Rabu, 28 Desember 2011

Gengster Berlabel Penegakan Hukum

Gengster Berlabel Penegakan Hukum
Saharuddin Daming, KOMISINER KOMNAS HAM
Sumber : REPUBLIKA, 27 Desember 2011


Belum usai penanganan kasus pembantaian Mesuji dan berbagai tindak kekerasan lainnya yang diduga melibatkan unsur Polri sebagai aktor, (Sabtu 24 Des 2011) pasukan berseragam coklat ini kembali berulah dengan tindakan represif hingga jatuh dua korban jiwa dan puluhan luka-luka dari warga sipil di Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Tak urung, publik dari berbagai lapisan mengecam pedas aksi brutal Polri tersebut yang seakan tak pernah mau belajar dari kesalahan dan tak peduli sama sekali pada citra buruk yang disandang Polri selama ini. Lantaran selalu mengedepankan pola pendekatan represif daripada persuasif dalam menghadapi kelompok unjuk rasa.

Tidak dapat disangkal jika Polri menurut UU N0 2 Tahun 2002 diberi tanggung jawab untuk tugas Kamtibmas dan penegakan hukum. Namun, kita tentu tidak dapat menerima jika Polri dalam melaksanakan tugasnya, justru melanggar hukum dan hak asasi manusia. Masalahnya karena Protap No 1/X/2010 yang menjadi acuan bagi Polri dalam  penanggulangan anarkisme menimbulkan fobia dan trauma yang begitu serius dari berbagai elemen masyarakat tentang rentannya arogansi anggota Polri dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM atas nama hukum. Betapa tidak, karena dengan postur dan perilaku anggota Polri terlihat sangat garang, bengis, dan menggunakan fasilitas persenjataan dari uang rakyat untuk menembak secara membabi buta kepada siapa pun yang dianggap sebagai bagian dari kelompok pengganggu Kamtibmas.

Semula pimpinan Polri sangat percaya terhadap eksistensi Protap yang dipilih untuk mengoptimalkan tugas Polri dalam menanggulangi gangguan Kamtibmas yang dirasakan meningkat eskalasi dan intensitasnya belakangan ini. Sayangnya, karena mainan baru tersebut sarat dengan nuansa represif, hal ini sangat bertolak belakang dengan wacana Polisi masyarakat (Community Police) yang pernah digadang-gadang pimpinan Polri sebagai salah satu agenda penting dalam reformasi Polri. Betapa tidak, karena dalam Protap tersebut terdapat ketentuan yang memberi wewenang secara individu kepada anggota Polri untuk melakukan tembak di tempat.

Apa pun alasannya, rumusan ketentuan seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Of Punishment) diratifikasi Undang-Undang No 5/1998, Tanggal 28 September 1998. Protap tersebut juga tidak sejalan dengan  UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang diperkuat dengan kovenan hak sipil dan politik (diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005). Saya menilai bahwa usaha keras pimpinan Polri untuk membentengi diri dengan Protap yang sangat represif seperti itu menunjukkan bahwa pimpinan Polri justru mendorong Polri bergerak mundur seperti pada zaman Orde Baru dulu.

Untuk menanggulangi anarkisme seharusnya kapolri meningkatkan kapasitas dan profesionalisme anggota, antara lain, mendesain ulang format dan tata kerja satuan Intelijen maupun Dalmas. Dengan kemampuan yang lebih maksimal dari satuan Intelijen untuk melacak dan mendeteksi suatu keadaan, maka saya pikir Polri selalu bisa melakukan tindakan preventif dan antisipatif secara dini terhadap potensi anarkisme. Selanjutnya, Polri memiliki Dalmas dengan bekal kemampuan berkomunikasi dan berbagai keterampilan adaptif yang benar-benar terlatih. Bagaimanapun, kondisi masyarakat yang mendekati rusuh atau anarkis sebagaimana yang terjadi di Pelabuhan Sape Bima NTB pasti dapat diredam dan digiring ke dalam suasana yang kondusif.

Sebenarnya, publik sangat mendambakan model pendekatan persuasif selalu hadir dalam setiap pelaksanaan tugas Polri. Sebab, dengan pola pendekatan represif, mengandung risiko untuk disalahgunakan oleh oknum anggota Polri. Ini sangat berbahaya karena dalam kajian psiko-kriminologi menyebutkan bahwa seseorang yang memegang senjata, apalagi senjata api, selalu ada keinginan untuk melakukan eksperimentasi. Sehingga, yang timbul dalam benaknya adalah bagaimana dan kapan bisa senjata itu digunakan, kalau perlu momen diciptakan demi memenuhi syahwat pemegangnya untuk beraksi.

Saya tidak bisa membayangkan jika polisi dibekali senjata api dengan kewenangan penuh untuk tembak di tempat, akan sulit mengatakan tidak untuk menarik pelatuk senjatanya ketika berhadapan dengan keadaan yang menurut penilaiannya sesuai dengan Protap. Keadaan inilah yang kerap memicu terjadinya shooting error dan peluru nyasar oleh petugas Polri karena soal disiplin dan profesionalisme sebagian anggota Polri saat ini sangat rendah. Jangankan prajurit yang berpangkat tamtama atau bintara, oknum Polri yang berpangkat perwira, bahkan pada level bintang sekali pun yang telah kenyang makan asam garam dinas kepolisian, seperti Komjen Pol (Purn) SY, dapat dengan mudah memuntahkan peluru dari pistolnya walau semula hanya sekadar menakut-nakuti warga.

Tak hanya itu keadaannya. Dari hal tersebut terbuka peluang bagi oknum Polri menyalahgunakan senjata dan kewenangannya untuk tujuan kriminal sebagaimana yang banyak terungkap pada sejumlah aksi perampokan, pencurian pengeroyokan, dan lain-lain. Dalam konflik lahan yang menghadapkan warga dengan otoritas perkebunan atau kehutanan yang berujung pada kasus penembakan warga sipil, ternyata diduga keras melibatkan oknum Polri.

Selain itu, suatu kelompok massa yang menggelar aksi unjuk rasa damai yang kebetulan berseberangan dengan kepentingan penguasa, dapat di-setting dengan skenario sedemikian rupa, antara lain, provokasi dari pihak tertentu atau mungkin dari oknum polisi sendiri sehingga kelompok massa tergiring ke lembah anarkisme sesuai dengan skenario yang disusun oleh provokator. Dengan modal ini, polisi berdasarkan Protap sudah dapat melakukan tembak di tempat terhadap kelompok massa.

Sampai di sini, Polri kembali menjadi instrumen penekan elite penguasa untuk membungkam lawan politiknya maupun daya kritis masyarakat melalui aksi unjuk rasa. Apalagi, dalam Protap tersebut batasan tentang anarkisme sangat kabur sehingga berpeluang untuk menimbulkan multitafsir. Celakanya, pihak yang boleh menafsirkan Protap itu adalah Polri sendiri.

Dengan hadirnya Protap yang melegitimasi tindakan tembak di tempat, berarti pimpinan Polri menciptakan lembaga imunitas bagi anggotanya untuk menjadi gengster dalam fungsi Kamtibmas. Saya menilai, Protap seperti ini akan mereinkarnasi kebijakan Petrus yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru terhadap siapa pun yang dicap sebagai residivis. Dengan demikian, Polri berada pada posisi ambigu yang secara konstitusional menjadi alat negara untuk melindungi rakyat, namun faktanya justru menjadi instrumen kezaliman rakyat. Semua biaya untuk membeli senjata dan pelurunya, juga membayar gaji anggota Polri, seluruhnya berasal dari uang rakyat. Dan, ternyata justru itu semua digunakan untuk tindakan represif kepada rakyat.

Reformasi Polri tampaknya bukan obat mujarab untuk mengobati penyakit yang melilit satuan bayangkara ini. Rupanya kita perlu revolusi dengan merombak UU No 2 Tahun 2002 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendudukkan organisasi Polri tidak lagi bersifat nasional, tetapi menjadi unit pemerintah daerah demi memudahkan elemen masyarakat lokal melakukan kontrol. Paling tidak, tugas Reskrim yang selama ini menjadi core business Polri dilepaskan menjadi badan yang bersifat netral dan mandiri sebagaimana FBI di Amerika Serikat, Australia, dan di beberapa negara lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar