dilakukan melalui proyek Bank Dunia ini adalah meningkatnya kepedulian
masyarakat terhadap sekolah. Di Tanjung Sigoni, Kabupaten Batubara, Sumatera
Utara, masyarakat menerima dan mengapresiasi rehabilitasi sekolah di desa
mereka dengan mencanangkan ”Jumat Bersih” sebagai hari keterlibatan masyarakat untuk
mengurus dan merawat sekolah. Di Dairi, ada kepala sekolah dan masyarakat yang
berinisiatif menanam pohon dan bunga-bungaan sehingga sekolah jadi nyaman dan
potensial menuju ”sekolah hijau”.
Bangunan-bangunan sekolah itu hingga kini
masih menjadi yang terbaik di deretan sekolah-sekolah yang dibangun kemudian.
Di Nias, ada dua unit baru SMP yang dibangun dan sejumlah SD dapat terus
berdiri kokoh meski gempa pernah meluluhlantakkan kabupaten itu.
Mutu bangunan sekolah tidak diragukan karena
secara teknis diawasi konsultan bangunan. Bahkan, tukang-tukang desa juga
dibimbing konsultan sehingga keterampilan mereka meningkat. Proses pembangunan
melibatkan masyarakat. Bahan bangunan, seperti pasir dan batu, dibeli dari
masyarakat desa sehingga dengan rehabilitasi model swakelola ini perputaran
uang di desa lebih meningkat. Masyarakat desa yang masih tinggi semangat gotong
royongnya tak terlalu sulit digerakkan, apalagi itu untuk keperluan pendidikan
anak-anak mereka. Kuncinya keterbukaan, kejujuran, dan keikhlasan semua aktor
yang terlibat.
Merehab sekolah dengan swakelola, dengan
prosedur dan melibatkan aktor-aktor seperti yang pernah dilakukan melalui
proyek Bank Dunia ini, juga dapat menepis tentang kurangnya kompetensi kepala
sekolah dalam merehabilitasi sekolah. Berkaitan perilaku masyarakat yang sudah
semakin koruptif dapat dieliminasi dengan pembukuan dan pendampingan yang
intensif.
Korupsi Dapat Dicegah
Peluang korupsi pada rehabilitasi sekolah
model ini hanya pada pembelian bahan-bahan bangunan. Jumlah bahan bangunan yang
dibeli ditentukan oleh konsultan pengawas bangunan, yang disinyalir dapat
bekerja sama dengan kepala sekolah yang membeli bahan bangunan dimaksud.
Tetapi, hal itu dapat diatasi oleh petugas pengawas dan evaluasi yang dibentuk
dinas pendidikan.
Risiko untuk korupsi memang ada, tetapi
jumlahnya tidaklah besar-besaran. Jika perbuatan itu juga dilakukan, tidaklah
sulit menemukan aktor-aktornya, selain juga mudah ditindak. Namun, dibanding
dengan dampak positifnya yang dapat memberdayakan masyarakat, bangunan sekolah
dengan mutu yang baik, menambah keterampilan masyarakat, menambah perputaran
uang di desa, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan menuntaskan kesadaran
warga sekolah akan pentingnya memiliki sekolah yang baik dan nyaman, semua nilai-nilai
yang tak dapat diukur dengan uang ini masih diperlukan sekolah. Merehabilitasi
sekolah dengan sistem tender tak menampakkan nilai-nilai itu.
Selain itu, semangat membangun otonomi
sekolah dapat direalisasikan dengan model swakelola ini. Salah satu faktor
untuk menjalankan otonomi sekolah adalah ketika uang dapat diserahkan langsung
ke sekolah sebagaimana pengelolaan dana BOS. Manajemen mereka ditingkatkan
dengan merencanakan dan membelanjakan sendiri uangnya untuk kebutuhan mereka.
Mungkin ada baiknya kita tidak terlalu mencurigai pihak sekolah sembari melihat
bahwa di sana masih ada orang baik yang tulus mengabdi dan mengurus sekolah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar