Gerakan
Syariah dan Demokrasi
Hakimul Ikhwan, DOSEN SOSIOLOGI FISIPOL UGM;
SEDANG MENYELESAIKAN S-3 SOSIOLOGI
DI ESSEX, INGGRIS
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011
Satu dekade lalu, awal 2000-an, lahir banyak
produk hukum syariah di sejumlah daerah. Disebut syariah karena merujuk kepada
doktrin ajaran dan moralitas Islam.
Saat itu banyak pihak menentang, mencemaskan,
atau menaruh curiga. Perda syariah dianggap membahayakan, setidaknya berpotensi
merongrong persatuan nasional Indonesia. Bahkan, di internal Islam sendiri
terjadi pertentangan. Pihak yang menolak menilai perda syariah adalah bentuk
formalisasi, bahkan politisasi agama. Karena itu, perda syariah dikhawatirkan
mereduksi nilai-nilai sakral agama.
Setelah 10 tahun berlalu, apakah kekhawatiran
dan posisi negatif tersebut terjadi? Tulisan ini ingin melihat dimensi
sosiologis gerakan atau perda syariah. Dalam perspektif inilah penulis
menemukan fakta kontribusi positif gerakan syariah bagi transisi demokrasi
Indonesia.
Ada dua argumentasi utama. Pertama, syariah
merupakan alternatif penawar krisis hukum sistemik saat itu. Alternasi tersebut
bukan dalam pengertian substitusi formal-legalistik, melainkan diskursus
kekuasaan untuk menciptakan referensi (baru) basis tertib sosial dan moralitas.
Kedua, gerakan syariah mendorong partisipasi
politik Islam ideologis sekaligus mengonsolidasi kekuatan masyarakat sipil
(non-negara).
Penawar di Tengah Krisis
Transisi demokrasi awal tahun 2000-an
diwarnai beragam persoalan. Hal yang paling menonjol adalah ketidakmampuan
negara menjamin keamanan, ketertiban, dan kepastian hukum.
Di satu sisi, alat keamanan negara mengalami
delegitimasi dan ketakmampuan akibat beban sejarah Orde Baru; juga tuntutan
reformasi internal kelembagaan Polri dan TNI. Di sisi lain, kelompok-kelompok
sosial menikmati euforia kebebasan berekspresi, berserikat, dan berpendapat.
Ruang kebebasan menjadi arena ekspresi beragam kelompok menggunakan standar
moralitas masing-masing. Akibatnya, konflik dan ketegangan sosial sering
terjadi, bahkan berujung pada anarkisme massa dan premanisme jalanan.
Di tengah kondisi tersebut, syariah menjadi
alternatif, terutama di daerah berpenduduk mayoritas Muslim seperti Cianjur,
Bulukumba, Madura, dan Padang. Alternasi bukan dalam pengertian substitusi
formal-legalistik, melainkan lebih merupakan konstruksi diskursif sebagai
rujukan baru standar moralitas dan tertib sosial.
Disebut konstruksi diskursif karena
sesungguhnya gerakan syariah bersifat parsial dan supervisial. Parsial karena cenderung
sangat terbatas di wilayah ritual keagamaan, misalnya shalat berjemaah, membaca
Al Quran, dan berbusana muslim/muslimah. Sementara terkait problem kemiskinan,
pendidikan, korupsi, toleransi, dan integrasi sosial belum tersentuh. Apalagi
isu-isu menyangkut hubungan manusia dengan alam dan lingkungan.
Karena itu, gerakan syariah masih bersifat
supervisial, wilayah permukaan. Gerakan syariah cenderung belum berorientasi
jangka panjang penyelesaian masalah sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya, ia
masih berorientasi hasil jangka pendek dalam waktu singkat dan terukur.
Terlepas dari berbagai keterbatasannya,
diskursus syariah setidaknya mampu menjadi ikatan moralitas bersama, terutama
di daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Dalam kondisi krisis, masyarakat
membutuhkan sistem nilai yang menjadi pegangan bersama. Krisis sering kali
menimbulkan anomi di mana sistem lama tak berlaku lagi, atau terdelegitimasi,
sementara sistem baru pengganti belum ada.
Pertumbuhan pesat perda syariah terjadi dalam
periode anomi ini. Dalam konteks inilah inisiasi syariah berjasa menghindarkan
masyarakat dari risiko chaos yang lebih besar akibat ketiadaan basis nilai
(moralitas) bersama. Argumentasi ini diperkuat fakta: periode ”keemasan”
gerakan syariah di daerah-daerah rata-rata hanya 3-5 tahun, kemudian kehilangan
pesona dan pengaruhnya di masyarakat.
Konsolidasi Sosial
Gerakan syariah di tingkat lokal juga telah
jadi momentum konsolidasi demokrasi. Diskursus syariah telah menarik kelompok
Islam ideologis untuk masuk ke episentrum dinamika demokrasi lokal. Mereka
sebelumnya tereksklusi (excluded) dari aktivisme politik. Mereka adalah eks
Masyumi dan Darul Islam serta pengusung ideologi syariah. Selama empat dekade
(1950-1990-an) mereka mengalami represivitas militer dan stigmatisasi rezim.
Selama periode tersebut mereka terpaksa atau
dipaksa apolitis. Padahal, untuk membangun demokrasi substantif diperlukan
partisipasi aktif semua elemen masyarakat. Dalam konteks inilah diskursus
syariah jadi magnet sekaligus ruang partisipasi politik kelompok Islam
ideologis. Perkembangan ini tentu saja sangat bermakna bagi peningkatan
kualitas demokrasi Indonesia.
Menarik untuk melihat konsolidasi dan
partisipasi politik kelompok Islam ideologis tak hanya terjadi pada periode
keemasan gerakan syariah. Untuk kasus Cianjur, misalnya, periode keemasan
gerakan syariah terjadi pada 2001-2006 di bawah Bupati Wasidi Swastomo. Pada
periode tersebut, gerakan syariah mampu memobilisasi sumber daya manusia dan
finansial dalam jumlah besar. Diskursus syariah mewarnai birokrasi
pemerintahan, pendidikan, dan pengajaran di sekolah, bahkan acara hajatan
perkawinan di masyarakat.
Setelah 2006, ketika kekuasaan lokal
berganti, gereget syariah meredup. Dukungan finansial menipis. Mobilisasi kiai
dan ustaz juga berhenti.
Akan tetapi, hal itu tak serta-merta
me-redepolitisasi kelompok Islam ideologis. Konsolidasi gerakan tetap terjaga.
Partisipasi substantif dalam proses kebijakan juga secara konsisten tetap
dilakukan. Jika sebelum deklarasi gerakan syariah mereka cenderung menarik diri
dari aktivisme politik, kini mereka aktif memengaruhi proses kebijakan. Mereka
tidak masuk struktur kekuasaan politik, tetapi memiliki medium penyaluran
aspirasi politik yang efektif dalam nalar demokrasi lokal.
Selain itu, kelompok Islam ideologis yang
semula sering menggunakan aksi jalanan sebagai media amar makruf nahi mungkar,
mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran, kini mulai mengadopsi metode yang
lebih elegan. Gerakan moral tak lagi beringas, tetapi damai dan terukur. Tindak
kekerasan fisik tidak lagi terjadi, terutama dalam menyikapi praktik immoral
seperti judi dan prostitusi.
Kondisi ini dipengaruhi setidaknya dua hal.
Pertama, internalisasi nilai syariah yang damai dan merahmati semua pihak.
Kedua, mekanisme demokratis dipercaya membuka ruang posibilitas (kemungkinan)
mewujudkan cita-cita perjuangan.
Dengan demikian, gerakan syariah di banyak
daerah telah berkontribusi membangun dan memperkuat demokrasi. Relasi keduanya
tidak terjadi dalam pertarungan saling menegasi. Sebaliknya, perlu dipahami
dalam bingkai saling mengisi dalam membangun sistem demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar