Jumat, 23 Desember 2011

Vaclav Havel: Hidup dalam Kepantasan

Vaclav Havel: Hidup dalam Kepantasan
Jiri Pehe, PENASIHAT POLITIK VACLAV HAVEL DARI SEPTEMBER 1997 SAMPAI MEI 1999, SEKARANG DIREKTUR NEW YORK UNIVERSITY DI PRAHA
Sumber : KORAN TEMPO, 23 Desember 2011


Lama sebelum rezim komunis Cekoslovakia runtuh pada 1989, Vaclav Havel merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam sejarah Cek--ia sudah merupakan seorang dramawan yang terkemuka ketika menjadi pemimpin tidak resmi gerakan oposisi di negeri itu. Walaupun ia berharap kembali ke bidang sastra, revolusi menempatkannya sebagai Presiden Cekoslovakia. Dan setelah negeri itu terpecah dua pada 1993, ia dipilih sebagai Presiden Republik Cek yang baru dibentuk ketika itu, jabatan yang dipegangnya sampai 2003.

Karier politik yang berakar pada koinsidensi sejarah ini membuat Havel seorang politikus yang luar biasa. Tidak hanya ia memberikan kepada dunia politik pasca-1989 ketidakpercayaan tertentu kepada partai-partai politik, sebagai seorang pembangkang ia juga menganggap mutlak ditekankannya dimensi moral dalam politik--sikap yang membawanya bertabrakan dengan kaum pragmatis dan teknologis kekuasaan, yang tokoh utama mereka, Vaclav Klaus, akhirnya menggantikan Havel sebagai Presiden.

Kehidupan publik Havel dapat dibagi dalam tiga periode yang berbeda: seniman (1956-1969), pembangkang (1969-1989), dan politikus (1989-2003)--kecuali bahwa ia selalu menggabungkan ketiga kepekaan ini dalam kegiatan publiknya. Sebagai seorang dramawan yang berbakat pada 1960-an, ia jelas sangat “politis”, berfokus pada absurditas rezim yang berkuasa saat itu. Ia juga salah seorang pengecam sensor dan pelanggaran hak asasi manusia paling vokal, seorang pembangkang bahkan selama berlangsungnya "Musim Semi (liberal) Praha” pada 1968.

Havel masuk daftar hitam dan dianiaya secara terbuka setelah invasi Soviet di Cekoslovakia pada Agustus tahun itu; namun ia terus menulis naskah drama anti-totaliterianisme. Pada 1977, ia dan lebih dari 200 pembangkang lainnya mendirikan gerakan hak asasi manusia, Piagam 77, yang dengan cepat menempatkan dirinya sebagai kekuatan oposisi utama. Havel merupakan salah satu dari tiga juru bicara pertama gerakan tersebut.

Tahun berikutnya, Havel menulis esai Power of the Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Memiliki Kekuatan). Esai ini melukiskan rezim “normalisasi” Cekoslovakia pasca-1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh. Pada 1979, ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara atas kegiatannya dalam Komite Rakyat yang Diperlakukan Tidak Adil, suatu bagian dari Piagam 77 yang memantau pelanggaran hak asasi manusia dan penganiayaan di Cekoslovakia. Havel dibebaskan dekat pada akhir masa hukumannya setelah terjangkit radang paru-paru (sumber gangguan kesehatan yang serius selama sisa hidupnya). Letters for Olga (Surat-surat untuk Olga), serangkaian esai filosofis yang ditulisnya dari penjara dan dialamatkan kepada istrinya, dengan cepat menjadi karya klasik anti-totaliterianisme.

Sebagai Presiden Cekoslovakia, Havel terus menggabungkan kepekaan politik, artistik, dan pembangkangan. Ia menulis sendiri pidato-pidatonya--banyak di antaranya sebagai karya filosofis dan sastra, yang tidak hanya mengecam teknologi politik modern yang merendahkan derajat manusia, tapi juga berulang kali meminta rakyat Cek untuk tidak menjadi korban konsumerisme dan politik partai yang kejam.

Konsep yang diajukannya adalah konsep demokrasi berdasarkan masyarakat madani dan moralitas yang kokoh. Ini membedakannya dari Klaus, tokoh utama pasca transformasi komunis lainnya, yang menganjurkan transisi yang cepat, tanpa, bila mungkin, rintangan dan beban moral rule of law. Konflik di antara keduanya mencapai puncak benturannya pada 1997, ketika pemerintahan yang dipimpin Klaus jatuh setelah terjadi serangkaian skandal. Havel melukiskan sistem ekonomi pasca-komunis yang dianjurkan Klaus sebagai “kapitalisme mafioso”.

Walaupun Klaus tidak pernah kembali sebagai perdana menteri, pendekatannya yang “pragmatis” unggul dalam bidang politik Cek, terutama setelah lengsernya Havel sebagai presiden pada 2003. Sebenarnya kekalahan terbesar yang diderita Havel mungkin adalah bahwa sebagian besar rakyat Cek sekarang memandang negeri mereka sebagai tempat di mana partai-partai politik berlaku sebagai agen kelompok-kelompok ekonomi yang kuat (banyak di antaranya tercipta dari proses penswastaan yang sering korup di bawah pengawasan Klaus).

Pada tahun-tahun kepresidenannya, para penentang Havel mengejeknya sebagai seorang moralis yang naif. Banyak rakyat awam Cek, sebaliknya, mulai tidak menyukainya bukan hanya karena apa yang tampak di mata mereka sebagai seruan moral yang tidak henti-hentinya diucapkan Havel, tapi juga karena Havel merupakan cerminan balik dari ketidakberanian mereka melawan rezim komunis di masa lalu. Sementara Havel terus memperoleh respek dan kekaguman di luar negeri, karena perjuangan yang terus dilakukannya melawan pelanggaran hak asasi manusia di dunia, popularitasnya di dalam negeri justru terguncang.

Tapi sekarang tidak lagi. Rakyat Cek, dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap korupsi dan kegagalan-kegagalan sistem politik yang ada sekarang, semakin menghargai pentingnya moralitas yang diserukan Havel. Sesungguhnya, setelah wafatnya, Havel bakal dihargai sebagai seseorang yang sudah meramalkan banyak persoalan yang dihadapi saat ini, dan bukan hanya di dalam negeri ketika ia menjabat presiden; ia berulang kali meminta perhatian terhadap kekuatan-kekuatan destruktif peradaban industri dan kapitalisme global yang akan menghancurkan dirinya sendiri.

Banyak yang bakal bertanya apa yang membuat Havel istimewa. Jawabannya sederhana: decency (kepantasan). Havel seorang yang berprinsip dan menghargai kepantasan. Ia tidak melawan komunisme karena agenda pribadi yang tersembunyi, melainkan semata-mata karena komunis, dalam pandangannya, adalah suatu sistem yang amoral dan tidak menghargai kepantasan. Ketika, sebagai presiden, ia mendukung digempurnya Yugoslavia pada 1999 atau invasi yang bakal terjadi di Irak pada 2003, ia tidak berbicara mengenai tujuan-tujuan geopolitik atau strategis, tapi berbicara mengenai pentingnya menghentikan pelanggaran hak asasi manusia oleh diktator-diktator yang brutal.

Apa yang dilakukannya selama karier politiknya membuat Havel seorang politikus yang jarang ditemukan lagi seperti dirinya di dunia saat ini. Mungkin karena itulah sebabnya, sementara dunia--dan Eropa terutama--menghadapi periode krisis yang serius, maka yang hilang adalah kejelasan dan keberanian berbahasa yang bisa membawa perubahan yang berarti.

Karena itu, wafatnya Havel, seorang yang memiliki keyakinan yang kuat akan pentingnya integrasi Eropa, sangat simbolis: ia merupakan salah seorang dari jenis politikus yang sekarang jarang dijumpai lagi yang mampu memimpin dengan efektif di masa-masa yang luar bisa, karena komitmen mereka bertumpu pada kepantasan bersama dan kebaikan bersama, bukan pada mempertahankan kekuasaan. Jika dunia hendak berhasil mengatasi berbagai krisis yang dihadapinya saat itu, warisan yang ditinggalkan Havel harus terus dipertahankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar